Me Before You (Sebelum Mengenalmu)
Penulis: Jojo Moyes
Penerjemah: Tanti Lesmana
Desain sampul: eM Te
Penerbit: Gramedia
ISBN: 978-979-22-9577-1
656 halaman
Buntelan dari @yes24Indonesia
Lou Clark tahu banyak hal. Dia tahu berapa langkah jarak antara halte bus dan rumahnya. Dia tahu dia suka sekali bekerja di kedai kopi The Buttered Bun, dan dia tahu mungkin dia tidak begitu mencintai pacarnya, Patrick.
Tetapi Lou tidak tahu bahwa dia akan kehilangan pekerjaannya, dan peristiwa apa saja yang akan menyusul kemudian.
Setelah mengalami kecelakaan, Will Traynor tahu dia sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan hidupnya. Dunianya kini menyusut dan tak ada lagi suka cita. Dan dia tahu betul, bagaimana mesti menghentikannya.
Namun Will tidak tahu bahwa sebentar lagi Lou akan masuk ke dunianya dengan membawa warna-warni ceria. Mereka berdua sama-sama tidak menyadari, betapa mereka akan membawa perubahan besar ke dalam kehidupan satu sama lain.
Saya terserang book hangover, booklag, apa pun lah namanya seusai membaca buku ini. Saya sampai bingung mau menulis reviewnya dari mana.
Louisa Clark, seorang gadis biasa yang selama hidupnya dihabiskan di kota kecil, berumur 26 tahun, tidak tahu apa yang diinginkannya dan memiliki pacar si Running Man, Patrick. Sebelum kehilangan pekerjaannya sebagai pelayan kafe, dia menjadi tulang punggung keluarga menghidupi keluarganya yang terdiri dari Mum, Granddad, Dad, Treena (adik perempuan) dan Thomas (anak Treena). Penghasilan Dad tidak seberapa dan terancam di PHK sedangkan pekerjaan Treena di toko bunga kecil sekali. Praktis membuat semua keluarga cemas akan hilangnya sumber penghasilan terbesar. Beberapa kali Lou mencoba melamar di Bursa Tenaga Kerja tapi tidak ada pekerjaan yang cocok untuknya sampai sebuah tawaran baru masuk dengan bayaran yang jauh lebih tinggi dari upah minimum, lowongan sebagai Asisten Perawat Pribadi. Awalnya Lou ingin menolak, membayangkan dirinya merawat seseorang seperti Mum merawat Granddad saja tidak sanggup, dia tidak tahan mengelap bokong seseorang. Karena keluarganya sangat mengaharapkan Lou (Dad positif di pecat dan Treena melanjutkan kuliahnya), dia terpaksa menerima pekerjaan itu.
William Traynor, sebelum kecelakaan lalu lintas yang menimpanya dua tahun lalu dia adalah seorang yang ceria, percaya diri, pengusaha sukses, punya apartemen mewah, playboy, sering engunjungi berbagai tempat dan menantang maut merupakan hobinya. Kecelakaan tersebut membuat Will mengalami cedera tulang belakang/ Spinal Cord Injury (SCI) dan didiagnosis sebagai penderita quadriplegia C5/6 dengan kemampuan gerak terbatas, sama sekali tidak bisa menggunakan kedua kaki dan sedikit sekali bisa menggunakan lengan dan tangan. Setahun setelah kecelakaan Will masih bersemangat untuk sembuh, ketika tahu kalau tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya, dia menjadi pribadi yang sangat berbeda.
Kaupikir kau yang paling tahu. Semua orang mengira mereka tahu apa yang kubutuhkan.
Pertemuan pertama mereka bisa dibilang sangat menjengkelkan, bagi Lou. Will bersikap sangat menyabalkan, perkataannya selalu ketus dan pedas. Dibalik semua itu, Lou merasa kalau Will adalah orang paling sedih yang pernah dia kenal, menghabiskan seumur hidup di kursi roda dan berbagai macam obat yang harus dikonsumsinya setiap hari. Belum lagi ketika dia kedatangan dua tamu, yaitu mantan pacar dan (mantan) sahabatnya yang mengabarkan kalau mau menikah, membuat Lou bersimpati dan tak akan menyerah akan sikap Will yang semena-mena padanya, dia akan bertahan pada pekerjaannya (karena keluarganya bergantung pada penghasilannya juga).
Sikap Lou yang 'masa bodoh', ajaib dan cara berpakaiannya yang aneh membuat Will cukup tertarik dengan Lou, lama kelamaan mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan mereka semakin akrab, tak jarang kekonyolan Lou membuat Will tertawa, sesuatu yang jarang dilakukannya setelah kecelakaan. Lou membuat kehidupan Will sedikit berwarna. Dan tugas Lou sebenarnya tidak hanya merawat Will, sewaktu dia mencuri dengar pembicaraan Mrs. Traynor dan Georgia, adik Will, tentang ibunya yang memberi waktu 6 bulan bagi Will untuk mengubah rencananya tentang Dignitas.
Aku mempunyai waktu 117 hari untuk meyakinkan Will Traynor supaya mau tetap hidup.
Tanpa diketahui Will dan keluarganya, bahkan Nathan, perawat yang setiap hari mengurusi Will, Lou membuat berbagai rencana untuk Will, agar dia bahagia, agar Will tetap mau menjalani kehidupannya. Sebaliknya, Will menganggap hidup Lou sangat membosankan, seumur hidup hanya dihabiskan di kota kecil padahal Will menganggap Lou sangat cerdas, terlalu menarik dan dia harus menikmati hidupnya. Tanpa mereka sadari, keduanya mengubah hidup satu sama lain.
Kalau kau dilontarkan ke dalam kehidupan yang sama sekali baru -atau setidaknya didorong kuat-kuat ke dalam kehidupan orang lain, sehingga ibaratnya wajah kita menempel di jendela mereka- kita jadi terpaksa berpikir ulang tentang siapa diri kita sebenarnya. Atau seperti apa kita kelihatannya di mata orang-orang lain.
Hak untuk mati, euthanasia, itulah topik utama yang diangkat oleh penulis dengan membubuhkan kisah cinta kedalamnya. Dignitas (sebuah group yang membantu orang-orang dengan penyakit terminal, penyakit berat baik psikis maupun mental untuk mati dengan dibantu dokter dan perawat yang berkualitas, berada di Swiss) dipilih Will karena dia merasa tidak ada lagi harapan, lelah dengan keadaannya. Kemudian hadirlah seorang gadis aneh yang memberi warna baru di hidupnya, seorang gadis yang berjuang agar Will tetap bertahan hidup. Topik tersebut tentu saja jarang dilirik dan mendapat pertentangan dari segi manapun, tapi ada bagian yang membuat saya berpikir berulang-ulang bahwa pilihan Will sangat beralasan.
Jadi, menurut pendapatku, pertanyaanmu keliru. Apa hak orang-orang yang mampu dan berbadan sehat untuk memutuskan seperti apa seharusnya kehidupan kami? Seandainya ini bukan kehidupan yang tepat untuk temanmu, bukankah pertanyaanmu seharusnya adalah: Bagaimana aku bisa membantu dia untuk mengakhirinya?
Beberapa kali saya menjumpai pasien Diabetes Melitus dengan luka gangren (banyak jaringan mati) sangat parah dan memilih mati dengan kaki membusuk daripada hidup dengan satu kaki, atau cacat. Sulit dipahami memang, tapi itu pilihan mereka, itu hidup mereka, dan mereka lebih tahu yang terbaik tentang diri mereka sendiri daripada orang lain.
Dan hidup sebagai penderita quadriplegia bukan sekadar persoalan mesti duduk di kursi roda -melainkan pertempuran yang tak ada habisnya melawan rasa sakit dan infeksi, belum lagi berbagai tantangan psikologisnya.
Dan benar apa yang dikatakan penulis di atas, mudah bagi kita menganggap hal yang dipilih Will salah, dilarang agama atau melanggar hukum, kita tidak mengalaminya sendiri, kita tidak tahu apa yang dirasakan Will menghadapi penyakitnya, seberapa keras dia setiap hari menahan sakit, hidupnya tergantung pada obat-obatan dan orang lain. Kita tidak tahu pertarungan Will dengan rasa sakit dan psikisnya, kehidupannya yang dulu sempurna kini berbanding terbalik. Tidak bisa menyetir, mengendarai motor, terjun dari tebing, atau melakukan seks. Baca deh, karena penulis menggambarkan kehidupan Will secara nyata, cukup membuat mrebes mili.
Hanya saja, ada hal yang tidak akan bisa kaupahami sebelum kau sendiri menjadi ibu; yaitu bahwa sosok yang kaulihat di hadapanmu bukanlah si laki-laki dewasa -yang terseok-seok, berewokan, bau, keras kepala- dengan karcis-karcis tilangnya, sepatunya yang tidak disemir, dan kehidupan percintaannya yang ruwet. Yang kau lihat adalah sosoknya sejak kecil sampai dewasa.
Sudut pandangnya orang pertama melalui Lou, tetapi ada empat bab yang diisi oleh Camilla, Nathan, Steven dan Katrina. Melalui sudut pandang mereka kita tahu perasaan seperti apa yang dialami para tokoh secara lebih dalam. Kita akan tahu pendapat Camilla, ibu Will yang menyetujui permintaan anaknya yang di mata orang pasti dianggap terkutuk, kalau kamu melihat anakmu mencoba bunuh diri berkali-kali dan kesakitan setiap saat apa yang akan kamu lakukan? Pasti berat dan sakit banget, mana ada seorang ibu yang tega melihat anaknya seperti itu? Bahkan Camilla tidak pernah mau menemani Will berobat karena dia tidak ingin melihat Will tersiksa. Coba melihat dari dua sisi. Sedangkan melalui Nathan, dari sisinya kita akan melihat tentang perubahan Will setelah Lou datang. Gadis itu membawa perubahan besar pada Will. Dari sudut pandang Steven, ayah Will, kita akan tahu bagaimana hubungan kedua orangtua Will, yang mencoba bertahan demi Will. Melalui Katrina atau Treena, kita akan tahu begitu dalamnya Lou mencintai Will.
Apa yang dilakukan Lou saat tahu rencana Will dan berbagai langkah yang coba disusunnya adalah bagian teromantis di buku ini. Mereka saling memberi dampak yang baik bagi satu sama lain. Will lebih bahagia dan mempunyai teman lagi sedangkan Lou mulai keluar dari zona nyaman dengan berbagai tantangan dari Will. Romantis yang miris.
Aku hanya ingin kau menjalani hidup yang berani. Tantang dirimu, jangan cepat merasa puas. Kenakan celana ketatmu yang bergaris-garis itu dengan bangga. Dan kalau nanti kau ngotot ingin berumah tangga dengan seseorang cowok antik, pastikan sebagian uang ini kau simpan aman di suatu tempat. Suatu kemewahan kalau kau tahu bahwa masih ada peluang-peluang yang terbuka untukmu. Suatu kebahagian kecil untukku kalau tahu dirikulah yang telah membukakan peluang-peluang itu untukmu.
Buku ini saya rekomendasikan bagi siapa saja. Kalau kamu suka cerita seperti The Fault In Our Stars, maka kamu akan sangat suka buku ini.
Kalau dia sudah membulatkan tekad, kalau dia benar-benar tidak bisa melihat jalan lain yang lebih baik untuknya, kurasa yang terbaik bagimu adalah mendampinginya.
4.5 sayap untuk keputusan yang sulit diambil.
pasti endingnya miris.. antara happy ending dan sad ending.. hahahaha..
BalasHapushahaha, ya begitulah, yang jelas bikin gemes ;p
Hapuskayaknya aku satu2nya yang gak begitu suka buku ini heuheu...mungkin moodnya lagi nggak tepat pas baca ini :p
BalasHapusbisa jadi mbak, aku kadang juga gitu kok, jadi pengen baca reviewnya mbak astrid nih, penasaran apa yg bikin nggak suka :)
HapusHaduuhh pengin baca ini tapi duit belum mencukupi :'(
BalasHapusaku udah baca buku ini... suka, walaupun nggak sampai masuk favorit. daripada romance-nya, aku lebih suka karena dapat info ttg quadriplegia, eutanasia, dll :D
BalasHapusiya, aku juga suka tentang konflik yang dipilih penulis, nggak pasaran
HapusSaya gak nyangka... banget, itu satu kalimat yang harus saya katakan setelah baca review kaka >< Sudah tahu sih soal "hype" ke buku ini tapi gak kebayang kalau buku ini juga sampai menyinggung ke soal isu yang seperti itu, dengan "pilihan untuk mati" dan sebagainya, wah... i think i really must consider to read this then >< Terima kasih atas sharingnya kak :D
BalasHapusKhairisa R. P
@rd_lite
http://krprimawestri.blogspot.com
Kalo aku baca buku yang bertema 'sick' alias penyakit-penykitan gitu biasanya agak kurang suka sih. Awalnya aku kira buku me before you ini latarnya Indonesia, eh ternyata bukan
BalasHapusRatingnya tinggi yah 4.5
BalasHapusTapi aku pikir benar juga ungkapan ini: "Dan hidup sebagai penderita quadriplegia bukan sekadar persoalan mesti duduk di kursi roda -melainkan pertempuran yang tak ada habisnya melawan rasa sakit dan infeksi, belum lagi berbagai tantangan psikologisnya".
Hidup dan mati itu hanya Tuhan yang tahu. Separah apapun penyakit kalau punya semangat menjalani itu akan sangat berguna
Review buku ini menggambarkan buku ini menarik untuk dibaca, tapi kemarin liat harga bukunya di toko buku cukup mahal juga hehehe
BalasHapussaya tersentuh dengan review bagian ini
BalasHapusDan benar apa yang dikatakan penulis di atas, mudah bagi kita menganggap hal yang dipilih Will salah, dilarang agama atau melanggar hukum, kita tidak mengalaminya sendiri, kita tidak tahu apa yang dirasakan Will menghadapi penyakitnya, seberapa keras dia setiap hari menahan sakit, hidupnya tergantung pada obat-obatan dan orang lain. Kita tidak tahu pertarungan Will dengan rasa sakit dan psikisnya, kehidupannya yang dulu sempurna kini berbanding terbalik. Tidak bisa menyetir, mengendarai motor, terjun dari tebing, atau melakukan seks
iya kita tidak pernah tahu dengan rasa sakit yang di alami orang yang menderita sakit itu.. dan pilihan mereka untuk mati bukan tanpa alasan.. kayaknya buku ini memiliki konflik yang seru deh.. jadi tertarik.. apalagi rating dari mbak Sulis 4,5 gitu