Kamis, 21 Februari 2019

Perempuan Bersampur Merah by Intan Andaru | Book Review

Perempuan Bersampur Merah
Penulis: Intan Andaru
Penyunting: Dwi Ratih
Perancang sampul: @sukutangan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020621951
Cetakan pertama, 2019
216 halaman
Buntelan dari @dprihas
Tragedi tahun 1998 tidak akan pernah hilang dari ingatan Sari. Tak hanya kehilangan bapak yang tertuduh sebagai dukun santet, Sari juga kehilangan paman sekeluarga—yang seketika pergi meninggalkan kampung lantaran mendapat stigma.

Untuk mencari jawaban atas kematian bapaknya, Sari menuliskan daftar nama orang yang ikut mengarak pembantaian bapaknya pada selembar kertas. Karena mengharapkan bantuan, ia bagikan kertas tersebut kepada dua sahabatnya, Rama dan Ahmad.

Pencarian itu rupanya tidak hanya membawa Sari bergabung dalam sanggar tari gandrung yang penuh rahasia, tetapi juga mengubah persahabatan Sari-Rama-Ahmad menjadi kisah cinta yang rumit. Cinta yang akhirnya menuntun mereka bertiga kembali pada tragedi di tahun kelam itu.

Cerita bermula ketika Sari menyadari salah satu sahabat karibnya, Rama, mulai menjauh. Sejak kecil, hubungannya dengan Rama dan Ahmad sangat dekat, mereka banyak melakukan hal bersama, Ahmad yang ceria sedangkan Rama yang pendiam, mereka saling melengkapi satu sama lain. Sari mengetahui Rama mulai berubah ketika dia melihat sebuah kertas yang bertuliskan tangannya di keranjang sampah sekolah, sebuah kertas yang sekarang berbentuk rematan dan sobekan, sebuah rahasia yang seminggu lalu dia percayakan pada Rama dan Ahmad.

Kertas tersebut berisi nama-nama penting yang ingin Sari selidiki. Kini, walau hanya bersama Ahmad, tekad Sari tidak buyar. Dia ingat betul kejadian malam itu, kejadian yang membuatnya ketakutan dan gemetaran. Kejadian yang membuat Sari mengingat wajah-wajah penuh amarah, yang berkoar-koar seakan memiliki misi paling mulia di dunia, membunuh seseorang yang mereka tuduh dukun santet. Sari menulis nama-nama mereka yang menghakimi dan mengadili Bapaknya lewat kematian.
"Bukannya rasa kehilangan tak ada obatnya?"
Sejujurnya, setelah membaca buku ini, saya baru tahu kalau ada tragedi pembantaian Banyuwangi  pada tahun 1998, memang nggak setenar dengan tragedi yang satunya kala itu, tapi penting untuk perlu tahu juga. Satu hal positif dulu, karena mengambil genre historical fiction dan dikemas secara sederhana, cocok banget bagi pemula yang ingin baca genre ini, karena nggak terlalu berat dicerna.⁣ Namun, karena nggak detail, ditambah rasa penasaran, saya mencari sendiri informasi cerita aslinya, kronologisnya. Dan setelah baca beberapa artikel tentang informasi tersebut, penulis bisa dibilang mengadaptasi versi asli menjadi fiksi yang runtut walau tidak begitu detail, yang bisa menggambarkan kejadian kala itu lewat anak korban.⁣

Runtut karena ada waktu yang ditekankan penulis, yang memang menjadi puncak pembantaian, pada bulan Agustus, September, Oktober 1998. Ada pula waktu sebelum kejadian tersebut, tahun 1994 dan 1997 di mana orang-orang masih percaya dengan dukun, seperti dukun suwuk dan pawang hujan. Lalu ada pula radiogram, instruksi yang dikeluarkan pemerintah untuk mendata paranormal, dukun pengobatan tradisional atau tukang sihir. Awalnya bertujuan untuk melindungi mereka, karena pembantaian pernah terjadi pada tahun 1991 dan 1996, tidak ingin terulang kembali. Namun, malah disalahgunakan, pembantaian semakin meluas, dan puncaknya pada 1998.⁣ Munculnya teror Ninja, guru ngaji ikut dibunuh, orang gila, aktivis HAM sampai menyelipkan salah satu kebudayaan khas daerah Banyuwangi, tari Gandrung.⁣

Digambarkan juga tentang suku Using, masyarakat asli Banyuwangi yang memang dekat dengan budaya dukun santet, bahkan suku Using percaya ada empat jenis ilmu gaib; ilmu hitam (untuk menyakiti), ilmu putih (untuk menyembuhkan), ilmu kuning (untuk menambah wibawa/melancarkan urusan kerja), dan ilmu merah (atau biasa disebut santet, bisa untuk pengasihan, merekatkan hubungan atau sekaligus menjauhkan hubungan antar manusia). Masyarakat Using mengartikan santet sebagai ilmu gaib yang digunakan untuk pengasihan, sedangkan masyarakat luas beranggapan santet bertujuan mengirim malapetaka kepada orang lain. Padahal, pada mulanya keberadaan mereka tidak memberatkan, bahkan kadang menguntungkan. Misalkan ketika Sari melihat Bapaknya dimintai tolong ketika anak seseorang sedang rewel dan hendak memberikan imbalan, Bapak malah marah, niatnya ingin membantu, bukan untuk materi. Atau ketika Bapak menolak sebagai pawang hujan, karena hujan itu berkah bukan musibah. Lewat nama-nama yang didapat Sari dan apa yang menimpa mereka, bisa ditarik kesimpulan awal mula kejadian bisa karena dendam pribadi lalu menyangkutkan dengan santet yang memiliki konotasi negatif tersebut.

Buku ini terasa emosinya karena diceritakan lewat sosok Sari, anak korban dukun santet yang diadili dengan tidak manusiawi. Dia menceritakan kedekatannya dengan Bapak, bahwa Bapak orang yang baik dan sayang keluarga, dia tak ubahnya dengan orangtua kebanyakan. Bagian Bapak memesankan sepatu but agar bisa mencari kodok bersama di sawah cukup menyayat hati. Ada pula kisah cinta antara Sari dengan Rama dan Ahmad, cinta segitiga dari sahabat jadi cinta. Namun bukan bagian dominan dari cerita ini, hanya bumbu pelengkap.

Bagian tentang tari Gandrung menarik juga, ternyata penari Gandrung dan Gandrung berbeda. Seorang Gandrung sudah pasti juga penari Gandrung, tapi seorang penari Gandrung belum tentu seorang Gandrung. Seorang Gandrung memiliki lebih banyak syarat dan ritual yang harus dilakukan, mereka juga harus bisa menyanyi, selain itu merupakan profesi turunan juga, yang sedikit berbau gaib. Kalian akan paham kenapa judul buku ini ada sampur merahnya, akan ada penjelasan. Tentang modernitas yang mulai menggerus tari tradisional.

Saya cukup menikmati ceritanya dan kisah masa lalu yang coba dikenalkan kepada generasi sekarang, yang mungkin sama tidak tahunya dengan kejadian ini. Tulisannya enak diikuti, sangat saya rekomendasikan untuk pembaca pemula genre historical fiction, banyak unsur sejarah yang diselipkan penulis khususnya untuk kota Banyuwangi. Pesan yang disampaikan pun cukup dalam, lewat anak korban yang kehilangan ayah hanya karena stigma negatif masyarakat, bisa berakibat fatal. Selain kehilangan yang amat dalam padahal tak bersalah, tanpa sadar mereka juga turut 'membunuh' kehidupan anak-istrinya. Mereka kehilangan tulang punggung keluarga, mendapatkan pandangan tercela, nama mereka tercoreng dan selalu dikaitkan dengan dukun santet.

Sekali lagi, jangan lihat orang dari suku, ras, dan agamanya. Lihat lah apa yang dia lakukan untuk orang lain, lihat lah kebaikannya.

9 komentar:

  1. artikelnya informatif. terima kasih.

    BalasHapus
  2. Baru tau kalo tragedi ini juga melibatkan hal-hal semacam dukun santet dan klenik. Kirain cuman massa mahasiswa, ternyata ada campur tangan kementrian sihir juga.

    BalasHapus
  3. kayaknya novelnya seru ya. jujur, kalo saya gak blogwalking liat review ini saya kayaknya gak akan tau kalo ada novel ini. baca reviewnya keren kak. aku pun lagi belajar untuk membuat review ku di blog. tetap berkarya kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aminnnn, terima kasih sudah berkunjung, semoga sukses ya untuk blognya, semangat nulis! :)

      Hapus
  4. DItunggu review historical fiction lokal lainnya yaa

    BalasHapus
  5. Baru selesai baca novel ini, keren walaupun aku masih ingin tau banyak tentang gandrung dan "sesuatu" yang ada pada sampir itu.

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*

Rekomendasi Bulan Ini

Buku Remaja yang Boleh Dibaca Siapa Saja | Rekomendasi Teenlit & Young Adult

K urang lebih dua tahun yang lalu saya pernah membahas tentang genre Young Adult dan berjanji akan memberikan rekomendasi buku yang as...