Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Desain sampul dan isi: Ari Prameswari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-8879-2
Cetakan kedua, November 2012
494 halaman
Buntelan dari mbak @kenpetung
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Desain sampul dan isi: Ari Prameswari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-8879-2
Cetakan kedua, November 2012
494 halaman
Buntelan dari mbak @kenpetung
Sinopsis:
Dalam epik ini, kisah Amba dan Bhisma dalam Mahabharata bertaut (dan bertabrakan) dengan kisah hidup dua orang Indonesia dengan latar kekerasan tahun 1965.
Amba anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah. Ia meninggalkan kota kecilnya, belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir, seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah sakit.
Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri dan Yogya.
Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.
Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di Pulau Buru.
Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma, dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.
Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk dia—tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.
Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang pelbagai peristiwa—yang kejam dan yang mengharukan—dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru.
Melalui penelitian bertahun-tahun, melalui puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya Amba menulis:
Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.
Amba anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah. Ia meninggalkan kota kecilnya, belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir, seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah sakit.
Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri dan Yogya.
Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.
Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di Pulau Buru.
Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma, dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.
Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk dia—tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.
Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang pelbagai peristiwa—yang kejam dan yang mengharukan—dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru.
Melalui penelitian bertahun-tahun, melalui puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya Amba menulis:
Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.
My Review:
Alasan kenapa pengen baca buku ini adalah tema yang sama dengan buku Pulang, tentang G30SPKI yang melatari cerita. Nggak sama plek, cukup berbeda sebenarnya kecuali peristiwa berdarah yan pernah terjadi di Indonesia. Kalau Pulang bercerita tentang orang-orang yang tidak bisa pulang buku ini lebih ke pencarian seseorang, tentang pulau Buru, tempat yang pernah menjadi pengasingan tapol.
Cerita diawali dengan ditemukannya dua perempuan yang sepertinya habis 'bertempur'. Perempuan pertama dilukai perempuan kedua dan tak sadarkan diri, tidak tahu siapa dia sebenarnya, darimana asal usulnya, sedangkan perempuan kedua yang mencoba membunuhnya adalah warga asli Waeapo, pulau Buru. Kejadian itu membuat geger seluruh kampung. Perempuan pertama ditemukan di tengah hutan dengan mendekap sebuah gundukan tanah. Baru setelah seorang laki-laki bernama Samuel datang, misteri demi misteri mulai terungkap. Perempuan pertama itu bernama Amba, dia datang ke pulau Buru untuk mencari suaminya yang hilang pada peristiwa 1965, empat puluh satu tahun yang lalu.
Sejak kecil Amba sudah terlihat feminis, dia berbeda dengan kabanyakan perempuan yang hanya selalu menurut, dia sulung dari tiga bersaudara, anak dari seorang bapak yang menjadi kepala sekolah dan ibu yang mengabdikan sepenuhnya untuk keluarga, mereka tinggal di Kadipura, Kediri. Bukannya cepat-cepat menikah dia malah ingin melanjutkan pendidikan ke universitas, Amba memang cerdas dan punya pendirian yang kuat, tak peduli pendapat orang lain, dia juga tidak percaya akan pernikahan. Di usianya yang kedelapan belas, orang tua Amba terlebih ibunya sangat mengkhawatirkan status putrinya itu, umur delapan belas belum menikah sudah memasuki gelar perawan tua, Amba pun tak kuasa menolak ketika orang tuanya mengenalkannya pada Salwa, pemuda yang mengambil hati kedua orang tua dan saudara Amba, yang juga menyukainya. Mereka tidak langsung menikah karena Amba diterima di fakultas sastra Gadjah Mada, mereka bertunangan.
Pada pertengahan 1965 Salwa mendapatkan pelatihan guru di Universitas Airlangga selama setahun, di satu sisi Salwa tidak ingin berpisah dengan Amba di sisi lain Salwa tahu kalau Amba belum siap menikah, mereka pun menjalani hubungan jarak jauh dengan saling berkirim surat. Amba tidak ingin hanya berdiam diri menunggu Salwa menyelesaikan pelatihannya, sebuah iklan di surat kabar membawanya ke sebuah rumah sakit di Kediri, menjadi penerjemah dokumen medis seorang dokter lulusan luar negeri.
Alasan kenapa pengen baca buku ini adalah tema yang sama dengan buku Pulang, tentang G30SPKI yang melatari cerita. Nggak sama plek, cukup berbeda sebenarnya kecuali peristiwa berdarah yan pernah terjadi di Indonesia. Kalau Pulang bercerita tentang orang-orang yang tidak bisa pulang buku ini lebih ke pencarian seseorang, tentang pulau Buru, tempat yang pernah menjadi pengasingan tapol.
Cerita diawali dengan ditemukannya dua perempuan yang sepertinya habis 'bertempur'. Perempuan pertama dilukai perempuan kedua dan tak sadarkan diri, tidak tahu siapa dia sebenarnya, darimana asal usulnya, sedangkan perempuan kedua yang mencoba membunuhnya adalah warga asli Waeapo, pulau Buru. Kejadian itu membuat geger seluruh kampung. Perempuan pertama ditemukan di tengah hutan dengan mendekap sebuah gundukan tanah. Baru setelah seorang laki-laki bernama Samuel datang, misteri demi misteri mulai terungkap. Perempuan pertama itu bernama Amba, dia datang ke pulau Buru untuk mencari suaminya yang hilang pada peristiwa 1965, empat puluh satu tahun yang lalu.
Sejak kecil Amba sudah terlihat feminis, dia berbeda dengan kabanyakan perempuan yang hanya selalu menurut, dia sulung dari tiga bersaudara, anak dari seorang bapak yang menjadi kepala sekolah dan ibu yang mengabdikan sepenuhnya untuk keluarga, mereka tinggal di Kadipura, Kediri. Bukannya cepat-cepat menikah dia malah ingin melanjutkan pendidikan ke universitas, Amba memang cerdas dan punya pendirian yang kuat, tak peduli pendapat orang lain, dia juga tidak percaya akan pernikahan. Di usianya yang kedelapan belas, orang tua Amba terlebih ibunya sangat mengkhawatirkan status putrinya itu, umur delapan belas belum menikah sudah memasuki gelar perawan tua, Amba pun tak kuasa menolak ketika orang tuanya mengenalkannya pada Salwa, pemuda yang mengambil hati kedua orang tua dan saudara Amba, yang juga menyukainya. Mereka tidak langsung menikah karena Amba diterima di fakultas sastra Gadjah Mada, mereka bertunangan.
Pada pertengahan 1965 Salwa mendapatkan pelatihan guru di Universitas Airlangga selama setahun, di satu sisi Salwa tidak ingin berpisah dengan Amba di sisi lain Salwa tahu kalau Amba belum siap menikah, mereka pun menjalani hubungan jarak jauh dengan saling berkirim surat. Amba tidak ingin hanya berdiam diri menunggu Salwa menyelesaikan pelatihannya, sebuah iklan di surat kabar membawanya ke sebuah rumah sakit di Kediri, menjadi penerjemah dokumen medis seorang dokter lulusan luar negeri.
"Seorang lelaki harus dibikin jatuh cinta selamanya pada seorang perempuan agar ia tak pergi. Tapi, ia tak mengucapkannya: ini adalah rahasia terdalam.
Bhisma Rashad, dialah sang dokter, dialah yang akan memporak-porandakan kehidupan Amba. Cinta mereka membara di tengah panasnya politik saat itu, Bhisma dicurigai menjadi salah satu yang kiri dan perpisahan mereka pada malam itu, pada malam penyerbuan di Universitas Res Publica, menjadi perpisahan selama-lamanya.
"Tentu saja, ia amat akrab dengan cerita itu. Bagaiamana tidak, dengaan namanya. Sebagaimana adik-adiknya. Amba tumbuh bersama kisah Putri Amba yang pada suatu hari, bersama kedua adik kembarnya Ambika dan Ambalika, diculik oleh Bhisma dari sebuah sayembara. Mereka akan dikawinkan dengan Raja Wichitawirya dari Kerajaan Hastinapura. Amba menyaksikan bagaimana tunangannya, raja muda Salwa, dipermalukan setelah ia menantang Bhisma dan dikalahkan di tengah hutan, di hadapan pasukannya. Setelah itu, kegilaan. Amba menyaksikan begaimana rasa kehormatan laki-laki mengalahkan semua emosi di muka bumi -dan ia, putri kerajaan, dicampakkan setelah kekalahan itu, karena Salwa malu, karena Salwa punya harga diri yang lebih tinggi ketimbang cintanya. Tapi putri itu jga ditolak oleh penculiknya, karena Bhisma, ksatria luhur itu, ingin membuktikan rasa bakti yang tinggi, lebih tinggi ketimbang rasa kemanusiaannya. Para dalang kemudian bercerita bahwa Putri Amba menyimpan dendam kesumat sebesar samudra. Seluruh hidupnya adalah persiapan pembalasan terhadap kaum laki-laki."
"Amba." Ia tersenyum. "Dalam cerita wayang, nama itu nama tokoh wanita yang dicampakkan oleh dua lelaki."
Kalau Pulang terispirasi kisah nyata, sepertinya buku ini juga, terispirasi dari seorang dokter ahli bedah keturunan Tionghoa, Dr. Oey yang mengapdikan diri seumur hidupnya di Irian Jaya, setelah kembali dari Stuttart, di buku ini Bhisma juga mengabdikan diri di Pulau Buru, dan lulusan dari Leipzig. Untuk kisah pewayangannya, kalau Pulang mengambik Drupadi dan Bima sebagai inspirasinya, di buku ini Amba dan Bhisma, saya lupa Amba ini apakah pernah disebutkan di buku The Palace of Illution - Divakaruni yan pernah saya baca, yang jelas kisah cinta yang saya tahu adalah Srikandi dan Bhisma, apakah Srikandi reinkarnasi dari Amba? Saya lupa. Srikandi dibuku ini digambarkan adalah anak dari Amba dan Bhisma.
G30SPKI, terinspirasi dari kisah nyata, dan ada kisah pewayangan yang disisipkan, itulah sedikit kesamaan dengan Pulang. Mau nggak mau saya menyamakan dan membandingkannya, tapi seperti yang saya katakan di awal, kedua buku ini berbeda. Peristiwa '65 hanya 'tempelan' saja di Pulang, tema utama yang diusung penulis adalah kisah keluarga dan kisah cintanya pun sangat terasa, berbeda dengan Amba, bisa dibilang kebalikan dari Pulang, kisah cintanya hanya 'tempelan', buku ini banyak bercerita tentang keadaan sebelum dan sesudah '65 meledak, bercerita tentang orang-orang yang tidak tahu apa-apa namun menjadi tersangaka peristiwa '65, sedikit keadaan para tahanan di pulau Buru dan yang paling utama adalah pencarian untuk berdamai dengan masa lalu.
Jujur saja, saya sedikit bosan ketika membaca buku ini karena kisah cintanya tidak menonjol, hahahaha, saya emang mudah bosan baca buku sejarah, harus ada penyemangatnya dan buku ini sedikit sekali memberi dorongan, berbeda dengan Pulang yang alasannya bisa dibaca di reviewnya :p. Bukan berarti tidak menarik, melihat bagaimana penulis melakukan riset (sampai ke pulau Buru) tentu membuat buku ini wajib dikoleksi bagi pengumpul sejarah. Diksinya pun oke, kadang menyisipkan bahasa jawa atau asing yang pada tempatnya.
"Bukankah berpisah, mengucapkan selamat tinggal adalah salah satu kritis terhebat dalam kehidupan manusia?"
Saya sebenernya sebel banget sama Bhisma, sikapnya yang nggak tegas, mengantung perasaan Amba dan merasa tidak ada tempat tujuan pulang ketika sudah 'enak' di Buru sangat sangat menyebalkan. Yah, melihat kisah aslinya di buku Mahabharata, bukannya Bhisma memang diceritakan berjanji tidak akan menikah? Kadang kita harus menerima cerita yang memang semestinya berakhir adanya.
3 sayap untuk kisah cinta Amba dan Bhisma.
3 sayap untuk kisah cinta Amba dan Bhisma.
Arrgg... skip reviewnya.. Belum baca..padahal udah lama tertim...*sinyal ilang*
BalasHapusayo dibaca :)
BalasHapushahaha aku mau baca pulang dulu aja deh, baru amba menyusul. enak banget dapet buntelan lis :D
BalasHapusNovel ini latarnya Indonesia tempo doeloe banget
BalasHapusSempat bingung kenapa novel sekeren ini gak dijadikan film
BalasHapusTapi pas baca ulang review-nya mungkin saja gak dijadikan film karena ada cerita orde lamanya. Cari aman saja biar pendukung Pak Soeharto gak rewel
Asyik banget mba Sulis dpt buntelan..... ini bukan genre ku tp klo soal sejarah Indo aku suka... thx reviewnya ,mba ^^
BalasHapus