I need to get lost...
and get lost needs no itinerary...
Lana Sagitaria senang melakukan perjalanan sebagai selingan untuk mengatasi kejenuhannya menghadapi rutinitas sebagai karyawati. Alasan klasik, tetapi begitulah yang dia percaya selama ini. Hingga suatu ketika, dia memutuskan untuk berjalan mengikuti kata hatinya, tanpa itinerary, membiarkan dirinya hanyut dalam arus perjalanan. Siapa sangka, perjalanan ini justru membawanya pada jawaban penting atas pertanyaan yang selama ini terpendam jauh di lubuk hatinya. Jelajah kakinya ke beberapa kota dan negara, juga pertemuannya dengan orang-orang asing, membuatnya berkaca pada kenangan berbagai peristiwa penting dalam hidupnya, termasuk hilangnya seseorang yang sangat berarti bagi dirinya. Akankah kenangan itu tetap tinggal, ataukah sudah saatnya dilepaskan?
Judul: Get Lost
Penulis: Dini Novita Sari
Penerbit: Bhuana Sastra (Imprint dari Bhuana Ilmu Populer)
Genre: Fiksi, Traveling
Terbit: November 2013
Tebal: 198 Halaman
Harga: Rp32.500
Kata teman-teman, justru perjalanan yang tanpa panduan itulah yang akan memberikan banyakPernah tersesat? Saya sering sekali dan nggak kapok-kapok :p, untungnya selalu menemukan jalan keluar walau harus menyusuri beberapa jalan tak dikenal. Nggak ada manfaatnya? Salah, kita jadi tahu jalan yang tidak pernah kita lalui sebelumnya, mengenal medan yang baru bisa juga menjadi alternatif jalan yang lebih mudah dilalui daripada yang selama ini kita tempuh. Tersesat nggak melulu dengan jalan, banyak hal yang bisa masuk dalam makna tersesat.
kejutan.
Begitu pula dengan Lana Sagitaria, dia merasa tersesat dengan hidupnya dan harus membebaskan diri, salah satu cara yang dipilihnya adalah dengan travelling. Ada beberapa destinasi yang dia lalui dan tanpa sengaja menjadikan dia menemukan jati diri sebenarnya, passionnya, mencari jawaban atas pertanyaan terbesar dalam hidupnya. Perjalanan pertama adalah ke Bali, dia ingin menjadikan liburan tersebut tanpa rencana biar tidak kaku, ingin bersantai, seperti air yang mengalir, yang kemudian membawanya tersesat bersama lima orang asing untuk menikmati indahnya pulau dewata. Selain itu dia juga bertemu dengan seseorang yang mematahkan perkataan kalau WNI sering mendapatkan diskriminasi dari penduduk setempat, orang bule jauh dihargai daripada WNI, dan bertemu dengan orang yang mirip dengan masa lalunya.
Kalau bicara soal fiksi travelling ada dua komponen yang sangat penting, cerita dan setting. Saya rasa buku ini kuat di keduanya. Buku ini bercerita tentang seorang perempuan yang ingin mencari jawaban di mana masa lalunya berada, alasan kenapa dia meninggalkannya tanpa kalimat perpisahan, dalam prosesnya dia mengunjungi berbagai tempat yang malah membuat dia tersesat dan bertemu dengan orang-orang yang menorehkan pengalaman berharga, membuat dia menyadari passion terbesar dalam hidupnya. Sedangkan untuk setting, penulis cukup menjabarkannya dengan jelas, tidak hanya berkunjung ke tempat itu dan selesai, tetapi juga menuliskan apa yang menarik dari tempat tersebut, membuat kita ingin mengunjunginya juga. Bahasa yang digunakan pun sederhana, menggunakan bahasa sehari-hari, tidak terlalu formal tetapi tidak ada kalimat yang rancu atau susah dimengerti. Saya sangat menikmatinya, rasanya penulis seperti bercerita langsung kepada saya akan pengalaman yang pernah dia alami. Menjadi salah satu kelebihan buku ini.
Kelebihan kedua adalah cover dan minim typo. Saya sangat suka dengan cover finalnya, sangat menggambarkan cerita buku ini, seorang perempuan yang membawa tas punggung, mempunyai makna suka berpetualang, dengan peta destinasi yang dia kunjungi dan plakat arah sebagai judul, menunjukkan ke mana langkah kaki menuju, jempol buat yang bikin cover. Buku ini juga dilengkapi dengan foot note kalimat asing seperti bahasa Korea atau bahasa daerah, tidak terlalu mengganggu karena penggunaannya tidak berlebihan. Pastinya nggak ada masalah buat kakak sepuh untuk mengedit sendiri bukunya dan membersihkan typo, secara pekerjaannya sehari-hari :p
Untuk karakternya sendiri, saya cukup menyukai Lana, seorang perempuan mandiri yang menyenangkan, mudah akrab dengan orang lain, tidak takut mencoba sesuatu yang baru dan pergi ke suatu tempat sendirian, berbeda sekali dengan saya yang cupu kalau pergi ke suatu tempat yang belum pernah disinggahi :D. Sedangkan untuk Dharma, di awal cerita keberadaan cukup samar, malah membuat penasaran dengan masa lalu mereka berdua, kalau melihat dari surat yang dikirimkan kepada Lana, bisa diambil kesimpulan kalau Dharma adalah tipe cowok yang teguh pada pendiriannya, nggak peduli orang mau ngomong apa kalau udah berkeyakinan pada sesuatu dia akan mengikuti kata hatinya. Agak mirip dengan Lana. Sebenarnya ada satu tokoh lagi yang keberadaannya cukup saya harapkan, Rio, teman kerja Lana yang menyukainya, sayangnya penulis hanya membuat dia menjadi salah satu tokoh figuran yang perannya tidak banyak dimunculkan, padahal kehadirannya cukup berarti loh.
Walau enggan, saya harus jujur. Ada dua hal yang mengganggu saya. Pertama adalah faktor kebetulan, banyak sekali adegan di mana Lana tak sengaja bertemu seseorang atau menggunjungi sebuah tempat. Contohnya adalah bertemu dengan cowok yang mirip dengan Dharma atau menang kuis ke Korea. Nggak salah sih dengan kebetulan, tapi kalau bisa dibuat lebih halus, maksudnya nggak terlalu ketara, sehingga nggak merasa aneh kok Lana beruntung terus ya? Saya juga pengen kayak gitu #loh :D. Kedua adalah bagian ketika Lana mengobrol dengan Paul, bule yang meminta Lana untuk menjadi istri pura-puranya, saya rasa agak nggak konsisten, saya lebih sreg kalau percakapannya memakai bahasa Indonesia saja, tidak campur-campur, lebih ke kenyamanan aja :p
Hanya itu saja keluhan saya, lainya nggak ada masalah, saya cukup menikmati petualangan Lana, tidak perlu waktu lama menyelesaikan buku ini, sehari saja sebenarnya bisa karena bukunya tipis dan ceritanya pun juga tidak membosankan. Saya berharap untuk kedepanya lagi, kisah Lana-Lana yang lain akan memiliki halaman yang lebih tebal :p.
Get Lost mengajarkan kepada kita kalau jangan pernah takut untuk tersesat, justru ketika tersesat kita akan mendapatkan pengalaman yang seru dan orang-orang yang sangat menakjubkan, kita bisa belajar dari pemikiran mereka.
Buku ini saya rekomendasikan buat yang suka tersesat, dalam masalah apa pun :D.
3 sayap untuk get lost needs no itinerary.
“Di dalam kopi susu, kandungan utamanya jelas cuma ada dua: kopi dan susu,” lanjut Gandhi tanpa menunggu jawabanku, “dalam hidup lo, lo sering banget merasa bimbang untuk menentukan pilihan. Buat lo, hidup itu sering antara hitam dan putih, benar dan salah, baik ataupun buruk. Sayangnya, hal itu sering membuat lo terjebak dalam dilema. Lo nggak mau berada dalam area abu-abu, tapi untuk menentukan berada di sisi kopi atau susu, lo pun butuh waktu yang sangat lama untuk berpikir. Lo ada di sini untuk mencari jawaban itu kan? Di sisi mana lo hendak berpijak selanjutnya? Dan satu lagi, tidak selamanya kenangan buruk hadir untuk menyakiti kok, Lan. Kadang itu ada untuk mengingatkan kita bahwa proses hidup itu sungguh nyata. Lo nggak perlu susah payah menyingkirkannya, sering kali yang kita butuhkan hanyalah ikhlas.”
“Manusia memang hidup ditakdirkan untuk mencari jawaban. Selalu ada pertanyaan yang menggelisahkan mereka. Yang tak kita ketahui, seringnya jawaban itu sudah tersedia di hadapan kita, tapi kita saja yang terlalu jauh mencarinya, hingga seolah tak tampak.”Di Singapura, negeri seribu denda, dia tersesat bersama bule yang baru patah hati, yang berpura-pura menjadi pacarnya, seorang bule yang seharusnya melakukan perjalanan bersama istrinya, menjadikan Lana sebagai istri pura-puranya. Di Seoul, Lana menghadapi petualangan seru dengan gadis Korea, di mana seseorang telah mencuri hanbok warisan turun temurun dari nenek buyut gadis Korea tersebut dan tanpa sengaja malah ditolong oleh salah satu boyband ternama di Korea, 4AM. Di Surabaya, Lana ingin menyelesaikan masalah yang selama ini belum ketemu ujungnya, perasaannya sendiri. Dia mendapat telepon dari seseorang yang mengatakan kalau dia mempunyai jawaban yang Lana inginkan, bersama Robin temannya, dari Surabaya mereka menuju ke Probolinggo, mencari jawaban di Gunung Bromo sampai ke Tibet.
Seorang bijak pernah berkata bahwa perjalanan diukur bukan dari berapa jauh jarak yang telah kita tempuh, tetapi dari berapa banyak teman yang kita peroleh darinya.
“Apa saja bisa terjadi saat kita jatuh cinta, Paul. Entah itu cinta pertama, kedua, ataupun pada pandangan kesekian. Bagiku, cinta itu bukan untuk dipertanyakan, melainkan dirasakan.”Tahun lalu genre travelling cukup merajalela di toko buku, sedangkan tahun ini bergeser sedikit, fiksi travelling. Contoh yang pernah saya baca sebelumnya adalah Traveler's Tale: Belok Kiri Barcelona, Labirin Rasa dan tentu saja seri STPC :p. Novel debut penulis yang sebelumnya lebih sering 'membersihkan kotoran' di buku ini menambah deretan buku dengan tema yang lagi booming akhir-akhir ini. Saya merasa terhormat ketika menjadi salah satu first readernya, semoga saja review saya tidak mengecewakan :p.
Kalau bicara soal fiksi travelling ada dua komponen yang sangat penting, cerita dan setting. Saya rasa buku ini kuat di keduanya. Buku ini bercerita tentang seorang perempuan yang ingin mencari jawaban di mana masa lalunya berada, alasan kenapa dia meninggalkannya tanpa kalimat perpisahan, dalam prosesnya dia mengunjungi berbagai tempat yang malah membuat dia tersesat dan bertemu dengan orang-orang yang menorehkan pengalaman berharga, membuat dia menyadari passion terbesar dalam hidupnya. Sedangkan untuk setting, penulis cukup menjabarkannya dengan jelas, tidak hanya berkunjung ke tempat itu dan selesai, tetapi juga menuliskan apa yang menarik dari tempat tersebut, membuat kita ingin mengunjunginya juga. Bahasa yang digunakan pun sederhana, menggunakan bahasa sehari-hari, tidak terlalu formal tetapi tidak ada kalimat yang rancu atau susah dimengerti. Saya sangat menikmatinya, rasanya penulis seperti bercerita langsung kepada saya akan pengalaman yang pernah dia alami. Menjadi salah satu kelebihan buku ini.
Kelebihan kedua adalah cover dan minim typo. Saya sangat suka dengan cover finalnya, sangat menggambarkan cerita buku ini, seorang perempuan yang membawa tas punggung, mempunyai makna suka berpetualang, dengan peta destinasi yang dia kunjungi dan plakat arah sebagai judul, menunjukkan ke mana langkah kaki menuju, jempol buat yang bikin cover. Buku ini juga dilengkapi dengan foot note kalimat asing seperti bahasa Korea atau bahasa daerah, tidak terlalu mengganggu karena penggunaannya tidak berlebihan. Pastinya nggak ada masalah buat kakak sepuh untuk mengedit sendiri bukunya dan membersihkan typo, secara pekerjaannya sehari-hari :p
Untuk karakternya sendiri, saya cukup menyukai Lana, seorang perempuan mandiri yang menyenangkan, mudah akrab dengan orang lain, tidak takut mencoba sesuatu yang baru dan pergi ke suatu tempat sendirian, berbeda sekali dengan saya yang cupu kalau pergi ke suatu tempat yang belum pernah disinggahi :D. Sedangkan untuk Dharma, di awal cerita keberadaan cukup samar, malah membuat penasaran dengan masa lalu mereka berdua, kalau melihat dari surat yang dikirimkan kepada Lana, bisa diambil kesimpulan kalau Dharma adalah tipe cowok yang teguh pada pendiriannya, nggak peduli orang mau ngomong apa kalau udah berkeyakinan pada sesuatu dia akan mengikuti kata hatinya. Agak mirip dengan Lana. Sebenarnya ada satu tokoh lagi yang keberadaannya cukup saya harapkan, Rio, teman kerja Lana yang menyukainya, sayangnya penulis hanya membuat dia menjadi salah satu tokoh figuran yang perannya tidak banyak dimunculkan, padahal kehadirannya cukup berarti loh.
Walau enggan, saya harus jujur. Ada dua hal yang mengganggu saya. Pertama adalah faktor kebetulan, banyak sekali adegan di mana Lana tak sengaja bertemu seseorang atau menggunjungi sebuah tempat. Contohnya adalah bertemu dengan cowok yang mirip dengan Dharma atau menang kuis ke Korea. Nggak salah sih dengan kebetulan, tapi kalau bisa dibuat lebih halus, maksudnya nggak terlalu ketara, sehingga nggak merasa aneh kok Lana beruntung terus ya? Saya juga pengen kayak gitu #loh :D. Kedua adalah bagian ketika Lana mengobrol dengan Paul, bule yang meminta Lana untuk menjadi istri pura-puranya, saya rasa agak nggak konsisten, saya lebih sreg kalau percakapannya memakai bahasa Indonesia saja, tidak campur-campur, lebih ke kenyamanan aja :p
Hanya itu saja keluhan saya, lainya nggak ada masalah, saya cukup menikmati petualangan Lana, tidak perlu waktu lama menyelesaikan buku ini, sehari saja sebenarnya bisa karena bukunya tipis dan ceritanya pun juga tidak membosankan. Saya berharap untuk kedepanya lagi, kisah Lana-Lana yang lain akan memiliki halaman yang lebih tebal :p.
Get Lost mengajarkan kepada kita kalau jangan pernah takut untuk tersesat, justru ketika tersesat kita akan mendapatkan pengalaman yang seru dan orang-orang yang sangat menakjubkan, kita bisa belajar dari pemikiran mereka.
Buku ini saya rekomendasikan buat yang suka tersesat, dalam masalah apa pun :D.
3 sayap untuk get lost needs no itinerary.
mantap banget sulis.. udah langsung review aja!!
BalasHapusaku jadi penasaran.. kak dinoyy aku mau dapet diskon boleh klo beli ini? :P #dikeplak
bacanya udah sejak bulan Oktober soalnya, nanti ikut giveawaynya aja #kode :p
HapusWuah, aku kalo traveling biasanya pake itinerary meskipun gak semuanya dilalui juga
BalasHapusKrn kalo gak ada itinerary sulit mengatur waktu
Btw, aku suka banget banyak novel berbau2 traveling karena aku suka traveling. hihi
aku malah jarang travelling :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusiya saya setuju.. tersesat itu manfaatnya kita bisa kenal dengan jalan yang tidak pernah kita lewati sebelumnya.. kalau tidak pernah di lewati yah mana di kenal.. mungkin seprti itu yang perjalanan Lana dalam novel ini... awalnya tersesat sehingga ia akab tahu jalan yang musti ia lewati. keren juga yah kalau tersesat gtu mencari keluar dengan jalan travelling.. tp kemudian tersesat lagi... hmm jadi penasaran kenapa Lana bisa menjadi istri pura-puranya Paul. Baca cuma sehari.. woooowwj
BalasHapusSetuju setuju saya juga suka dengan covernya
BalasHapushalooo...
BalasHapus*numpang lewat*
:D