Notasi
Penulis: Morra Quatro
Editor: Aveline Agrippina & Jia Effendie
Desain sampul: Dwi Anissa Anindhika
Ilustrasi isi: Tyo
Penerbit: Gagasmedia
ISBN: 979-780-635-9
Cetakan pertama, 2013
294 halaman
Harga: 29k (Beli di SCB)
Rasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.
Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu....
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.
Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.
Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu....
Agak sulit mau memulai darimana saya akan bercerita, buku
ini adalah buku ketiga yang saya baca dua hari terakhir ini, dalam rangka
maraton buku baru yang datang kemaren, saya sudah tidak sabar ingin membacanya.
Buku terakhir setelah Restart dan Bangkok yang entah kenapa saya langsung ingin
menuliskan reviewnya. Saya jarang langsung menulis review setelah membaca, yang
seharusnya sangat tepat dilakukan karena masih teringat jelas isi yang habis
kita baca, biasanya saya akan langsung memulai membaca buku lain yang ada
ditumpukan timbunan. Salah satu kebiasaan jelek saja.
Dari pengalaman membaca buku-buku mbak Morra sebelumnya,
saya sama sekali tidak menyukai ending yang dia buat. Buku pertama; Forgiven
selesai menutup pengen saya tendang, buku kedua; Believe, ingin saya sobek
bagian epilognya. Perlu tahu saja, saya team penyuka happy ending garis keras,
hahahaha. Bukan berarti semua bukunya berakhir sad ending, tergantung darimana
kita melihatnya. Tapi anehnya saya tidak pernah memberikan sayap dibawah tiga
dan selalu menunggu karya-karya selanjutnya. Rasanya seperti makan kripik
maicih level sepuluh, kita tidak kuat akan pedasnya tapi akan selalu mencari
dan sedikit demi sedikit menghabiskannya.
Buku ini kebanyakan bersetting di Jogja pada tahun 1998,
tahun orde baru meledak dan lengsernya kepemimpinan presiden Suharto. Buku ini
juga bercerita tentang sejarah berdirinya radio Jawara FM, yang kita tahu atau
orang-orang yang pernah dan sedang bermukim di Jogja sekarang mengenalnya
dengan radio Swaragama FM.
Cerita diawali dengan Nalia dan tunangannya, Faris,
berkeliling kampus UGM, Nalia memintanya untuk melewati fakultas teknik,
fakultas di mana pernah ada seseorang mengambil salah satu jurusan di fakultas
itu, seseorang yang tidak pernah ia lupakan, seseorang yang selalu ia tunggu
kabarnya. Cerita kemudian beralih ke tahun 1998, ketika di mana demontrasi
besar-besaran akan dimulai.
Nalia adalah seorang mahasiswi kedokteran gigi, bersama
temannya Zee, mereka memberanikan diri melangkah di jurusan teknik elektro
untuk memasang iklan kegiatan yang akan dilakukan jurusan mereka di radio
Jawara FM, radio milik mahasiswa teknik elektro. Kedatangan mereka tanpa hasil,
dengan pandangan sinis orang-orang di dalamnya (kecuali satu orang), mereka
berkata kalau mahasiswa kedokteran itu kaya raya, jadi tidak ada masalah kalau
ada kenaikan ongkos bayar iklan, beda dengan mahasiswa teknik yang anggarannya
harus dibagi dengan delapan jurusan di dalamnya, selain itu teman mereka juga
dalam persaingan memperebutkan kursi presiden BEM. Lalu mereka beralih ke radio
kampus lainnya, radio Gama, tapi tanpa hasil juga, alasannya bukan karena biaya
tapi saat itu semua media baik cetak ataupun verbal dipantau oleh pemerintah,
baik radio Jawara ataupun Gama belum mendapatkan ijin resmi, bisa dibilang
selama itu kedua radio tersebut mengudara secara illegal.
Dalam proses tersebut, dalam riuhnya kegiatan kampus, Nalia
dan Nino menjadi dekat. Nalia tahu Nino berbeda dengan teman-teman lainnya yang
selalu sinis dengan mereka, yang selalu mengganggap musuh, dia pendiam, lebih
tepatnya mereka sama-sama tidak pandai dalam berbicara tapi anehnya mereka
merasa nyaman satu sama lain. Puncak kedekatan mereka adalah ketika seluruh
mahasiswa yang ada di Indonesia bersatu, berdemonstrasi untuk mendapatkan
keadilan, menuntut agar presiden Suharto turun dari jabatannya selama
berpuluh-puluh tahun. Nalia menawarkan diri menjadi penyiar sukarela di Jawara
demi memberikan informasi keadaan masa itu, di mana tidak ada lagi
perselisihan, semua bersatu dalam visi misi yang sama, Nalia rela memanjat
pagar rumahnya demi mengikuti demo bersama teman-temannya, demi ada di dekat
Nino, demi mengetahui kondisinya. Setelah huru hara mereda, dia tidak pernah
bertemu dengan Nino lagi, lelaki itu hanya mengiriminya surat tanpa alamat
untuk bisa dibalas dan berjanji, “Suatu saat aku pasti akan kembali, Naila.”
Nino itu padi yang sedang tumbuh.
Dan padi yang sedang tumbuh tidak berisik.
Seperti itulah ia.
Saya tidak berharap banyak akan endingnya, yeah dari dua
pengalaman sebelumnya, bukan saya spoiler loh, sudah saya bilang di awal tergantung
dari kacamata masing-masing. Alasan kenapa saya selalu menanti-nantikan karya
Morra Quatro dan jarang memberi nilai rendah walau saya tidak pernah menyukai endingnya adalah dia selalu menulis
cerita yang berbeda, satu poin khusus ketika saya menemukan sebuah cerita yang
tidak saya temukan dibacaan lain, sesuatu yang baru. Mungkin cerita orde baru
sudah banyak diangkat, sebelumnya saya pernah membaca Pulang yang juga
menyentil masa itu, tapi bagaimana cara menyuguhkannya, itu yang membuat
berbeda. Bisa dibilang buku ini masuk hisfic dengan adanya sejarah berdirinya
radio Swaragama FM dan runtuhnya masa orde baru, Morra menyelipkan kisah cinta
yang tumbuh sebentar tapi akan selalu terkenang. Tokoh Nino yang pendiam dan
cerdas akan menginggatkan kita pada William di Forgiven (ingatkan saya untuk
baca ulang dan menuliskan reviewnya), lelaki pendiam yang cerdas yang bisa
melakukan perbuatan nekat, sebuah karakter yang akan selalu kita ingat, yang
selalu kita rindukan, bisa dibilang karakter cowok yang dibuat penulis
merupakan salah satu khasnya, selain alur cerita yang tidak bisa kita tebak.
Covernya tidak perlu dipertanyakan lagi, sebuah radio lawas
yang menggambarkan inti cerita, sesuatu yang mempertemukan Naila dengan Nino
dan seekor kuda yang membuat mereka saling memulai percakapan untuk pertama
kalinya. Untuk typonya, terpaksa saya katakana cukup banyak, terlebih untuk
pemisah katanya, sering saya temukan tidak ada spasi di dua kata yang harusnya
terpisah, dan beberapa kata dobel dalam satu baris.
Buku ini saya rekomendasikan buat kamu yang ingin mengenang
tragedi 98, buat para mahasiswa UGM dan tentunya buat penggemar sad ending,
ehehehe.
Terpaksa saya memberikan 3.5 untuk si bodoh Nino
dan berharap mbak Morra membuat cerita yang endingnya saya suka :p.
Kok reaksi untuk kedua buku sebelumnya agak sadis, Lis? :)
BalasHapusBtw, ceritanya happy ending kok.. meski ga happy2 banget lah.. #komenmacamapaini
hahahaha, aku selalu sadis sama bukunya mbak Morra tapi tetep dicari-cari :-d
Hapusak kan udah bilang, tergantung masing-masing yang baca, apa ak ikut fanfic aja ya, nyiptain ending sesuai harapanku aja =))
Kurang puas baca novel ini >.<
BalasHapusPengennya Nino sama Naila bukannya sama Ve, kan biar kalo nikah N&N (haha, ngarep :p)
Masih penasaran sampai sekarang, kok bisa Nino ketemu lagi sama Ve dan malah udah .... (gak mau nyebutin) -,-
Gak suka dengan pendapat ini "mahasiswa kedokteran itu kaya raya, jadi tidak ada masalah kalau ada kenaikan ongkos bayar iklan, beda dengan mahasiswa teknik yang anggarannya harus dibagi dengan delapan jurusan di dalamnya". Kesannya org teknik itu miskin kali pas kuliah. Sbg mahasiswa teknik aku gak setujuuu.
BalasHapusHmm, baru tau kisah berdirinya radio Swaragama FM. Semoga bisa streaming radio tsb dah.
I'll definitely find this book! *merdeka!*
BalasHapusAku pernah tanya sama temen aku tentang pendapat buku ini, kata dia seru sih bacanya juga sampe nangis. Jujur aja aku belum baca bukunya sih,
BalasHapusNovel bertema yang unik ya. Aku gemeter sendiri bacanya waktu demo itu.
BalasHapus