Passport to Happiness: 11 Kota 11 Cerita Mencari Cinta
Penulis: Ollie
Penerbit: GagasMedia
Penulis: Ollie
Penerbit: GagasMedia
Apa benar kebahagiaan berasal dari cinta?
Terkadang, cinta menjadi sebuah kebahagiaan yang manis sekaligus kenangan yang menyedihkan.
Semula berbuah tawa, lalu berakhir dengan air mata.
Perpisahan sempat membuat Ollie putus asa.
Ia lalu melakukan perjalanan demi menyembuhkan luka sekaligus mencari arti bahagia yang sesungguhnya.
Ia menemukan arti kedamaian di Ubud, indahnya bahasa puisi di Dublin, kebaikan dan kasih sayang di Moskow, hingga belajar mencintai diri sendiri di Seoul.
Ternyata, banyak cara untuk menciptakan bahagia.
Dan melakukan perjalanan adalah salah satunya.
Ini adalah kisah nyata di balik langkah kaki dalam menemukan bahagia.
Ambil Passport to Happiness-mu dan segeralah temukan kebahagiaan!
Saya jarang sekali bepergian, bisa dibilang saya ini anak rumahan banget, jarang keluar rumah kalau memang tidak penting sekali, lebih suka ditemani sepi, secangkir kopi dan buku. Pun dengan kehidupan sejak kecil sampai dewasa, mulai dari sekolah sampai kerja, saya selalu ingin dekat dengan keluarga, tidak pernah menetap di kota lain. Bahkan, saya tidak berani mengunjungi tempat baru kalau tidak ada temannya. Saya tipe orang yang slebor banget, pelupa, kurang teliti dan terlalu cuek, keadaan yang cukup mengkhawatirkan kalau bepergian jauh sendirian. Namun, di satu sisi, impian sejak kecil adalah bisa keliling dunia, bagaimana bisa seorang yang katakanlah malas keluar rumah memiliki impian seperti itu? Di hati kecil, saya selalu percaya, pasti suatu saat entah ke mana, saya akan merasakan mengunjungi tempat baru, bertemu dengan orang-orang asing, mendapatkan pengalaman baru dan kebahagiaan baru.
Tempat yang pernah saya kunjungi sedikit sekali, jangankan ke luar negeri, di wilayah Indonesia saja bisa dihitung dengan jari. Namun, diantara yang sedikit tersebut ada satu kisah perjalanan yang tidak mungkin akan saya lupakan, kisah perjalanan yang awalnya dimulai dari kekonyolan atau ketololan saya, akhirnya malah bisa membuat saya berani memulai perjalanan tanpa ditemani orang lain, perjalanan yang awalnya saya tangisi namun ketika sampai di tempat tujuan saya merasakan kebahagiaan. Kisah perjalanan dari kota Solo ke kota Jakarta ketika saya akan menghadiri Festival Pembaca Indonesia 2015.
Saya tidak pernah membeli tiket kereta sendirian, saya tidak tahu bagaimana caranya membeli tiket kereta secara online, selalu teman saya yang menyiapkan, saya tinggal menerima kabar kapan dan di mana kami akan berangkat. Teman saya memberitahu kalau kami akan berangkat pada hari Jumat pukul 14.30 WIB, tanggal 4 Desember 2015, menumpang kereta ekonomi dari stasiun Purwosari menuju stasiun Pasar Senen. Sudah saya catat baik-baik di pikiran kalau saya tinggal menunggu teman-teman di stasiun Purwosari, bahkan ketika Bapak bertanya nanti motor saya akan dititipkan di mana, saya menjawab di stasiun Purwosari. Menghindari penyakit saya yang lain kambuh, yaitu telat, saya datang satu jam sebelum kereta berangkat. Saya tiba paling awal, kemudian mengabari kedua teman perjalanan kalau sudah sampai dan mendapat balasan mereka juga akan segera berangkat.
Lalu, saya merasakan ada yang janggal ketika salah satu teman menelepon kalau dia sudah sampai dan sedang antri menukar tiket pulang, saya sama sekali tidak melihat keberadaanya, secara lokasi tempat saya menunggu tidak jauh dari loket. Singkatnya, saya salah stasiun, seharusnya di stasiun Purwosari tetapi malah menunggu di stasiun Jebres. Saya benar-benar lupa kalau ada tiga stasiun di kota Solo, pikir saya tempat keberangkatan sama dengan ketika kami menghadiri Festival Pembaca pada tahun 2013 silam, yaitu di stasiun Jebres. Langsung dengan panik saya tanya satpam untuk memastikan, yang ada malah dimarahi karena tadi ditanya naik kereta apa nggak dijawab (saya juga nggak tahu pak nama keretanya, saya juga sangat berhati-hati kalau berbicara dengan orang asing T.T). Melihat jarak stasiun Jebres ke Purwosari lumayan jauh, sedangkan sisa waktu tidak ada tiga puluh menit, saya langsung ambil motor dan mencoba meminta kembali uang parkir yang sudah saya bayar selama empat hari di mana nggak murah, hiks, ternyata sia-sia dan buang waktu saja, saya malah disarankan besok kembali lagi dan mencari petugas parkir yang tadi berjaga, alasannya sudah ganti shift dan uang sudah disetorkan. Terpaksa saya harus merelakan dan langsung tancap gas menuju stasiun Purwosari.
Jalanan yang macet membuat perjalanan saya membutuhkan waktu yang cukup lama, walau saya sudah mencoba secepat mungkin, sampai stasiun Purwosari ternyata nggak kekejar. Setelah sampai, saya mendapat telepon dari teman perjalanan kalau kereta baru saja berangkat, kurang lima menit saja. Saya langsung hopeless, liburan yang sudah saya rencanakan beberapa minggu lenyap sudah, mata saya berkaca-kaca, ingin sekali menangis tapi melihat keberadaan adalah tempat umum, saya menahannya, saya bingung, bingung, bingung sekali. Teman saya menyarankan untuk menganti perjalanan melalui bus, tapi melihat jalanan yang sangat macet terlebih mendekati weekend, sama saja rencana buruk. Saya sangat tidak sabaran dengan macet. Mungkin muka saya terlalu terlihat putus aja, ada ibu-ibu, perempuan muda yang menanyakan apakah saya ketinggalan kereta, saya menceritakan secara singkat, kemudian ada petugas kebersihan yang menyarankan saya untuk menaiki kereta lain, siapa tahu masih ada. Langsung saya pergi ke loket dan bertanya kepada petugas apakah masih ada kereta yang akan menuju Jakarta, dia bilang masih tapi hanya tinggal kereta bisnis.
Secara impulsif saya langsung mengiyakan, tapi begitu akan membayar saya membatalkan, hahaha, saya bingung sekali. Melihat kegelisahan dan kebingungan saya, petugasnya pun dengan baik hati memberi saran agar membeli tiket dan menunggu di stasiun Balapan, tempat di mana kereta akan berangkat. Tiket kereta yang tersisa hanya kelas bisnis, di mana harganya tiga kali lipat dari harga tiket kereta ekonomi yang seharusnya saya tumpangi tadi. Saya kembali ke ruang tunggu dan berpikir, benar-benar berpikir, minum dan menarik napas dalam-dalam. Saya berpikir bagaimana nanti kalau saya tidak jadi berangkat, padahal saya sudah mengambil cuti dan berniat menghabiskannya di Jakarta, bertemu teman-teman blogger dan sesama pembaca yang selama ini hanya bertegur sapa lewat dunia maya. Pasti liburan saya akan sangat amat membosankan bila dihabiskan di rumah saja, saya ingin ada pengalaman baru, petualangan baru, dan bertemu teman-teman. Setelah beberapa menit berpikir baik buruknya, saya mengambil keputusan mantap, saya pergi ke loket dan membeli tiket kereta bisnis, satu-satunya kereta yang bisa membawa saya ke Jakarta pada saat itu *puk-puk buku tabungan*.
Kereta berangkat pada pukul 17.30 WIB, masih ada sisa waktu dua jam lebih dari waktu keberangkatan, tapi saya memilih langsung menuju stasiun Balapan dan menunggu di sana, dalam sehari saya berwisata ke tiga stasiun yang ada di Solo, dan menghapalkannya. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, kali ini saya tidak secuek biasanya, lebih memperhatikan sekitar dan bertanya ke satpam untuk memastikan kereta yang akan saya tumpangi apakah benar dari stasiun Balapan. Pak satpam pun menyarankan saya untuk menunggu di peron dalam kalau sudah memiliki tiket, mengikuti sarannya, saya menunggu di dalam dan mencoba tidak lengah atau ketiduran, saya benar-benar trauma. Saya menganggap kesalahan yang saya lakukan adalah sebuah takdir yang tidak bisa dihindari, ada saat pertama kali untuk mencoba hal baru, seperti dalam kasus saya yang jarang sekali melakukan perjalanan, mungkin ini pertanda untuk menjadikan saya lebih berani, mencicipi perjalanan solo, dan setelah saya lalui, ternyata tidak terlalu mengenaskan, banyak juga yang melakukan perjalanan secara sendirian. Yang saya lakukan ketika menunggu adalah mengamati orang-orang yang juga menunggu kereta seperti saya, mengamati tanda-tanda petunjuk, menghindari agar saya tidak kesasar, penyakit saya yang lain, dan menebalkan telinga kalau ada pengumuman dari pengeras suara.
Ada rombongan kaum borju yang cukup heboh dengan banyak barang bawaan dan terpaksa berpisah dengan salah satu teman yang akan menuju Yogyakarta (saya menebak tujuan para rombongan ini ke Surabaya), dengan narsis mereka berfoto-foto dan menjadi sorotan penunggu yang lain. Dari mereka, saya mendapatkan pelajaran kalau sebuah perpisahan bisa dilalui dengan bahagia, akan ada lain waktu untuk melepas kangen, tidak harus dengan tangis haru. Kemudian ada ibu-ibu dan perempuan yang bertanya kepada saya tentang kereta yang stanby apakah kereta Pramex, kereta yang akan mereka tumpangi, lalu ada pemuda yang menitipkan barangnya kepada saya untuk membeli camilan dan saya berani mengobrol sebentar dan menanyakan kemana tujuannya. Dari itu, saya belajar, tidak semua orang asing itu jahat, kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, tidak ada salahnya bertanya, seperti kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan, benar adanya. Sama seperti ibu-ibu, perempuan dan petugas kebersihan yang menanyakan keadaan saya ketika ketinggalan kereta, mereka memberi solusi, di jaman yang penuh keegoisan ini, tidak semua apatis, masih banyak orang-orang yang perhatian. Mengamati orang-orang yang berlalu lalang ternyata lebih menyenangkan daripada saya menghabiskan waktu sendirian dengan 'bermain' handphone.
Setengah jam sebelum waktu keberangkatan, melalui pengeras suara saya mendengar kalau kereta yang akan saya tumpangi sudah datang, saya langsung bertanya kepada kuli angkut barang terdekat untuk memastikan dan menanyakan lokasi kereta, saya langsung menuju ke sana, saya tidak ingin membuang waktu dan lebih baik menunggu di kereta. Harga tiket memang mahal, tapi kualitas yang disuguhkan memang jauh lebih baik dari kereta ekonomi, dari segi kenyamanan saya terpuaskan, terlebih kursi di samping saya kosong, saya lebih leluasa untuk beristirahat. Tempatnya lebih luas, pendingin gerbong sangat terasa, penumpang tidak penuh sehingga tidak ramai dan penuh sesak, ada petugas kebersihan yang selalu siap dan pramugari yang menawarkan berbagai macam kebutuhan, mulai dari makanan, minuman, selimut, sampai bantal. Selain itu kamar mandinya juga bersih, setiap ada yang memakai langsung dibersihkan, sangat-sangat nyaman, saya nggak menyesal sama sekali merogoh kantong lebih dalam untuk membayar tiket kereta tersebut.
Walau nyaman, selama perjalanan saya tidak bisa tidur, lebih karena saya tidak terbiasa tidur di kereta saja. Saya malah menghabiskan waktu mencuri dengar cerita dari para penumpang lain yang posisinya tidak jauh dari saya, ya, walau asing, mereka tidak sungkan untuk saling mengobrol, berbagi cerita, bahkan memberikan senyum kepada saya. Ada ibu-ibu yang memiliki kisah sama seperti saya, yaitu ketinggalan kereta, ternyata mereka salah menargetkan waktu, karena macet mereka terlambat dan terpaksa membeli tiket yang lebih mahal karena harus segera sampai di Jakarta, saya hanya bisa tersenyum dan tertawa di dalam hati, ternyata bukan saya saja yang mempunyai nasib mengenaskan. Ibu-ibu yang lain balas bercerita kalau mereka memesan tiket dua minggu sebelumnya, terpisah dari rombongan lain yang berbeda gerbong dan mendapatkan tiket lebih murah! Lebih murah dari saya dan ibu yang ketinggalan kereta tadi, entah karena jauh hari memesannya atau kami yang membeli pada hari H, sebagai pengalaman saja lebih baik memesan tiket jauh-jauh hari. Kemudian ada bapak-bapak yang kecewa karena tidak bisa merokok di dalam gerbong, mereka tidak mencoba melanggar, namun memahami peraturan yang ada, setiap kereta berhenti di stasiun, mereka akan menunggu di luar dan merokok.
Saya sampai di stasiun Pasar Senen pada hari Sabtu, pukul 03.30 WIB dengan tepat waktu, tak terasa perjalanan kurang lebih sepuluh jam berakhir sudah. Karena keberangkatan kereta yang terpaut tiga jam, saya tidak bisa bertemu dengan teman perjalanan saya sebelumnya, terpaksa rencana perjalanan saya berubah total. Saya meminta tolong teman saya yang lain yang tinggal di Jakarta apakah bisa menjemput dan menampung saya di tempatnya, dan alhamdulillah dia mau sekali membantu. Saya turun dari kereta dengan bahagia, tanpa menunggu lama saya langsung bertemu dengan teman saya dan menuju tempat tinggalnya.
Yang saya dapatkan dari kisah perjalanan yang awalnya terlihat mengenaskan ini adalah ternyata tidak buruk juga keluar dari zona nyaman, ada kalanya kita akan mencoba sesuatu yang baru. Karena dari mencoba sesuatu yang baru tersebut, saya mendapatkan pengalaman baru yang tak akan pernah bisa dilupakan, pengalaman yang benar-benar berharga yang bisa saya petik dari orang-orang asing di luar sana, ternyata menyenangkan bertemu orang-orang asing yang cukup bersahabat, menjadi bagiannya. Saya menemukan kebahagiaan dengan melakukan perjalanan mengenaskan tersebut.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Passport to Happiness Giveaway.
Ahh.. kalau tahu kakak kesana juga aku inbox kakak deh. Hari itu ak juga ke Jkt. Pgennya Minggu ke IRF tp kagak jdi. :'( :'( :'( bingung mau naik apaan..
BalasHapusHihihi, semoga suatu saat kita bisa ketemu ya :)
HapusAminn.. Semoga kak :D :D :D
Hapushihiii, pasti bingung ya kak.
BalasHapusPergi
enggak
pergi
enggak
wkwkw
Rumah emang ngasih kenyamanan, tapi bepergian bakal ngasih kita pengalaman :D
Bener banget! Ada saatnya memilih rumah, ada saatnya bepergian mencari rumah baru :)
Hapus