Ketika Daun Bercerita
Penulis: Maradilla Syachridar
Editor: Raditya Dika dan Mala Aprilia
Desain sampul: Fachreza Astnam Mubarak
Penerbit: Bukune
ISBN: 602-8066-18-4
Cetakan pertama, Juli 2008
184 halaman
Harga: 10k (beli di Gramedia Solo)
Aku mungkin hanya bisa meratap seorang diri, atau berdua bersama Kimi. Aku terlalu mengenal dia, dia, dia, dan dia. Terlalu mengenal mereka, sementara mereka tidak akan pernah mengenalku. Mereka adalah manusia, aku hanyalah sebatang pohon, human-wannabe. Kadang aku ingin memanggil mereka, meminta maaf kepada mereka, memanggil orang-orang yang mempengaruhi hidupku. Aku juga ingin berterima kasih kepada mereka karena berkenan menjadi orang yang berarti dalam hidupku. Namun aku sadar, aku tidak akan pernah merasa dipanggil. Mungkin aku hanyalah pohon yang sedang memaksa untuk hidup dan berpikir seperti manusia. Pohon memang hanyalah pohon. Namun, pernahkah aku meminta untuk menjadi pohon?
Kita hanyut oleh tutur laporan pandangan mata pengarang yang diwakili oleh pohon. Sensitivitas cerita ini menyentil kita. -Linda Djalil, penulis, wartawan senior, lulusan Sastra Indonesia UI-
Selangkah ke depan, seperti bakul jamu, setelah memikat dengan ular, sulapan, dan tak jarang akrobatik, seorang penulis dituntut menyampaikan isi hatinya yang membuat sebuah tulisan mengesankan. Penulis muda ini tampak memahami hal tersebut. -Putu Wijaya, sastrawan, budayawan-
Senang sekali menemukan buku wishlist kita yang udah susah dicari dengan harga sangat keterlaluan, itulah yang saya rasakan ketika menemukan buku ini ditumpukan diskon buku agromedia di Gramedia Solo awal tahun lalu ketika kopdar BBI Joglosemar yang pertama, girang banget. Saya termasuk salah satu penyuka tulisan backing vocal,
synthesizer player and songwriter band Homogenic ini, yang terkenal absurd. Bukunya yang sebelumnya saya baca; Ruang Temu -review menyusul :p-, dan beberapa antalogi seperti; Perkara Mengirim Senja, Menuju(h) -review menyusul :p- dan Memoritmo membuat saya terus dan terus mengikuti sepak terjangnya. Ketika Daun Bercerita adalah novel pertamanya, diikuti dengan Turiya (diterbitkan indi dan susah sekali dicari, buku ini mempunyai cerita yang hampir sama dengan Ruang Temu, atau mungkin sama hanya beda penerbit major dan indi, saya kurang tahu tentang info buku ini) dan yang terbaru sebuah antologi bersama beberapa penulis lain; Setahun Berkisah yang keduanya belum saya baca dan menjadi wishlist saya :D.
Persetan dengan Aristoteles yang berkata bahwa tanaman mempunyai jiwa namun tidak memiliki perasaan.
Apakah harapanku terlalu tinggi jika aku memiliki keinginan agar kalian senantiasa menjaga kehidupan kami, melingkupi kami dengan udara kotor yang baik untuk pernapasan kami, memupuk kami dengan segala kombinasi dari sisa-sisa berbagai bahan mentah dari bumi, tanah, udara, dan cahaya matahari sehingga tanaman memiliki bentuk-bentuk indah bahkan berwarna-warni?
Tolong, izinkan aku dan sahabatku menjadi bagian dari kalian. Jangan pertanyakan sebabnya, karena bukan kami yang meminta untuk hidup bersama kalian di tengah-tengah ekosistem yang menjadikan kalian sebagai pemeran utama.
Lapangan, hanya sebuah lapangan.
Namun, di situlah kami tinggal. Di situlah kami menjadi bagian dari sebuah kehidupan yang berisi kisah-kisah segelintir manusia di dalamnya.
Seharusnya judul buku ini adalah Ketika Pohon Bercerita, karena tidak ada daun yang berbicara, sudut pandangnya adalah sebatang pohon bernama Baba, ada sahabat yang menemaninya, Kimi, mereka tinggal di sebuah lapangan. Baba memiliki nama lain Pterocarpus Indicus Willd, sebuah pohon angsana besar di tepi lapangan yang tidak mempunyai nama. Sedangkan Kimi adalah sebuah pohon angsana yang berukuran sedang, mereka berdua memiliki perbedaan umur dan visualisasi yang mencolok. Mereka berdua menjadi saksi bisu orang-orang yang sering mengunjungi lapangan tersebut. Ada Sang Komandan dan Si Anak Tampan, dua sahabat yang suka bermain bola, ada dua anak kecil yang lugu yang suka bermain boneka dan masak-masakan; Mila dan Si Karet Ungu, ada dua remaja yang saling jatuh cinta; Innaya dan Mira, sampai-sampai mereka mengukir nama di badan Kimi yang sempat membuat Kimi kesakitan. Persahabatan Mira dan Mondri, dua pembantu yang suka bergosip; Neng Omah dan Mbak Sur, pembantu yang jatuh cinta dengan majikannya, perselingkuhan, kenakalan remaja, kecemburuan yang membabi buta, kesedihan akan kehilangan yang terjadi, semua yang dirasakan manusia kini dirasakan juga oleh Baba dan Kimi.
Beginilah keadaannya. Setiap kali menyaksikan suatu penyimpangan, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sedih memang rasanya, ketika disuguhkan hal-hal yang tidak baik di hadapan kita namun kita tidak bisa mencegahnya, atau setidaknya kekedar menginggatkan. Rasanya tidak jauh berbeda dengan menyaksikan seorang perampok membunuh korbannya dan yang kita lakukan hanyalah menonton dan membiarkannya.
Yang saya suka dari buku ini selain sudut pandangnya dari pohon adalah alur yang mengejutkan, tokoh-tokohnya yang berwarna dan adanya issue global warming, illegal logging yang disisipkan penulis. Alurnya benar-benar membuat saya terkejut, tidak pernah saya mengira kalau anak kecil dan anak remaja itu merupakan orang yang sama, dengan tidak adanya setting waktu yang tertulis, saya kira semua tokoh dibuku ini dalam satu alur, kejutannya benar-benar tepat sasaran. Kemudian untuk para tokoh-tokohnya, saya suka sekali dengan Sang Komandan, walau sering mencoba hal-hal yang tidak baik dia sayang sekali dengan Si Karet Ungu, adiknya yang merupakan anak indigo. Konfliknya pun banyak, Si Anak Tampan yang sangat rindu bermain bola dengan sahabatnya, yang keberadaaannya dirindukan juga oleh Baba dan Kimi, Mira yang dihianati Innaya yang berbuah kecemburuan selingkuhannya sehingga memisahkan Baba dan Kimi. Peristiwa kebakaran yang membuat saya sedih sekali, kekalutan Neng Omah yang setelah menikah dengan majikannya hidupnya tidak tenang karena sering menjadi bahan omongan orang. Semuanya terangkum dalam memori Baba, sebatang pohon yang memiliki perasaan, sebatang pohon yang butuh teman. Bersama Baba, kita menyusuri kehidupan orang-orang disekitarnya, orang-orang yang dirindukannya, bersama Baba kita akan menemukan kebenaran-kebenaran yang tersingkap di akhir cerita.
Kekurangan buku ini mungkin judulnya saja yang kurang tepat, tulisannya yang terlalu kecil dan sedikit typo. Covernya keren, ternyata dari dulu udah ada cover yang 'bolong', saya kira baru akhir-akhir ini sebuah cover tidak hanya 'polos'.
Berikut saya tuliskan beberapa pendapat Baba yang saya sukai:
Menyenangkan memang menjadi anak kecil. Jauh dari beban, tidak perlu memikirkan persoalan hidup manusia, kesenangan mereka diutamakan, bermain adalah salah satu prioritas utama. Coba bayangkan jika manusia dewasa hidup dengan cara seperti itu. Kacau dunia.
Manusia mana yang tidak setuju bahwa seni kehilangan itu tidak menyakitkan?
Illegal Logging, inilah illegal logging , ketika manusia secara semena-mena membunuh pohon yang mereka pikir tidak bernyawa, tidak memiliki perasaan, hanyalah sekedar benda mati yang tidak bersuara dan tidak bergerak. Mereka tidak tahu rasa sakit yang kami derita karenanya.
Sayangilah pohon yang ada disekitarmu, kamu tidak tahu apa yang sehari-hari kamu lakukan direkam oleh sesuatu yang tidak pernah kamu kira sebelumnya. Dia punya hati, dia punya perasaan, dan dia tidak akan membocorkannya kepada siapa pun.
Empat sayap untuk si pohon angsana.
ini buku membawa misi untuk pencegahan global warming yaa? hehehhe
BalasHapussalah satu pesan moralnya, sy tapi banyak cerita kehidupan manusia di dalamnya kok :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSatu buku dari sudut pandang pohon, lis? Karet ungu juga pohon? Kalo iya salut banget
BalasHapusbukan, cuman pohon aja pov-nya, si karet ungu itu nama anak kecil yg sering dipanggil Adek cuman karena g pernah nyebutin namanya, Baba dan Kimi manggilnya si karet ungu
Hapusekologis banget......
BalasHapuspengen.....
Oh harusnya judulnya Ketika Pohon Bercerita. hmmm
BalasHapusIya nih ceritanya ekologis dan go green banget
Like this
Aku suka ceritanya 🤩🤩🤩 btw aku mau terbitan yang lainnya dong.. Hihii
BalasHapus