Penulis: Ranti Hannah
Editor: Resita Wahyu Febiratri
Penerbit: Gagasmedia
Cetakan: I. 2011
ISBN: 979-780-488-7
298 halaman
Ranti Astria Hannah. 24. Doctor. Wife. Mother. Daughter. Cancer Patient.
Kita boleh merencanakan segala sesuatu sesuai dengan harapan kita, tapi tetap saja Tuhan yang memutuskan.Di buku ini kita akan membaca memoar atau kisah nyata dari pengalaman penulis menghadapi kanker payudara, dimana sewaktu dia didiagnosa penyakit tersebut, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu sedang hamil 7 bulan. Tentu menjadi berita yang sangat kejam, baru berusia 24 tahun, setahun menikah, dan sebentar lagi memiliki momongan, kebahagian yang awalnya tak terkira tiba-tiba saja hancur. Walaupun awalnya shock, penulis tidak menyerah, tetap tegar, dia berjuang demi anak, suami, keluarga dan teman-temannya untuk memerangi penyakit yang menjadi momok bagi seorang wanita. Karena hamil, penulis hanya bisa melakukan USG, padahal yang dibutuhkan adalah Mammografi (pemeriksaan payudara menggunakan sinar-x yang berbahaya bagi janin). Disamping kesedihan yang mendera, ketakutan tidak bisa memberikan ASI Eksklusif, ada kebahagiaan yang membuncah ketika Rania Aiesha Budhiman. 3200 gr. 49 cm, lahir dengan sehat sempurna.
Setelah sang "kakak" lahir, penulis tidak buang waktu untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke Singapura. Mulai dari USG sampai mammografi. Pemeriksaan mammografi dilakukan untuk melihat adanya mikrokalsifikasi, pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendeteksi adanya kanker payudara stadium dini. Penulis menyebut the pancake machine karena pada pemeriksaan jaringan payudara harus dibuat menyebar supaya masa asing di payudara bisa jelas terlihat karakteristiknya. Untuk menyebarkan jaringan payudara, caranya adalah dengan menekan dan memipihkan payudara tadi antara dua pelat tersebut. Payudara menjadi gepeng sekitar lima sentimeter tebalnya, lalu, di potret dengan sinar-X. Setelah melakukan berbagai pemeriksaan, penulis positif terkena kanker payudara stadium II. Mastectomy (pengangkatan seluruh payudara) pun segera dilakukan agar sel kanker tidak menyebar. Selanjutnya, penulis melakukan pengobatan yang menjadi momok penyakit kanker, Kemoterapi. Cairan yang dimasukkan lewat selang infus, cara kerjanya membunuh sel-sel yang membelah cepat. Salah satu efek sampingnya adalah menghambat pembelahan sel-sel folikel rambut, sekarang jelaskan kenapa buku ini diberi judul Hairless?
Selain menceritakan suka dukanya, yang saya suka dari buku ini adalah penulis juga menuliskan informasi kanker payudara dengan detail, mulai dari sejarah timbulnya penyakit sampai pengobatannya. Karena saya juga lulusan di bidang kesehatan (ehem), saya tertarik dan penjelasan dr. Ranti Hannah (hehehe, soalnya suka pusing kalau baca sendiri dari buku literatur yang ada di perpus) benar-benar mudah dimengerti dan tidak njlimet, apalagi waktu dia melakukan presentasi sendiri ke keluarganya tentang kanker payudara, benar kata penulis, penyakit ini bukan hanya miliknya tapi seluruh keluarganya. Langkah awal yang dilakukan juga begitu cerdas, berbekal pengetahuan, berbekal tahu, sepele tapi sangat penting. Keluarga atau orang terdekat kita jadi tidak "buta" tentang kanker karena merekalah yang selalu ada bersama kita, jadi penting bagi mereka untuk mengetahui kondisi kita. Tidak hanya itu, support dari orang-orang terdekat pun bisa membuat kita menjadi lebih kuat, yang paling mengharukan tentu saja di buku ini adalah pengertian suami penulis, Pandu Surya Budiman. Walaupun dari penampilan kocak, ada beberapa bagian yang membuat saya ikut teriris, di halaman 52,
"Ssshh...," bisik Pandu sambil membenamkan mukanya dileherku. Pelukannya semakin erat. Pikiran saya terasa kosong. rasa tidak enak itu menjelma menjadi awan hitam yang menyelimuti dada dan perut, mengimpitnya, membuat saya sulit bernapas.
Lama kami terdiam dari posisi itu. Saya biarkan awan hitam menguasai saya. Tidak berdaya rasanya mencoba melawan. Setelah beberapa saat isakan tangis saya berangsur-angsur surut. Napas saya perlahan-lahan kembali normal. Saya merasa sendirian.
Saat itu saya baru menyadari bahwa leher saya basah. Merasakan air mata Pandu di leher dan pundak saya. Anehnya, justru membuat saya merasa jauh lebih lega. Akhirnya ia mengerti. Awan hitam itu sedikit menipis. And I'm longer alone in it."
kemudian, waktu membaca halaman 224 ini, menjadikan saya Anggota fanclub Pandu-si-suami-teladan, saya beneran terharu dan mrebes,
But then the horror strarted. Berjumput-jumput rambut saya berjatuhan begitu tangan saya membasuh kepala. Setiap kali saya menyentuh kepala, rambut-rambut menempel di telapak tangan. Rambut saya terus berjatuhan hinga lantai shower kami terlihat seperti dilapisi karpet hitam. Dan ini tak kunjung berakhir.
.....
"Pap, ternyata banyak banget, ya," ujar saya sambil sibuk membersihkan rambut yang menempel di leher sambil membelakanginya.
Pandu tidak menjawab.
Saya menoleh tepat saat Pandu mengangkat mukanya untuk memandang saya. matanya merah. Keceriaan yang biasanya selalu menghiasi mukanya lenyap sama sekali. Ia akhirnya tidak kuat lagi. Pandu memandang saya dan menagis sejadi-jadinya. Tangisannya yang meraung-raung membuat saya serasa beku. hati saya remuk jadinya. Benarkah saya semenyedihkan itu?
Betapa beruntungnya mbak Ranti memiliki suami seperti Om Pandu, keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya berjuang agar tetap sehat. Selain mendapatkan pengalaman yang berharga dari mbak Ranti, kita juga bisa belajar melalui buku ini, mengenal lebih dekat dengan kanker.3 sayap untuk Ranti Astria Hannah. Doctor. Wife. Mother. Daughter. Cancer Survivor.
Ternyata kisahnya menarik bgt ya~Aku agak ga tega baca buku yg sedih2 begini
BalasHapuswalaupun sedih tapi banyak yang kocak kok, apalagi suami mbak Hannah, dia kocak banget, pasti seneng banget punya suami yang selalu mendudung :)
BalasHapuseh, Sabtu besok, di Gramed Depok, mbak Ratih ada ljo, mau bahas buku ini. Mau minta ttd ngga? nice review, Sulis... Love it
BalasHapuswaaaa..... alamat ikut terenyuh ni baca buku model gini.. Tapi iya, kisah perjuangan seseorang dalam hidupnya selalu sedikit banyak "menular" ke pembaca iya ngga sih?..
BalasHapus@ine yah, ak bukunya cumi mb, alias cuma minjem, hehehe. Makasih mb sudah mampir :)@anisa: lumayan mb, ak suka penulis yg cepat tanggap menghadapi penyakitnya. Setelah merasa curiga, dia langsung memeriksakan diri. Itu hal yg paling utama yg menurutku perlu dicontoh. Semangatnya juga tinggi, membekali keluarganya dg pengetahuan ttg kanker. Dengan membaca buku ini mungkin kita bisa ikut semangat :)ya cumi mb, alias cuma minjem, hehehe. Makasih mb sudah mampir :)@anisa: lumayan mb, ak suka penulis yg cepat tanggap menghadapi penyakitnya. Setelah merasa curiga, dia langsung memeriksakan diri. Itu hal yg paling utama yg menurutku perlu dicontoh. Semangatnya juga tinggi, membekali keluarganya dg pengetahuan ttg kanker. Dengan membaca buku ini mungkin kita bisa ikut semangat :)
BalasHapusbagus euy reviewnya lis =) jadi tertarik sama bukunya...baca buku gini bener2 menginspirasi banget yaaaa
BalasHapus@astrid makasih mb :). Iya bukunya bagus, banyak pengetahuan yg bisa di dapat di sini :))
BalasHapusBerdasarkan buku ini, aku belajar 3 hal:
BalasHapus1. Sesuai paragraf pertama mbak Sulis "Kita boleh merencanakan segala sesuatu sesuai dengan harapan kita, tapi tetap saja Tuhan yang memutuskan".
2. Dokter juga manusia. Seorang yg berprofesi dokter juga bisa mengidap kanker
3. Bersyukur dengan segala pemberian Tuhan