Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Desain sampul: Ika Natassa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-1892-9
Cetakan pertama, Juli 2015
344 halaman
Harga: 79k (Beli di @ParcelBuku)
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
Dalam bukunya ini, Ika Natassa mengenalkan istilah critical eleven, ada sebelas menit paling kritis di dalam pesawat —tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing. Tanya Laetitia Baskoro bertemu pertama kali dengan Aldebaran Risjad dalam penerbangan Jakarta-Sydney, awalnya mereka seperti penumpang kebanyakan, tidak ingin mengganggu satu sama lain, lalu Anya ketiduran dan kepalanya menyender di bahu Ale selama tiga jam, tapi gara-gara ketidaksengajaan tersebut obrolan pun terpecah dan mereka sangat menikmatinya. Di saat penerbangan itulah sebelas menit paling kritis dalam hidup mereka berdua tercipta, saling merasakan cinta. Sebulan kemudian mereka berpacaran. Satu tahun berselang mereka menikah.
Tentu tidak mudah menjalin hubungan jarak jauh terlebih keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ale yang berprofesi sebagai petroleum engineer di Teluk Meksiko harus menghabiskan lima minggu di tempat kerja, baru kemudian dia bisa menikmati lima minggu masa liburan. Sedangkan Anya yang seorang management consultant tinggal di Jakarta dan tidak jarang terbang ke berbagai kota atau negara lain. Waktu, uang dan letak geografis sebagai halangan dalam hubungan bisa mereka tangkal, tapi lima tahun setelah pernikahan ada satu hal yang tidak bisa mereka atasi secara bersamaan. Enam bulan mereka menjadi orang asing satu sama lain, berkubang dengan kesendirian dan kesedihan, menjadi hubungan entah apa namanya itu, mempertanyakan kembali apakah pilihan mereka sudah tepat dengan waktu kritis yang pernah diambil.
Dengan menggunakan alur maju mundur, Ika Natassa memulai dengan pertemuan kedua tokoh utama, mengisi dengan berbagai informasi atau pengetahuan umum untuk mendukung cerita, kemudian pembaca akan di lempar ke masa sekarang dengan efek kejut di akhir paragraf. Sering seperti itu, membuat pembaca harus bersabar dengan apa yang sebenarnya menimpa rumah tangga Ale dan Anya. Di bagian masa lalu, Ika Natassa akan menceritakan masa-masa indah di mana Ale dan Anya menjadi sepasang suami istri yang bahagia walau tidak setiap saat bisa bertemu atau setelah pertemuan pertama di pesawat, menceritakan teman-teman dan keluarga mereka. Di masa sekarang, Anya berusaha mematikan kenangan tentang Ale, sedangkan Ale sendiri berusaha membuat hubungan mereka seperti dulu lagi, dicintai Anya lagi.
Ika Natassa masih menggunakan gaya khasnya dalam menulis; bahasa gado-gado, profesi yang menarik bagi tiap tokohnya dan tidak pelit berbagi informasi tentang pekerjaan tersebut, serta pengetahuan umum yang saya sebutkan di atas. Misalkan saja Ika Natassa 'ngoceh' akan rumusan meet-cute dalam film romantic comedy, tentang memindahkan memori dari amygdala ke hippocampus, atau tentang istilah critical eleven yang menjadi ide dasar cerita ini. Sangat menarik, terlebih cara Ika Natassa melebur pengetahuan tersebut dengan ceritanya sendiri menjadi saling terkait dan satu kesatuan, sehingga akan memunculkan efek kejut di belakangnya. Mungkin akan membuat cerita bertele-tele tapi bagi saya hal tersebut malah mendorong rasa penasaran, karena masalah yang dialami Ale dan Anya akan terkuak sedikit demi sedikit. Sangat suka gaya bercerita seperti ini, sangat informatif dan genius kalau saya bilang. Nggak banyak penulis yang bisa membuat narasi panjang menjadi nikmat untuk terus diikuti, dan Ika Natassa punya cara tersendiri agar pembaca tidak bosan.
Diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, Ale dan Anya secara bergantian, pembaca akan mudah memahami perasaan keduanya, memang kadang menjadi repetitif, tapi dengan cara seperti itu kita akan mudah memahami apa yang ada di kepala Ale dan Anya dari dua sisi. Anya bisa jadi memiliki karakter yang mudah dibenci, sikap keras kepalanya yang mungkin dianggap kekanak-kanakan, hanya masalah sepele sampai segitunya terhadap Ale yang sudah mati-matian meminta maaf. Memang tidak mudah memaafkan orang lain yang menyakiti kita, terlebih orang yang kita cintai yang melakukannya. Apa yang dirasakan Anya sangat manusiawi sekali.
Alasan inilah yang membuat saya sangat menyukai Critical Eleven, setiap membaca ulang selalu menitikan air mata, akan luka yang dialami Anya, akan sakit hatinya yang susah untuk disembuhkan, usahanya memindahkan truk kenangan akan Ale dari amygdala ke hippocampus, akan usahanya mengatasi kehilangan. Kita tidak bisa dengan mudah mengontrol perasaan orang lain layaknya mengontrol suhu ruangan dengan menggunakan remot AC, tiap orang punya cara menyembuhkan luka masing-masing, tiap orang punya marahnya sendiri, dan bisa saja kita mendikte dia harus bagaimana, tapi apakah berhasil atau tidak, kita tidak tahu, karena hanya dialah yang bisa merasakannya.
Ale adalah karakter yang kuat, harus, karena sosok lemah dan rapuh sudah menjadi bagian Anya. Terkadang Ika Natassa menghadirkan humor satire pada bagian Ale, mengasihi dan menertawakan diri sendiri karena dicampakan dan dianggap angin lalu oleh istrinya sendiri. Ale tahu kesalahannya sangat besar dan dia sangat mencintai Anya, maka dia menjadi tandingan bagi Anya, untuk tidak menyerah akan hubungan mereka. Apa yang dilakukan Ale adalah kebalikan dari Anya, dengan berbagai cara Ale mendekatkan diri pada Anya, mencoba menembel hubungan yang sudah retak dalam biduk rumah tangga mereka. Ale membuat pembaca berempati padanya, membuatnya menjadi husband-material bagi kami para pembaca yang terlena akan tokoh fiktif buatan Ika Natassa, berandai-andai semoga ada foto copy dirinya di dunia nyata ini, hahaha. Oh ya, ada bagian soal pandangan tentang pernikahan dari Ale yang membuat dia pantas mendapat predikat 'suami idaman sejuta umat', yang membuat dia menjadi karakter favorit di buku ini.
Ika Natassa juga akan mengenalkan kita dengan Raisa dan anaknya yang polos, Nino. Menunjukkan bagaimana sayangnya Ale terhadap keluarganya, menganggap Nino adalah bentuk latihan baginya kelak kalau menjadi seorang ayah. Lalu kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang tak pernah putus, dan yang paling saya suka adalah ketika Ale dan ayahnya berhadapan, mengesampingkan hubungan mereka yang dingin. Dalam hal ini, saya seperti mendapatkan wejangan gratis akan kehidupan pernikahan. Ada bagian yang sangat suka dalam relasi ayah-anak yang Ika Natassa sisipkan, misalkan di bagian ini.
Tentang adaptasi filem
Tidak mengherankan kalau Critical Eleven bakalan dilirik rumah produksi filem sampai akhirnya dipegang kolaborasi antara Starvision dan Legacy Pictures, dalam penjualan pre order saja 1.111 buku langsung ludes hanya dalam hitungan menit. Ika Natassa selalu memiliki cara tersendiri dalam mempromosikan karyanya, dia sudah memiliki fanbase yang besar sehingga tidak diragukan kalau bukunya bakalan laku. Apalagi ketika diadaptasi secara visual, sudah pasti ada keuntungan tambahan, selain mendapatkan minat dari para pecinta filem, maka ada pembaca setia yang juga menantikannya.
Kalau boleh jujur, saya sebenarnya punya pilihan sendiri untuk pemeran Ale dan Anya, tapi saya tahu pasti bukan hal yang mudah memenuhi keinginan semua pembaca, di mana setiap kepala pasti punya pilihan sendiri, tidak mungkin mengabulkan semuanya. Kemampuan akting Reza Rahardian dan Adinia Wirasti tidak perlu diragukan lagi, terlebih mereka berdua bukan baru kali ini tampil dalam satu layar, saya yakin tidak akan sulit membangun chemistry bagi keduanya. Saya hanya berharap selain nantinya bisa diterima bagi semua, khususnya para pembaca, emosi yang saya dapatkan ketika membaca tidak luntur ketika kisah Ale dan Anya 'dihidupkan'. Adegan atau bagian-bagian yang berarti seperti yang saya sebutkan di atas akan terekam dengan baik.
Saya yakin Ika Natasa tidak lantas lepas tangan akan karyanya ini, dari linimasa yang saya lihat, dia selalu memantau jalannya produksi dan membaginya kepada pembaca, saya tidak tahu pasti apakah Ika ikut menulis naskah bersama Jenny Jusuf, yang jelas dia tidak menyerahkan begitu saja 'anaknya' ini kepada orang lain. Bahkan ada dua sutradara yang menangani, Monty Tiwa dan Robert Ronny, serta di balik soundtrack ada nama besar Andi Rianto dan Isyana Sarasvati, saya yakin filem adaptasi Critical Eleven dibuat dengan sangat serius. Saya jadi ingat perkataan Raditya Dika yang pernah dia tulis di blognya dulu, bahwa filem dan buku itu seperti permen loli, satu rasa cokelat satunya lagi rasa stroberi. Walau berbeda rasa, tetap saja keduanya tercipta dari hal yang sama, keduanya memiliki keistimewaan masing-masing. Dan saya harap keduanya juga saling melengkapi, mendukung, dan sama nikmatnya.
Critical Eleven bercerita tentang kehilangan, tentang mengatasi kesedihan, tentang kesempatan kedua, tentang menerima. Bahwa tidak ada yang mulus dalam kehidupan berumah tangga, akan ada terjalan, ada saatnya kita jatuh dan mencoba untuk berdiri tegak lagi, apakah ingin berdiri dengan cara sendiri atau mau menerima uluran tangan dari orang lain. Bahwa semua orang punya salah dan berkesempatan memperbaikinya. Bahwa semua beban akan terasa ringan bila dilalui secara bersamaan.
Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi kalian yang akan melangkah ke jenjang pernikahan atau sudah sampai tahap itu, bagi yang ingin mengintip drama rumah tangga yang mungkin bisa terjadi pada diri kita. Cobalah membaca selama sebelas menit, maka kalian akan langsung jatuh cinta pada Critical Eleven. Tiga menit pertama kalian akan memutuskan untuk lanjut kehalaman berikutnya, sedangkan delapan menit terakhir kalian akan menutup buku ini dengan perasaan puas.
5 sayap untuk si tukang ngebor, Ale, yang tidak pernah menyerah akan cintanya :D
Tentu tidak mudah menjalin hubungan jarak jauh terlebih keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ale yang berprofesi sebagai petroleum engineer di Teluk Meksiko harus menghabiskan lima minggu di tempat kerja, baru kemudian dia bisa menikmati lima minggu masa liburan. Sedangkan Anya yang seorang management consultant tinggal di Jakarta dan tidak jarang terbang ke berbagai kota atau negara lain. Waktu, uang dan letak geografis sebagai halangan dalam hubungan bisa mereka tangkal, tapi lima tahun setelah pernikahan ada satu hal yang tidak bisa mereka atasi secara bersamaan. Enam bulan mereka menjadi orang asing satu sama lain, berkubang dengan kesendirian dan kesedihan, menjadi hubungan entah apa namanya itu, mempertanyakan kembali apakah pilihan mereka sudah tepat dengan waktu kritis yang pernah diambil.
"Nya, orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita."
"Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harus kuat hidup untuk dia. Rela mati sih gampang, dan bego."
"Dengan kamu, aku sudah bakar jembatan, Nya. I've burned my bridges. There's no turning back. There's only going forward, with you."
Karena beginilah dari dulu gue mencintai Anya. Tanpa rencana, tanpa jeda, tanpa terbata-bata.Critical Eleven adalah buku Ika Natassa yang paling saya puja, ketika membuat ulang resensi ini, saya sudah membacanya sampai empat kali, efeknya tetap sama ketika membaca pertama kali, begitu sesak dan acap kali 'mrebes mili'. Dari segi tema cerita mungkin apa yang disuguhkan tidak asing lagi, layaknya drama rumah tangga pada umumnya, ada salah satu pemicu yang membuat relasi suami-istri menjadi renggang, berjarak, kemudian ingin mencoba memperbaikinya atau malah menyudahinya saja. Sesederhana itu. Namun, efeknya sangat besar bagi saya, begitu dalam dan sangat emosional.
Dengan menggunakan alur maju mundur, Ika Natassa memulai dengan pertemuan kedua tokoh utama, mengisi dengan berbagai informasi atau pengetahuan umum untuk mendukung cerita, kemudian pembaca akan di lempar ke masa sekarang dengan efek kejut di akhir paragraf. Sering seperti itu, membuat pembaca harus bersabar dengan apa yang sebenarnya menimpa rumah tangga Ale dan Anya. Di bagian masa lalu, Ika Natassa akan menceritakan masa-masa indah di mana Ale dan Anya menjadi sepasang suami istri yang bahagia walau tidak setiap saat bisa bertemu atau setelah pertemuan pertama di pesawat, menceritakan teman-teman dan keluarga mereka. Di masa sekarang, Anya berusaha mematikan kenangan tentang Ale, sedangkan Ale sendiri berusaha membuat hubungan mereka seperti dulu lagi, dicintai Anya lagi.
Ika Natassa masih menggunakan gaya khasnya dalam menulis; bahasa gado-gado, profesi yang menarik bagi tiap tokohnya dan tidak pelit berbagi informasi tentang pekerjaan tersebut, serta pengetahuan umum yang saya sebutkan di atas. Misalkan saja Ika Natassa 'ngoceh' akan rumusan meet-cute dalam film romantic comedy, tentang memindahkan memori dari amygdala ke hippocampus, atau tentang istilah critical eleven yang menjadi ide dasar cerita ini. Sangat menarik, terlebih cara Ika Natassa melebur pengetahuan tersebut dengan ceritanya sendiri menjadi saling terkait dan satu kesatuan, sehingga akan memunculkan efek kejut di belakangnya. Mungkin akan membuat cerita bertele-tele tapi bagi saya hal tersebut malah mendorong rasa penasaran, karena masalah yang dialami Ale dan Anya akan terkuak sedikit demi sedikit. Sangat suka gaya bercerita seperti ini, sangat informatif dan genius kalau saya bilang. Nggak banyak penulis yang bisa membuat narasi panjang menjadi nikmat untuk terus diikuti, dan Ika Natassa punya cara tersendiri agar pembaca tidak bosan.
Diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, Ale dan Anya secara bergantian, pembaca akan mudah memahami perasaan keduanya, memang kadang menjadi repetitif, tapi dengan cara seperti itu kita akan mudah memahami apa yang ada di kepala Ale dan Anya dari dua sisi. Anya bisa jadi memiliki karakter yang mudah dibenci, sikap keras kepalanya yang mungkin dianggap kekanak-kanakan, hanya masalah sepele sampai segitunya terhadap Ale yang sudah mati-matian meminta maaf. Memang tidak mudah memaafkan orang lain yang menyakiti kita, terlebih orang yang kita cintai yang melakukannya. Apa yang dirasakan Anya sangat manusiawi sekali.
Alasan inilah yang membuat saya sangat menyukai Critical Eleven, setiap membaca ulang selalu menitikan air mata, akan luka yang dialami Anya, akan sakit hatinya yang susah untuk disembuhkan, usahanya memindahkan truk kenangan akan Ale dari amygdala ke hippocampus, akan usahanya mengatasi kehilangan. Kita tidak bisa dengan mudah mengontrol perasaan orang lain layaknya mengontrol suhu ruangan dengan menggunakan remot AC, tiap orang punya cara menyembuhkan luka masing-masing, tiap orang punya marahnya sendiri, dan bisa saja kita mendikte dia harus bagaimana, tapi apakah berhasil atau tidak, kita tidak tahu, karena hanya dialah yang bisa merasakannya.
Ale adalah karakter yang kuat, harus, karena sosok lemah dan rapuh sudah menjadi bagian Anya. Terkadang Ika Natassa menghadirkan humor satire pada bagian Ale, mengasihi dan menertawakan diri sendiri karena dicampakan dan dianggap angin lalu oleh istrinya sendiri. Ale tahu kesalahannya sangat besar dan dia sangat mencintai Anya, maka dia menjadi tandingan bagi Anya, untuk tidak menyerah akan hubungan mereka. Apa yang dilakukan Ale adalah kebalikan dari Anya, dengan berbagai cara Ale mendekatkan diri pada Anya, mencoba menembel hubungan yang sudah retak dalam biduk rumah tangga mereka. Ale membuat pembaca berempati padanya, membuatnya menjadi husband-material bagi kami para pembaca yang terlena akan tokoh fiktif buatan Ika Natassa, berandai-andai semoga ada foto copy dirinya di dunia nyata ini, hahaha. Oh ya, ada bagian soal pandangan tentang pernikahan dari Ale yang membuat dia pantas mendapat predikat 'suami idaman sejuta umat', yang membuat dia menjadi karakter favorit di buku ini.
Marriage is a little bit like gambling, isn't it? Bahkan lebih berisiko daripada berjudi. Waktu kita duduk di depan meja poker atau blackjack atau dice, kita bisa memilih ingin mempertaruhkan seberapa banyak. Sedikit, sepertiga, setengah, atau semua, kemenangan yang bisa kita peroleh atau kekalahan yang harus kita tanggung semua tergantung dari seberapa besar risiko yang berani kita ambil. Tapi pernikahan tidak begitu. saat kita duduk di depan meja penghulu dan melaksanakan ijab kabul, semua kita "pertaruhkan".Selain menghadirkan relasi suami-istri, Ika Natassa juga menghadirkan relasi lain di buku ini, melalui 'orang luar' kita bisa melihat kacamata lain terhadap rumah tangga Ale dan Anya. Misalkan saja di sisi Anya, para sahabatnya akan selalu ada bila dia membutuhkan, untuk berbagi kesedihan, menyadarkan bahwa dia tidak sendirian. Selain itu, semua tokoh pendamping di buku ini memiliki peran yang berarti, tidak ada yang sia-sia dan kehadiran mereka sangat berkesan. Bahkan Ika Natassa menghadirkan tokoh rekaannya dari buku lain ke dalam Critical Eleven ini, misalkan saja tokoh utama dalam buku Divortiare. Kemudian kalian tidak akan bisa melewatkan bromance antara Ale dan Harris, ya, kalau kalian pembaca Antologi Rasa, kalian akan mendapati kelanjutan kisah Harris yang tengil dengan Keara di sini, salah satu hal yang membahagiakan dan menyegarkan di buku ini.
In marriage, when we win, we win big. But when we lost, we lost more than everything. We lost ourselves, and there's nothing sadder than that.
Ika Natassa juga akan mengenalkan kita dengan Raisa dan anaknya yang polos, Nino. Menunjukkan bagaimana sayangnya Ale terhadap keluarganya, menganggap Nino adalah bentuk latihan baginya kelak kalau menjadi seorang ayah. Lalu kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang tak pernah putus, dan yang paling saya suka adalah ketika Ale dan ayahnya berhadapan, mengesampingkan hubungan mereka yang dingin. Dalam hal ini, saya seperti mendapatkan wejangan gratis akan kehidupan pernikahan. Ada bagian yang sangat suka dalam relasi ayah-anak yang Ika Natassa sisipkan, misalkan di bagian ini.
"Istri itu seperti biji kopi sekelas Panama Geisha dan Ethiopian Yirgacheffe, Le. Kalau kita sebagai suami -yang membuat kopi- memperlakukannya tidak tepat, rasa terbaiknya tidak akan keluar. Aroma khasnya, rasa aslinya yang seharusnya tidak keluar, Le. Rasanya nggak pas. Butuh waktu lebih dari dua tahun dulu baru Ayah merasa sudah memperlakukan Ibu kamu sebagaimana seharusnya dia diperlakukan. Dari mana Ayah tahu sudah bisa? Dari perlakuan Ibu ke Ayah. Memang butuh belajar lama, butuh banyak salah dulu juga, tidak apa-apa. Yang penting kita tekun, sabar, penuh kesungguhan, seperti kita membuat kopi, Le. Bedanya dengan kopi, kalau kita sudah bingung dan putus asa, bisa cari caranya di Internet. Tinggal google. Istri tidak bisa begitu, harus kita coba dan cari caranya sendiri."Kalau ditanya bagian yang paling saya suka, susah jawabnya. Setiap kalimat yang dibuat penulis rasanya bermakna semua dan menjadi favorit. Namun, ada bagian yang sangat berkesan dan membuat jantung saya mau copot, hahaha, atau setidaknya saya bisa merasakan apa yang dirasakan Ale dalam hal ini. Yaitu sewaktu Harris dan Raisa, adik Ale ingin memberikan kejutan kepada kakaknya tercinta pas ulang tahun. Skenarionya, Anya berpura-pura pergi dari rumah, kemudian Harris akan menggiring Ale ke tempat semua keluarganya berkumpul, termasuk Anya juga. Bagian ini bener-bener deh, kita akan sangat merasakan perasaan Ale, cemas, khawatir dan takut, takut kalau semua itu bukan hanya sebuah skenario, tetapi kenyataan. Dan tentu saja adegan sepulang dari pesta ulang tahun Ale tidak boleh ketinggalan XD.
Tentang adaptasi filem
Tidak mengherankan kalau Critical Eleven bakalan dilirik rumah produksi filem sampai akhirnya dipegang kolaborasi antara Starvision dan Legacy Pictures, dalam penjualan pre order saja 1.111 buku langsung ludes hanya dalam hitungan menit. Ika Natassa selalu memiliki cara tersendiri dalam mempromosikan karyanya, dia sudah memiliki fanbase yang besar sehingga tidak diragukan kalau bukunya bakalan laku. Apalagi ketika diadaptasi secara visual, sudah pasti ada keuntungan tambahan, selain mendapatkan minat dari para pecinta filem, maka ada pembaca setia yang juga menantikannya.
Kalau boleh jujur, saya sebenarnya punya pilihan sendiri untuk pemeran Ale dan Anya, tapi saya tahu pasti bukan hal yang mudah memenuhi keinginan semua pembaca, di mana setiap kepala pasti punya pilihan sendiri, tidak mungkin mengabulkan semuanya. Kemampuan akting Reza Rahardian dan Adinia Wirasti tidak perlu diragukan lagi, terlebih mereka berdua bukan baru kali ini tampil dalam satu layar, saya yakin tidak akan sulit membangun chemistry bagi keduanya. Saya hanya berharap selain nantinya bisa diterima bagi semua, khususnya para pembaca, emosi yang saya dapatkan ketika membaca tidak luntur ketika kisah Ale dan Anya 'dihidupkan'. Adegan atau bagian-bagian yang berarti seperti yang saya sebutkan di atas akan terekam dengan baik.
Saya yakin Ika Natasa tidak lantas lepas tangan akan karyanya ini, dari linimasa yang saya lihat, dia selalu memantau jalannya produksi dan membaginya kepada pembaca, saya tidak tahu pasti apakah Ika ikut menulis naskah bersama Jenny Jusuf, yang jelas dia tidak menyerahkan begitu saja 'anaknya' ini kepada orang lain. Bahkan ada dua sutradara yang menangani, Monty Tiwa dan Robert Ronny, serta di balik soundtrack ada nama besar Andi Rianto dan Isyana Sarasvati, saya yakin filem adaptasi Critical Eleven dibuat dengan sangat serius. Saya jadi ingat perkataan Raditya Dika yang pernah dia tulis di blognya dulu, bahwa filem dan buku itu seperti permen loli, satu rasa cokelat satunya lagi rasa stroberi. Walau berbeda rasa, tetap saja keduanya tercipta dari hal yang sama, keduanya memiliki keistimewaan masing-masing. Dan saya harap keduanya juga saling melengkapi, mendukung, dan sama nikmatnya.
Critical Eleven bercerita tentang kehilangan, tentang mengatasi kesedihan, tentang kesempatan kedua, tentang menerima. Bahwa tidak ada yang mulus dalam kehidupan berumah tangga, akan ada terjalan, ada saatnya kita jatuh dan mencoba untuk berdiri tegak lagi, apakah ingin berdiri dengan cara sendiri atau mau menerima uluran tangan dari orang lain. Bahwa semua orang punya salah dan berkesempatan memperbaikinya. Bahwa semua beban akan terasa ringan bila dilalui secara bersamaan.
Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi kalian yang akan melangkah ke jenjang pernikahan atau sudah sampai tahap itu, bagi yang ingin mengintip drama rumah tangga yang mungkin bisa terjadi pada diri kita. Cobalah membaca selama sebelas menit, maka kalian akan langsung jatuh cinta pada Critical Eleven. Tiga menit pertama kalian akan memutuskan untuk lanjut kehalaman berikutnya, sedangkan delapan menit terakhir kalian akan menutup buku ini dengan perasaan puas.
5 sayap untuk si tukang ngebor, Ale, yang tidak pernah menyerah akan cintanya :D
Kereeeen tapi kalo boleh tau emang masalah mereka apa ya? sempet bingung kenapa si Anya gak mau maafin Ale harus beli bukunya dulu :D
BalasHapusMaaf ya nggak bisa bilang soalnya nanti jadi spoiler, hehehehe
Hapusaku bingung mau ngereview buku ini tanpa spoiler XD
BalasHapusSama banget, makanya sedikit banget ulasan ceritanya, biar pembaca lain ngrasain tanda tanya yang aku alami selama membaca buku ini, hehehe
Hapussudah beli bukunya, tapi masih dalam tahap pengiriman. udah nggak sabar pengin baca bukunya!!
BalasHapusSelamat membaca, semoga suka seperti saya :)
HapusBaru baca beberapa BAB dan saya sayang buat ngelanjutin ke BAB berikutnya. takut keburu selesai #terlalumenikmati
BalasHapusIya banget! Aku juga nggak rela tamat kok, pengen ada lanjutannya lagi atau kisah keluarga Risjad yang lain XD
HapusKak Sulis, si Tanya itu management consultant, bukan manager consultant.
BalasHapusBeda loh kak. Hehehe.
Oh iya ya? Nggak terlalu merhatiin, nanti dicek lagi ya, makasih koreksinya :)
HapusKak Ika selalu detail banget kalo nulis profesi yaa di ceritanya :)
BalasHapusAku jadi tertarik baca nih habis baca ulasanmu hehehe Berhubung fase hidup lagi mengarah ke sono #eh :p
Cieeeeee mau menikah nih, selamat ya :)
HapusBuku ini memang banyak tips tentang pernikahan, berpesan bahwa pernikahan itu tidak mudah dan banyak cobaanya, namun bukan berarti tidak ada penyelesaianya :)
buku kesekian karya Ika Natassha yang sempet2in baca saat di kantor... bukannya siapin bahan presentasi tapi malah baca novel ini. dibuat jatuh cinta sama sosok ale (andai laki gw kayak ale)hahahahhahaa... dan yang parahnya jadi rela ke kantor naek kereta daripada nyetir sendiri.. biar terus lanjut bacanya...
BalasHapusBukunya emang page turner banget, aku juga langsung habis sekali baca, nggak rela kalau ditunda-tunda :)
HapusHarus aku akui... baru Critical Eleven lah yang mampu mengobrak-abrik emosiku. Pokoknya karya Ika Natassa yang satu ini bikin nagih bangeett.
BalasHapusOh iya, adegan favoritku justru adalah saat Anya berkunjung ke makam ***** (sensor). Sumpah, terenyuh sekali :(
Bukunya emang menguras emosi banget T.T
HapusBelum kesampean pengen beli buku ini, sukses lombanya y mba moga menang yeayyyy
BalasHapusAminnnn, makasih doanya 😁
HapusWaaahhh jadi penasaran sama ceritanya. Ok saya langsung ke gramedia, mudah-mudahan bukunya masih ada.
BalasHapusSemoga masih ada ya, udah cetak berkali-kali kok 😁
HapusDulu bener2 nggak nyangka seorang Ika Natassa, penulis metropop yang terkenal dgn ceritanya yang fun dan witty, mampu menulis cerita yang mengaduk2 emosi seperti ini. Karya ini the best lah menurut saya. Eh tp blm baca AoL sih. Semoga ga kalah bagusnya.
BalasHapusKalo TAoL lebih kalem sih, kedua tokoh utamanya nggak meledak-ledak. Kalo ini lebih menguras emosi 😂
HapusAku koleksi buku Ika Natassa, tapi baru baca 2 yang CE sama Antologi Rasa...dan entah kenapa belum tergerak mengambil buku yang lain di daftar timbunan. Mungkin TAOL kali yang juga mau di filmkan...he..he
BalasHapusTAoL bagus, yg biasanya g suka kali ini pada suka, hehehe
HapusBelum nyoba baca karangan ika setelah a very yuppy wedding. Kurang sreg ama cerita yg itu. Cerita ini bagus gak ya...? Hmmm...
BalasHapusSelera sih ya, kalau tanya aku ya pasti suka banget, hahahaha
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusblm kesampean baca nih
BalasHapusAyo segera dibaca! 😀
HapusIka natassa itu juaraaaa ����
BalasHapusSy nulis resensi ini juga di JurnalSaya
Wah, blognya apa ya biar aku baca juga 😀
HapusBaru tahu pengertian critical eleven...Thanks for sharing mbak :)
BalasHapusSama-sama, senang bisa membantu 😀
HapusSempet buku ini direkomendasikan dari orang-orang terdekat saya, tapi karena masih ada beberapa buku yang masih numpuk di rumah; mau gk mau kudu nunda deh
BalasHapusTapi baca review mbak Sulis plus tau yang peranin Ale adalah Reza Rahadian, jadi tambah gk sabar pingin beli bukunyaaa
Ayo dibacaaaaa, baca dulu bukunya lanjut nonton filemnya XD
Hapustokoh utama divortiare muncul di critical eleven? kok aku gak sadar yaa.. *brb baca ulang
BalasHapusHahaha, emang g disebutin namanya tapi bagi yg familier pasti langsung tahu 😁
Hapuskalo boleh tau, emang kamu ngebayanginnya siapa yg jadi Ale-Anya?
BalasHapusNicholas Saputra atau suaminya Atiqah Hasiholan itu, hahaha.
Hapus