Perdebatan apakah lebih baik membaca buku versi asli daripada buku terjemahan tak ubahnya dengan lebih baik mana antara baca ebook atau buku cetak, tak akan ada habisnya. Padahal, keduanya sama-sama baik dan memiliki kelebihan masing-masing. Membaca buku versi bahasa aslinya, misalkan Inggris bisa mengasah kemampuan kita, sedangkan membaca versi terjemahan membuat kita cinta produk dalam negeri XD. Lalu kenapa selalu menjadi masalah? Apalagi harga buku terjemahan sekarang mahal banget, lebih baik beli aslinya, dong! Maka dari itu, Let's Talk.
Pernah ada teman yang berkomentar ternyata saya juga pecinta buku dalam negeri, padahal terlihat sering membaca buku terjemahan. Memang tidak salah, bisa dibilang kecintaan membaca saya dimulai dari membaca buku terjemahan, misalkan saja yang paling dominan adalah novel harlequin atau historical romance, kemudian merambah ke fantasy seperti Twilight dan Harry Potter. Baru ketika saya benar-benar menyukai kegiatan membaca, saya banyak membaca karya penulis dalam negeri, apalagi era Teenlit dan Metropop mulai menjamur, mulai deh bacaan saya meluas.
Baca juga: Baca Buku Cetak atau Buku Digital?
Alasan utama kenapa saya lebih memilih membaca buku terjamahan adalah kendala bahasa. Saya tidak jago bahasa Inggris, secara garis besar mungkin mengerti, tapi tidak dengan kata per kata. Pernah juga teman-teman yang suka baca versi asli menyarankan untuk jangan mengartikan kata per kata, garis besarnya saja, tapi bagi saya tidak cukup. Ketika membaca sebuah buku, saya ingin mengerti semua kalimat yang disusun penulisnya, supaya saya lebih mudah menangkap emosi dan jalannya cerita. Saya ingin cerita yang detail, dengan semua kalimat yang bisa saya resapi, bahasa yang saya pahami.
Alasan utama kenapa saya lebih memilih membaca buku terjamahan adalah kendala bahasa. Saya tidak jago bahasa Inggris, secara garis besar mungkin mengerti, tapi tidak dengan kata per kata. Pernah juga teman-teman yang suka baca versi asli menyarankan untuk jangan mengartikan kata per kata, garis besarnya saja, tapi bagi saya tidak cukup. Ketika membaca sebuah buku, saya ingin mengerti semua kalimat yang disusun penulisnya, supaya saya lebih mudah menangkap emosi dan jalannya cerita. Saya ingin cerita yang detail, dengan semua kalimat yang bisa saya resapi, bahasa yang saya pahami.
Kedua, akses untuk membeli buku impor. Toko buku saja tidak ada di kota saya, apalagi untuk buku-buku impor, saya harus ke kota yang lebih besar, seperti Solo apabila ingin membeli buku. Kalaupun ada, harga buku impor jauh lebih mahal dari terjemahan. Walau sekarang bisa dibeli lewat daring juga, tetap saja buku versi asli atau impor jauh lebih mahal dari budget kantong saya. Tapi, sekarang buku terjemahan mahal-mahal, mending beli aslinya sekalian, kan? Saya setuju juga sih, ini, bikin bangkrut karena selain buku dalam negeri, saya juga banyak sekali baca buku terjemahan, apalagi harga sekarang rata-rata lebih dari 100k, apalagi tuh Harry Potter cetakan terbaru, sampai 360k, hahahahiks.
Saya tidak tahu pasti karena saya bukan orang penerbitan, tapi saya memperkirakan alasannya antara lain beli ijin hak cipta-nya yang nggak murah, prosesnya nggak mudah. Kemudian alasan lain menurut saya meliputi biaya penerjemahan, membuat cover (apalagi kalau beli cover asli katanya jauh lebih mahal), tebal buku alias seberapa banyak kertas yang digunakan, dan biaya penerbitan atau produksi lainnya. Mungkin bagi orang dalam alias penerbitan yang bisa menjelaskan masalah ini, saya hanya menebaknya, hehehe.
Saya pernah membaca curhatan Manager Haru di Instagram ketika ingin menerbitkan buku The Girl on Paper. Penerbit Spring membutuhkan waktu lima tahun agar bisa menerbitkan karya Guillaume Musso tersebut, Spring diminta untuk menambah katalog buku yang diterbitkan karena pihak mereka tidak percaya akan penerbit yang masih baru. Mbak Hetih di twitter-nya juga pernah bercerita bagaimana susahnya mendapatkan hak cipta untuk buku-buku Gabriel Garcia Marquez. Dibutuhkan waktu dan tenaga serta kepercayaan agar buku tersebut bisa diboyong dan dinikmati pembaca Indonesia. Jadi, proses penerbitan buku terjemahan sama sulitnya dengan penulis dalam negeri yang ingin menerbitkan buku.
Pekerjaan penerjemahan adalah pekerjaan yg perlu kompetensi tinggi. Ga bisa hanya dengan modal "bisa bahasa Inggris" aja. Harus menyeluruh, termasuk memahami konteks pada perbedaan budaya dan tradisi. https://t.co/5oktFTbXYk— Clara Ng (@clara_ng) January 24, 2018
Jadi penerjemah itu justru harus lebih paham bahasa penerimanya, bukan sekadar "bulat-bulat" menerjemahkan kata per kata karena cuma ngerti bahasa aslinya. Konteks itu penting sekali, juga budaya bahasa penerima. https://t.co/dKWfot3F1F— Art3mis (@hetih) January 26, 2018
Banyak buku terjemahan yang bahasanya ancur, malah mengurangi kenikmatan membaca. Ya, saya tidak memungkiri kalau tidak semua buku terjemahan disajikan dengan ciamik. Saya bukan pembaca yang jeli, saya bukan pembaca yang ribet, asal bisa memahami dan 'feel'-nya terasa, saya tidak terlalu mempermasalahkan apakah terjemahannya buruk atau bagus. Saya tidak pernah membandingkan ketika membaca buku terjemahan kemudian menilik versi aslinya bagaimana, buang-buang waktu, hahaha. Saya menilai buku terjemahan dari kenyamanan ketika membaca.
Lalu, seperti apa terjemahan yang bagus? Terjemahan yang bagus menurut saya adalah ketika sang penerjemah berhasil mentransfer emosi atau perasaan dari buku tersebut. Bisa dinilai dari ketika kita membaca buku yang sedih kita akan larut bahkan ikut menangis, nyesek, nggak karuan rasanya. Membaca buku yang lucu maka kita bisa ikutan tertawa, membaca buku yang romantis maka hati kita ikut berdebar-debar, ikut jatuh cinta pada tokoh utamanya. Bisa merasakan emosi para tokohnya. Efeknya ketika kita membaca kalimatnya menjadi luwes dan enak dibaca, mudah masuk ke jalan cerita.
Yang paling tidak saya suka adalah ketika sudah main gunting, potong sana sini, mungkin ini bagian editor kali ya. Saya nggak masalah kalau ada adegan dewasa yang diperhalus, tapi paling malas kalau banyak adegan yang dihilangkan atau disensor habis, misalkan ciuman atau adegan kekerasan yang berdarah-darah. Setiap buku pasti ada genre-nya, sasaran usia pembacanya, kalau ada label adult, ya bisa dipahami kalau ada adegan dewasa atau butuh pemikiran yang lebih luas, jadi bisa maklum. Kalau buku Young Adult alias sasarannya remaja, kalau soal ciuman saja juga sudah biasa. Bukannya saya kecewa karena tidak mendapatkan adegan mesum, hahahaha, hanya saja saya merasa hal tersebut berpengaruh ke chemistry tokoh utamanya, apalagi kalau genrenya romance, berpengaruh ke jalannya cerita.
Lalu, seperti apa terjemahan yang bagus? Terjemahan yang bagus menurut saya adalah ketika sang penerjemah berhasil mentransfer emosi atau perasaan dari buku tersebut. Bisa dinilai dari ketika kita membaca buku yang sedih kita akan larut bahkan ikut menangis, nyesek, nggak karuan rasanya. Membaca buku yang lucu maka kita bisa ikutan tertawa, membaca buku yang romantis maka hati kita ikut berdebar-debar, ikut jatuh cinta pada tokoh utamanya. Bisa merasakan emosi para tokohnya. Efeknya ketika kita membaca kalimatnya menjadi luwes dan enak dibaca, mudah masuk ke jalan cerita.
Yang paling tidak saya suka adalah ketika sudah main gunting, potong sana sini, mungkin ini bagian editor kali ya. Saya nggak masalah kalau ada adegan dewasa yang diperhalus, tapi paling malas kalau banyak adegan yang dihilangkan atau disensor habis, misalkan ciuman atau adegan kekerasan yang berdarah-darah. Setiap buku pasti ada genre-nya, sasaran usia pembacanya, kalau ada label adult, ya bisa dipahami kalau ada adegan dewasa atau butuh pemikiran yang lebih luas, jadi bisa maklum. Kalau buku Young Adult alias sasarannya remaja, kalau soal ciuman saja juga sudah biasa. Bukannya saya kecewa karena tidak mendapatkan adegan mesum, hahahaha, hanya saja saya merasa hal tersebut berpengaruh ke chemistry tokoh utamanya, apalagi kalau genrenya romance, berpengaruh ke jalannya cerita.
Setiap profesi pasti memiliki tantangan tersendiri, tak ubahnya seorang penerjemah. Bagi saya, menerjemahkan buku itu termasuk seni, karena nggak semua orang yang jago bahasa asing bisa menerjemahkan dengan mudah dan bagus, harus sesuai konteks, setuju sekali dengan tweet di atas. Bagi saya penerjemah adalah penulis kedua. Mereka harus bisa mentransfer segala macam emosi ke pembaca yang lebih luas. Ketika membaca buku terjemahan, yang langsung terlintas adalah siapa penerjemahnya? Makanya ketika menulis resensi buku terjemahan, nama sang penerjemah tidak akan pernah saya lewatkan.
Beberapa rekomendasi nama penerjemah yang terjemahannya saya suka antara lain:
Dengan membaca buku terjemahan, kadang saya juga ikutan belajar, mendapat kosa kata baru, mendapat padanan kata yang pas. Misalkan contoh terjemahan yang paling terkenal adalah cermin tarsah dan pelahap maut, kata-kata tersebut sangat menancap di pikiran pembaca dan sangat indah, bahkan seperti menjadi kata-kata yang ikonik.
Dan saya rasa pekerjaan penerjemah tidak harus berasal dari jurusan bahasa Inggirs atau sastra Inggris, asal mencintai pekerjaan tersebut dan sering latihan, siapa saja bisa melakukannya. Contoh nyata, Angelic Zazai dan Merry Riansyah itu dulunya seorang pembaca biasa, yang kemudian iseng menerjemahkan buku Vampire Academy saking sukanya mereka pada buku tersebut. Sekarang? Terjemahan mereka wara wiri di toko buku, apalagi Angelic Zazai sangat jago soal menerjemahkan buku romance, feel-nya selalu dapat. Sedangkan Momo, panggilan-nya Merry dulu, hahaha, selain menjadi penerjemah sekarang menjadi editor juga.
Baca juga: Ketika Semesta Mengecam Buku Favoritmu
Saya kadang juga membaca versi bahasa asli kalau terpaksa, walau hasilnya bakalan lama karena tidak sesemangat baca versi terjemahan, sudah tidak sabar menunggu terjemahannya karena ingin segera mengetahui endingnya. Atau membaca buku dari penulis dalam negeri yang memilih menggunakan bahasa Inggris, mungkin menurut penulis lebih pas dan maknanya lebih dalam.
Kenapa memilih buku terjemahan? Kenapa nggak? Kalau dengan membaca buku terjemahan bacaan kita menjadi luas dan bisa memahaminya secara lebih mendalam, saya rasa nggak ada masalah. Nggak membuat kita terlihat bodoh atau derajad kita lebih rendah, kok, hehehehe. Apa sih intinya kita membaca? Menikmatinya, bukan? Jadi nggak perlu dibuat susah. Mau baca versi aslinya saja, biar 'feel'-nya lebih terasa, nggak masalah juga. Tinggal mana menurut kalian yang paling nyaman dilakukan :D
Beberapa rekomendasi nama penerjemah yang terjemahannya saya suka antara lain:
- Alm. Listiana Srisanti (Harry Potter Series)
- Femmy Syahrani (To Kill a Mockingbird, Stardust)
- Tanti Lesmana (Life of Pi, Gone with the Wind, Me Before You, Let The Right One In)
- Hetih Rusli (The Hunger Games Series)
- Berliani M. Nugrahani (The Kite Runner, A Thousand Spendid Suns, The Alchemyst, Inferno)
- Barokah Ruziati (Across the Universe Series, The Hate U Give, The Game of Thrones)
- Angelic Zaizai (Paper Towns, All the Bright Places, Perfect Chemistry)
- Poppy D. Chusfani (If I Stay Series, Lockwood & Co. Series)
- Shandy Tan (Red Rising, Hopeless, Maybe Not)
- Nadya Andwiani (A Monster Calls, Obsidian, The Stolen Songbird)
- Lulu Fitri Rahman (The Darkest Minds, The Golem and The Jinni)
- Merry Riansyah (Thirteen Reasons Why, Along for the Ride, Take a Bow)
- Lulu Wijaya, Linda Boentaram, Nur Aini, Endang Sulistyowati, dan masih banyak lagi karena lupa siapa saja saking banyaknya buku terjemahan yang saya baca XD
Membaca buku terjemahan tidak membuat tingkat kemampuan membaca kita lebih rendah. Peremehan terhadap buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia semacam itulah yg membuat bangsa ini jadi bermental minderan— Art3mis (@hetih) January 27, 2018
Dan saya rasa pekerjaan penerjemah tidak harus berasal dari jurusan bahasa Inggirs atau sastra Inggris, asal mencintai pekerjaan tersebut dan sering latihan, siapa saja bisa melakukannya. Contoh nyata, Angelic Zazai dan Merry Riansyah itu dulunya seorang pembaca biasa, yang kemudian iseng menerjemahkan buku Vampire Academy saking sukanya mereka pada buku tersebut. Sekarang? Terjemahan mereka wara wiri di toko buku, apalagi Angelic Zazai sangat jago soal menerjemahkan buku romance, feel-nya selalu dapat. Sedangkan Momo, panggilan-nya Merry dulu, hahaha, selain menjadi penerjemah sekarang menjadi editor juga.
Baca juga: Ketika Semesta Mengecam Buku Favoritmu
Saya kadang juga membaca versi bahasa asli kalau terpaksa, walau hasilnya bakalan lama karena tidak sesemangat baca versi terjemahan, sudah tidak sabar menunggu terjemahannya karena ingin segera mengetahui endingnya. Atau membaca buku dari penulis dalam negeri yang memilih menggunakan bahasa Inggris, mungkin menurut penulis lebih pas dan maknanya lebih dalam.
Kenapa memilih buku terjemahan? Kenapa nggak? Kalau dengan membaca buku terjemahan bacaan kita menjadi luas dan bisa memahaminya secara lebih mendalam, saya rasa nggak ada masalah. Nggak membuat kita terlihat bodoh atau derajad kita lebih rendah, kok, hehehehe. Apa sih intinya kita membaca? Menikmatinya, bukan? Jadi nggak perlu dibuat susah. Mau baca versi aslinya saja, biar 'feel'-nya lebih terasa, nggak masalah juga. Tinggal mana menurut kalian yang paling nyaman dilakukan :D
Nah, kalau menurut kalian bagaimana? Lebih suka baca versi terjemahan atau bahasa asli? Mengapa? Kalau suka baca buku terjemahan, siapa penerjemah favorit kalian? Let's Talk.
Saya sih batasannya selama diksinya nggak kaku dan malah lues, nggak bakal komen apa-apa. Apalagi membandingkan dengan buku asli. Yang penting ceritanya bisa dinikmati, cukup.
BalasHapusSetuju banget! Nggak muluk-muluk, deh 😁
HapusUntuk novelinggris aku memang lebih memilih terjemahannya karena gak bisa bahasa inggris. Tapi untuk novel bahasa Jepang, terkadang pengin baca aslinya.
BalasHapusWih keren dong, padahal pasti lebih sulit 😀
HapusSejak jadi langganan Scoop, eh, GiDi, jadi jaraaanggg banget baca terjemahan, kecuali manga scan Hahahaha... Akibatnya, reading comprehension ku plus vocab ku jadi melorot drastis. Hiksss...
BalasHapusBaca bahasa Inggris mbak maksudnya? Hahaha
HapusSebisa mungkin aku lebih pilih baca bahasa aslinya sih, soalnya pernah pengalaman baca buku terjemahan yg gak dapet banget feel-nya 🙁🙁 Kebanyakan buku Inggris doang; kalo novel Korea ato Jepang masih belom sanggup baca yg asli 😂😂
BalasHapusLebih susah lagi ya kalo selain Inggris, hihihi
HapusHana dulu pecinta buku terjemahan sih tapi semenjak kuliah punya temen2 yang suka baca buku bahasa inggris dan kebetulan pas kuliah dipaksa baca text book inggris, semenjak itu jadi lebih menikmati buku impor.. tapi kalau lagi males/reading slump/pusinng, hana suka coba baca lagi buku terjemahan sih XD jadi buat hana ngga masalah sih mau baca buku impor/terjemahan, yang penting baca :D
BalasHapusBener banget, yang penting bisa baca 😀
Hapussaya juga masih sering baca buku-buku terjemahan dan sangat salut sama para penerjemah (seperti nama-nama yang disebutkan di atas) yang bisa bikin terjemahan enak dibaca dengan tetap menjaga "nyawa" bukunya.
BalasHapusSetuju mbak, menurutku emang sulit tetap menjaga nyawa dari bukunya agar tetap bisa ngerasain seperti baca aslinya.
HapusTergantung bahasanya. Kalau bahasa Inggris atau Mandarin, biasanya aku akan beli keduanya. Versi asli dan terjemahan. Seringnya yang versi asli cuma tersimpan rapi, sih. Hehehe.. Kalau bahasa selain dua itu, aku akan pilih terjemahan dan tentu saja tergantung penerjemahnya juga. Hehehe
BalasHapusTergantung kita nyamannya pakai bahasa apa ya, duh jago banget! Aku bahasa Inggris aja masih melempem, hiks
HapusBerhubung B. Ing-ku nggak terlalu bagus, aku mengandalkan buku terjemahan saja, hehe.
BalasHapusSama :)
HapusSetuju, saya kalau ada akses untuk bisa membaca buku terjemahan, mungkin memilih buku terjemahan, karena ebook terjemahan biasanya lebih murah.
BalasHapusDan baca buku terjemahan tidak terlalu berat harus memikirkan kata yang tidak kita mengerti artinya.
Biasanya kalo ada orang yang terlalu mengglorifikasi buku asli > terjemahan, dan meremehkan orang yang baca terjemahan doang, biasanya emang book snob aja, kurang jauh maennya.
Iya hahaha, padahal kalau disuruh nerjemahin nggak yakin juga bakalan sukses kayak para penerjemah, karena emang butuh skill juga dalam menerjemahkan buku :)
Hapus