Judul buku: The Visual Art of Love
Penulis: Ary Nilandari
Penyunting: Zahra Hanifa
Desainer sampul: Bella Ansori Putri
Penerbit: Pastel Books
ISBN: 978-602-6716-37-8
Cetakan I, Agustus 2018
312 halaman
Buntelan dari penulisnya.
Buntelan dari penulisnya.
Mungkinkah rasa sayang bercampur benci bisa mengabadikan seseorang di kepalamu?
Gemina, mahasiswi Desain Komunikasi Visual, suka “mojok” di toko buku untuk membaca serial populer. Di sinilah ia bertemu IgGy, penulis Trilogi Runako, yang protes karena bukunya tidak laku.
Dunia Gemina jungkir balik begitu ia menerima tawaran IgGy untuk me-review dan mengilustrasi novelnya. Trilogi Runako menjerat Gemina dalam kehidupan pribadi sang penulis. IgGy ternyata identik dengan labirin menyesatkan terkait latar belakang keluarga, tunangan, dan rahasia yang ia tulis di notebook-nya.
Menelusuri labirin itu, Gemina mendapati sesuatu yang terperangkap di kepala IgGy. Sesuatu yang menjadikan IgGy sosok egois penuh kebencian. Sesuatu yang telah mewujud dalam novel Trilogi Runako.
Gemina pertama kali melihat IgGy di toko buku saat cowok tersebut marah-marah tidak terima salah satu buku diperlakukan secara tidak adil, display-nya sangat kacau, katanya. Saat melihat adegan tersebut, Gemi sedang asik numpang baca buku terakhir serial Algis, karena tidak ingin dituduh menguping pembicaraan orang lain dan bukan urusannya juga, Gemi kembali fokus dan akhirnya terbawa suasana akan ceritanya, bahkan untuk meredam esmosi yang didapat, dia membuat ilustrasi Algis.
Sewaktu sedang asik menggambar tiba-tiba saja IgGy mendatanginya, mencela kenapa seusia Gemi malah membaca serial Algis, padahal buku tersebut sasarannya usia 9-12 tahun. Gemi cocoknya membaca Trilogi Runako dan bertanya apakah sudah membacanya. Gemi baru tahu kalau ada buku tersebut, dan hal ini tambah membuktikan kemarahan IgGy kalau penyebabnya adalah penempatan buku yang tidak tepat di toko buku, orang-orang jadi tidak tahu kalau ada buku tersebut, berbeda dengan serial Algis yang display-nya mencolok sehingga banyak orang tahu dan membacanya.
Karena tidak terima buku favoritnya dicela orang asing, Gemi pun membela dengan fakta, dia memberikan review secara lisan kenapa serial Algis sangat berarti baginya. Tertarik dengan cara Gemi mengulas, dia pun memberi penawaran. IgGy akan memberikan satu set lengkap serial Algis bertanda tangan penulisnya, Radmila asal Gemi mau membuat review buku pertama Trilogi Runako, buku yang ditulis IgGy sendiri. Gemi yang tidak punya satu pun serial tersebut, karena semuanya hanya bermodal numpang baca di toko buku, tentu saja tergiur.
Siapa yang menyangka penawaran tidak sengaja tersebut akan membawa Gemi ke kehidupan IgGy yang penuh misteri. Kehidupan mirip dengan Trilogi Runako yang kelam.
Karena tidak terima buku favoritnya dicela orang asing, Gemi pun membela dengan fakta, dia memberikan review secara lisan kenapa serial Algis sangat berarti baginya. Tertarik dengan cara Gemi mengulas, dia pun memberi penawaran. IgGy akan memberikan satu set lengkap serial Algis bertanda tangan penulisnya, Radmila asal Gemi mau membuat review buku pertama Trilogi Runako, buku yang ditulis IgGy sendiri. Gemi yang tidak punya satu pun serial tersebut, karena semuanya hanya bermodal numpang baca di toko buku, tentu saja tergiur.
Siapa yang menyangka penawaran tidak sengaja tersebut akan membawa Gemi ke kehidupan IgGy yang penuh misteri. Kehidupan mirip dengan Trilogi Runako yang kelam.
"Nah, itu kembali pada integritas, moral, dan tanggung jawab si kreator. Saat ia berkreasi, mustahil kepala dan hatinya kosong, tanpa pengetahuan, maksud, dan tujuan. Ia sudah berniat membuat sesuatu dan tahu akan ada reaksi. Apalagi kalau bentuknya eksplisit. Dia enggak bisa mengatasnamakan seni yang bebas nilai karena sejak awal sudah mengisi karya dengan nilai-nilai menurut versinya."
"Ya. Katanya, desain grafis itu bagian dari seni rupa atau visual art. Seni murni atau fine art merupakan ekspresi pribadi sang seniman, sedangkan desain grafis merupakan upaya berkomunikasi dengan bahasa visual untuk menyampaikan pesan yang sama kepada semua orang. Contohnya, marka dilarang parkir itu. Di mana pun, marka itu dimaknai sama oleh siapa pun. Poster donor darah itu juga, menggerakkan semua orang untuk ikutan. Desain grafis merupakan sarana untuk pemecahan masalah."Kali pertama membaca tulisannya mbak Ary Nilandari, meminjam kata-katanya Gemi, The Visual Art of Love memiliki karakter yang kuat, gaya bahasa yang segar, plot yang cepat, dan bernuansa gelap. Saya cukup menikmatinya, bisa dibilang buku ini sangat dekat dengan kehidupan para pembaca, selain bercerita tentang buku di dalam buku, dunia penerbitan, penulis juga menyisipkan dunia ilustrasi. Proses sebuah buku dibuat komik, sepertinya ini memang sedang menjadi tren, membuat versi visual.
Bagian yang saya suka adalah ketika penulis membahas dunia penerbitan dan perasaan pembaca akan buku favoritnya. Saya membayangkan serial Algis ini laiknya Harry Potter, buku anak-anak tapi bisa dinikmati siapa saja, dicintai pembacanya, memiliki fandom yang besar, selalu mendapatkan fokus utama, khususnya di toko buku. Kebalikan dengan buku yag kurang begitu populer, padahal siapa yang tahu buku tersebut tak kalah seru, kadang kalah dengan kepopuleran buku bestseller dan akhirnya mendapatkan tempat yang di mana pun bisa diletakkan, bahkan diletakkan hanya di gudang, sehingga tidak mendapatkan perhatian, orang-orang tidak tahu kalau buku itu ada.
Di kehidupan nyata pun hal ini memang sudah menjadi rahasia umum, memang keadaanya seperti itu. Makanya tidak heran penulis memutar otak agar bukunya bisa diterima para pembaca, tidak bisa kalau hanya mengandalkan penerbit, lewat peran media sosial, melakukan promosi secara mandiri. Itulah yang dilakukan IgGy dengan meminta Gemi membuat ulasan atau review yang nantinya bisa disebar ke media sosial yang dia punya. Ketika membaca buku ini, entah kenapa saya merasakan karakter Gemi di diri saya, hahaha. Mungkin karena sesama reviewers kali ya, kadang nggak bisa baca dan mereview cepat karena kesibukan kita memang nggak hanya itu, kadang senang bukan kepalang ketika menemukan buku yang sangat keren tapi underrated.
Setelah membaca, Gemi tak menyangka kalau Trilogi Runako page turner dan ada adegan cliffhanger di akhir cerita. Dia pun mencari tahu kenapa buku keren tersebut tidak laku di pasaran. Mungkin benar salah satu penyebab display yang kacau tadi dan ternyata kurangnya promosi IgGy, fanpage-nya tidak sehidup serial Algis, di mana para penggemar berkumpul dan membahas di sana. Ini juga penting sih kalau menurut saya, membangun relasi antara penulis dan pembaca, tidak mudah mendapatkan pembaca setia, dan jangan sampai disia-siakan karena yang bakalan rugi nanti penulisnya sendiri. Penulis tanpa pembaca sama saja tidak ada artinya.
IgGy sangat beralasan untuk memaksanya membaca Runako. Sangat beralasan untuk marah karena bukunya mendapat perlakuan buruk di toko. Tidak terlihat berarti tidak dibeli. Tidak dibeli, tidak dibaca, berarti tidak ada review, tidak ada rekomendasi dari mulut ke mulut, dan berarti tidak ada orang yang sengaja datang ke toko buku untuk mencarinya. Pada akhirnya buku diretur ke penerbit. Masuk gudang. Untuk suatu saat diobral dengan harga yang pasti menyakitkan hati penulis. Buku kedua dan ketiga terbit pun, dengan perlakuan seperti itu, tidak akan membantu. Trilogi yang tidak lengkap sulit menarik minat pembeli. Tamat riwayatnya.
Masuk ke cerita dan para tokohnya, seperti yang saya bilang tadi, karakternya cukup kuat. Banyak tokoh yang ditampilkan dan memiliki peran masing-masing. Memang jadinya banyak yang dibahas, misalkan saja tentang Tante Vira, sebenarnya nggak masalah sih kalau dia tidak ada, tapi kehadirannya berhubungan dengan Abah. Diceritakan juga para sahabat Gemi, tunangan IgGy, kak Juno senior Gemi dan pembuat ilustrasi buku Trilogi Runako dan Algis. Belum lagi masa lalu IgGy, konflik keluarganya dan tentang Gemi sendiri akan pilihannya masuk di Desain Komunikasi Visual.
Walau terasa penuh, konflik utama tetap tersampaikan dengan baik. Bagian Random, yang penulis sisipkan tiap pergantian bab, selain mempercepat alur tanpa banyak detail, memudahkan pembaca memahami apa yang sebenarnya dirasakan IgGy, tentang karakternya yang cukup gelap dan misterius. Akan perasaan Gemi kepada IgGy yang perlahan datang juga disampaikan tanpa tergesa-gesa, ada proses dari sebal menjadi penasaran kemudian tertarik lalu berujung jatuh hati.
Buku ini manis dan sangat dengan kita sebagai pembaca, kita akan merasakan apa yang dirasakan Gemi, numpang baca di toko buku, tidak bisa berhenti membaca ketika ceritanya keren, dan kadang membuat ilustrasi tokohnya sesuai imajinasi masing-masing. Masa lalu IgGy yang misterius juga tidak boleh dilewatkan. Recommended bagi kalian yang ingin membaca kisah cinta yang berhubungan dengan buku di dalamnya.
Walau terasa penuh, konflik utama tetap tersampaikan dengan baik. Bagian Random, yang penulis sisipkan tiap pergantian bab, selain mempercepat alur tanpa banyak detail, memudahkan pembaca memahami apa yang sebenarnya dirasakan IgGy, tentang karakternya yang cukup gelap dan misterius. Akan perasaan Gemi kepada IgGy yang perlahan datang juga disampaikan tanpa tergesa-gesa, ada proses dari sebal menjadi penasaran kemudian tertarik lalu berujung jatuh hati.
Buku ini manis dan sangat dengan kita sebagai pembaca, kita akan merasakan apa yang dirasakan Gemi, numpang baca di toko buku, tidak bisa berhenti membaca ketika ceritanya keren, dan kadang membuat ilustrasi tokohnya sesuai imajinasi masing-masing. Masa lalu IgGy yang misterius juga tidak boleh dilewatkan. Recommended bagi kalian yang ingin membaca kisah cinta yang berhubungan dengan buku di dalamnya.
Jadi penasaran. :")
BalasHapusDuh keren ya jadi pengen baca juga nih
BalasHapus