Kamis, 20 April 2017

10 Alasan Kenapa Menulis Resensi Buku Itu Susahnya Amit-Amit


Beberapa waktu yang lalu saya membaca postingan dari Paper Fury yang berjudul 10 Reasons Why Reviewing Book is Actually Super Hard, pas sekali karena saat ini saya dalam kondisi reviewing slump, alias tidak memiliki nafsu untuk menulis review. Banyak sekali hutang review bahkan dari beberapa tahun silam, belum lagi banyak buku yang belum sanggup saya tamatkan. Jadi sekalian saja dalam postingan The Perks of Being Book Blogger saya menulis 10 alasan kenapa menulis resensi buku itu susahnya amit-amit.

Melakukan sesuatu hal kalau kita menyukainya memang terasa menyenangkan, tapi ada kalanya kita merasa 'lost', jenuh, bahkan tidak merasakan lagi kenikmatannya. Seperti kegiatan tersebut memiliki masa kadaluwarsanya, kita harus mengolahnya kembali agar bisa dinikmati, agar terasa fresh. Saya menyukai kegiatan menulis resensi buku, hal tersebut saya lakukan untuk dokumentasi buku-buku yang pernah saya baca. Selama menjadi blogger buku kurang lebih tujuh tahun, sudah ada 631 resensi buku yang pernah saya tulis, tentu belum semua buku yang pernah saya baca. Kadang, kecepatan membaca tidak sebanding dengan kecepatan menulis resensi.

Berikut adalah 10 alasan kenapa menulis resensi buku itu susahnya amit-amit.

1. Malas Mood
Saya akui, saya tipe orang yang angin-anginan, kadang nggak bisa ketebak maunya apa, kadang dengan mudahnya alih selera. Misalkan saja dua hari ini, gara-gara sesuatu yang tidak menyenangkan, saya sama sekali tidak mood membaca apalagi meresensi, bahkan saya nggak semangat nonton drama Korea. Saya seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan, kadang berakhir dengan kegiatan yang sia-sia. Namun, saya tidak lantas bisa memaksa harus melakukan sesuatu yang produktif karena bisa berimbas tidak ada kepuasan dalam hasilnya. Kadang perbedaan malas dan tidak mood itu setipis perbedaan gantengnya Song Joong Ki dan Yoo Ah In, LOL.

Apa yang harus saya lakukan ketika mengalami hal ini? Saya biarkan saja, melakukan apa pun yang saya mau. Kadang saya membaca beberapa buku di bagian awal, kalau merasa tertarik pada bagian awal tersebut saya akan melanjutkan sampai selesai, kalau tidak menarik, mencoba yang lainnya lagi, begitu seterusnya. Atau saya menulis seperti sekarang ini, sesuatu yang lain yang tidak berhubungan dengan meresensi buku.

Jadi, jangan heran kalau ada buku yang selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun belum selesai juga. Bukan karena tidak suka, tapi sedang tidak ingin membaca cerita seperti itu, apalagi sesuatu yang bukan merupakan cerita favorit saya, saya butuh waktu untuk mengumpulkan mood agar bisa membacanya secara objektif, itu yang saya lakukan kalau bukan ranah genre favorit saya. Membaca saja susah apalagi meresensinya?

2. Butuh waktu
Yah, meresensi buku itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Mungkin bagi beberapa orang bisa dengan lancar menuliskannya, tapi saya membutuhkan waktu, saya bisa berjam-jam menulis resensi buku, bahkan pernah sampai bersambung alias memakan waktu berhari-hari. Apalagi kalau saya memiliki kegiatan yang jauh lebih penting daripada meresensi, misalkan saja bekerja atau ada kepentingan keluarga, saya harus menyediakan waktu khusus. Belum lagi kalau kita memiliki banyak hobi, misalkan saja menonton film, mendengarkan musik, jalan-jalan, jualan buku kalau lagi laris, menonton drama Korea yang memeras perasaan, sehari cuma 24 jam rasanya kurang!

Saya bukan tipe orang yang bisa multitasking, saya cenderung hanya bisa fokus dalam satu hal terlebih dahulu baru ke hal lainnya. Misalkan saja membaca, saya tidak bisa membaca di tempat umum maupun kendaraan, lebih suka di tempat sepi dan biasanya saya lakukan malam sebelum tidur. Lalu kapan saya bisa menuliskanya? Lebih baik memang sehabis membaca langsung menuliskannya, tapi kalau saya saja menyelesaikan bacaan katakanlah jam tiga pagi, padahal paginya jam tujuh harus kerja, belum lagi kalau menulis resensi buku saya membutuhkan waktu berjam-jam, otomatis saya tidak bisa istirahat. Saya biasanya meluangkan waktu di kala libur atau di waktu senggang.

Misalkan saja waktu membuat resensi Crirical Eleven, padahal saya hanya merevisi karena mau diikutkan lomba. Saya membaca ulang dan merasakan sesuatu yang kurang, yah, bisa dibilang kalau hanya dengan resensi tersebut saya tidak akan menang, saya rombag dari awal lagi. Saya membutuhkan waktu kurang lebih sama seperti satu shift kerja, tujuh jam! Bisa selama itu apalagi cuma revisi, tapi setelah selesai, saya baca ulang berkali-kali apakah sudah puas, dan terakhir membaca, saya merasa puas, entah menang atau kalah saya sudah puas menuliskannya.

3. Menyusun kalimat
Kadang memulai tulisan dan mengakhirinya itu bukan perkara yang mudah bagi seorang penulis, pun dengan peresensi buku, apalagi kalau tidak pandai berkata-kata, hahaha. Kadang saya bingung mau mulai dengan kalimat apa, apa saja yang perlu saya tuangkan di dalam resensi, apakah nanti bakalan kepanjangan atau kependekan? Apakah perlu dituangkan atau banyak menggunakan kalimat yang boros sehingga terkesan berbelit-belit dan tidak langsung pada intinya. Masalah muncul lagi ketika ingin mengakhirinya, sebaiknya bagaimana membuat kalimat yang nendang agar mencapai klimak di akhir? Yah, kadang saya memang seribet itu. Mungkin karena saya tipe pemikir kali ya, jadi apa-apa dipikirkan, hahahaha #pret.

4. Menilai dengan perasaan objektif
Meresensi buku adalah menuangkan kembali apa yang kita baca, tidak serta merta berupa sinopsis tapi apa yang kita dapatkan dari buku tersebut, apa isi buku tersebut secara keseluruhan. Mudah saja menuliskan sinopsis singkat kemudian mengatakan buku ini bagus atau tidak, selesai. Namun, kadang peresensi dituntut untuk menggali lebih dalam apa tujuan sebenarnya dari buku tersebut tercipta. Kadang kita sebagai peresensi harus menemukan apa yang menjadi kekurangan dari buku tersebut sehingga menjadi seimbang, tidak hanya kelebihannya saja. Misalkan saja ketika membaca The Hunger Games dari Suzanne Collins, tidak hanya bercerita tentang permainan yang mematikan, tapi di dalam buku tersebut berisi pesan bahwa peperangan hanya berdampak pada kehancuran.

Memang kadang tidak mudah, saya saja masih menilai buku secara subjektif alias berdasarkan perasaan atau apa yang saya sukai, tidak jarang malah berupa curhat, khususnya untuk buku-buku bergenre romance. Nggak pa-pa lah buku ini receh, asal menyentuh kalbuku! Biasanya begitu, hahaha, makanya kadang susah resensi mau masuk ke media massa yang bahasannya harus objektif dan biasa menggunakan kalimat ala-ala jurnalis atau semi baku. 

Asal pesan dari buku tersampaikan ke pembaca yang lain, itu sudah cukup bagi saya :D

5. Melakukan riset
Alasan lain kenapa saya membutuhkan waktu untuk menulis resensi adalah saya melakukan riset terlebih dahulu, apalagi kalau saya ikutkan untuk lomba yang benar-benar saya niatkan. Riset di sini bisa tentang penulisnya, bisa tentang bukunya. Riset tentang penulis lebih ke buku apa saja yang pernah dia buat, apa saja penghargaan yang pernah didapat, atau proses kreatif dalam menulis, nanti bisa kita tuangkan juga dalam resensi. Sedangkan untuk bukunya, sebagai tambahan informasi atau membuat kita lebih paham dengan buku tersebut. Misalkan saja ketika saya membuat resensi Kristalisasi, saya membaca semua newslater Vandari Saga agar memahami bagaimana mulanya, tentang universenya, dsb.

Riset dalam hal ini tidak wajib juga sih, tapi kalau ingin mengupas buku lebih detail lagi dan ingin memberikan informasi tambahan, maka lakukanlah!

6. Memberikan rating
Rating bagi saya cukup penting, sama saja dengan nilai akhir kalau kita melakukan ujian, tapi dalam memberikannya kadang sangatlah susah, bahkan kadang bingung berapa rating yang harus saya berikan agar pas. Di goodreads hanya ada rating 1-5, saya menambahkan setengah di tiap angka karena kadang ada penilaian tambahan atau malah sebaliknya, ada sesuatu yang kurang. Kalau benar-benar belum bisa menentukan dengan pas biasanya saya tidak mencantumkan. Saya pernah mengubah rating buku karena sewaktu membaca kembali tidak merasakan kalau seharusnya buku tersebut mendapatkan rating segitu. Jadi, daripada labil, saya kosongi dulu dan di goodreads saya beri rating secara garis besarnya (karena nilainya pas tadi, tidak ada setengah-setengah).

Yang saya bingung, sama seperti pemikiran Cait, kalau ada rating yang agak aneh seperti 3.14, wakakaka. Terserah lah ya orang mau memberi nilai berapa, yang penting isi dari resensinya :D

7. Lupa sama isi cerita
Kalau kalian kelamaan menunda menulis resensi, maka jangan heran kalau ikutan lupa juga dengan isi ceritanya, hahahaha. Ini kerap kali terjadi, alhasil saya harus membaca ulang terlebih dahulu. Biasanya saya memberikan tanda pada bagian yang ingin saya bahas di resensinya nanti, quote-quote yang saya sukai, dsb, agar meminimalkan untuk baca ulang, khususnya buku yang memang tidak ingin saya baca ulang lagi. Jadi kalau tidak ingin kelupaan, jangan lama-lama menunda resensinya *ngaca*.

8. Banyak buku yang dibaca, bingung mana yang mau diresensi terlebih dahulu
Seperti yang saya bilang di atas, kecepatan membaca berbanding terbalik dengan kecepatan menulis resensi, kalau dalam sebulan saya bisa membaca belasan buku, belum tentu resensinya juga segitu, paling hanya setengahnya. Kadang saya lagi semangat baca, maka saya akan melakukan maraton, selesai satu buku lanjut ke buku lainya, sampai saya capek sendiri, persetan dengan menulis ulasannya, hahahaha.

Alhasil saya tidak bisa menulis semuanya padahal saya ingin semua yang sudah dibaca itu terdokumentasi, makanya kadang ada rapid review atau mini review di mana saya langsung ke intinya saja, selain menceritakan sinopsis secara singkat langsung ke bagian kelebihan dan kekurangan.

9. Bukunya terlalu bagus atau malah terlalu jelek
Jadi manusia itu ribet ya, kalau bukunya bagus banget kita kesusahan untuk menuliskannya karena berapa kalimat pun tidak akan bisa menampung perasaan yang ada, mengalami book hangover, alhasil mentok nggak ada ide untuk menulis. Misalkan yang saya rasakan dengan buku Raden Mandasia, sampai sekarang belum bisa menulis resensinya, hahaha. Karena bisa dibilang saya punya prinsip, kalau bukunya bagus banget, saya harus menuangkan semua perasaan agar apa yang saya rasakan itu juga sampai ke pembaca lain, agar tergerak untuk ikutan membaca.

Dan buku yang jelek pun susah untuk diresensi karena bisa saja melukai perasaan penulis, bukunya menjadi tidak laku, di black list, nggak dapat buntelan lagi, hahahaha. Namun ya, kadang idealis diperlukan, betapa pentingnya kejujuran bagi seorang peresensi agar tulisannya bisa dipercaya pembaca yang lain.

10. Menghindari spoiler
Sangat sulit menulis resensi tanpa spoiler kalau buku tersebut adalah serial atau lanjutan dari buku sebelumnya, apalagi untuk buku terakhir. Untuk stand alone saya tidak mengalami masalah, walau kadang ada yang menilai saya terlalu kebablasan alias semi spoiler kalau meresensi buku, hahahaha. Okey, saya menerima saran dan kritik kok, nggak masalah. Jadi, biasanya saya akan memberi tanda kalau resensi berbau spoiler karena percayalah, mengetahui ending tanpa membaca sendiri itu rasanya nggak enak sama sekali.

Okey, itulah 10 alasan kenapa menulis resensi buku itu susahnya amit-amit, sebenarnya masih ada 1001 alasan lainnya, tapi itu saja sebagai perwakilan, hehehehe. Jadi, harap maklum ya kalau saya masih punya hutang resensi, khususnya kepada penulis maupun penerbit, saya bukannya sengaja tapi seperti yang saya tuliskan di atas, banyak hal yang kadang membuat saya tidak lekas menuliskannya. Kadang mendapatkan buntelan itu juga bisa menjadi beban kalau tidak segera menuntaskannya, seperti yang saya alami tahun lalu -bahkan sampai sekarang, walau sekarang sudah bisa sedikit mengatasinya.

Dan plisssss, jangan diplagiat! Apalagi kalau nulis resensinya pakai riset, walau hanya tentang penulis atau biodatanya saja, huhuhu. Kadang saya sampai minta waktu khusus atau wawancara ke penulis langsung hanya untuk membuat biodata yang nggak seberapa kalimatnya, tapi tetap saja sakit melihat orang lain dengan seenaknya sendiri tanpa usaha menjiplak jerih payah kita, ingat, menulis resensi buku itu tidak mudah! Yeah, saya pernah mengalaminya, dan banyak teman lain yang juga pernah mengalami hal yang sama. Apalagi untuk tujuan komersil, situnya enak nggak berusaha apa-apa dapat untung, yang nulis malah nggak dapat manfaatnya sama sekali. Jadi, tolong hargai karya orang lain ya, walau itu hanya menulis resensi buku. Mencari inspirasi boleh kalau beneran nggak ada ide, tapi bacalah sendiri bukunya terlebih dahulu, tuangkan dengan suara dan perasaanmu sendiri.

Kalau kalian, adakah alasan kenapa menulis resensi buku itu susah? Terus bagaimana mengatasinya? Bisa share di kolom komentar di bawah ya :D

26 komentar:

  1. Saya lagi senang meresensi nih kak emang harus terus latian ya hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, nanti lama-lama bakalan terbiasa, kok 😀

      Hapus
  2. Bener banget kak.. Walaupun suka, tp mereview itu memang nggak mudah, banyak sekali yang dipertimbangkan..

    Tapi, tahu fakta kalo kakak udh nulis lebih dri 600 resensi, rasanya wow..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha, nggak kerasa itu. Yap, banyak banget yang dipertimbangkan, nggak hanya menuliskan kembali apa yang dibaca 😀

      Hapus
  3. betul sekali, aku pernah bikin dan hasilnay gak bagus

    BalasHapus
  4. Nomor 9 itu yang bikin galau banget
    Ada novel yg bagus dan tebal, tapi pas nuli resensinya bingung, gimana bikin resensi yg tepat sasaran dan gak setebal bukunya? Resensi kalau kepanjangan tapi gak 'kena' ke sisi positif bukunya malah jadi aneh untuk dibaca

    BalasHapus
  5. Untuk no. 7, saya biasanya nulis dulu di gudrid pas menutup halaman terakhir. Karena kesan itu bisa hilang kalau sudah tersimpan berhari-hari.

    Dan untuk no.1 itu.... saya juga moody. Nggak semua buku yg dibaca bakalan direview.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang aku tulis juga di goodreads mbak, tapi singkat, mungkin bisa ditiru nih, agak panjang dikit biar g lupa Feel yg didapat setelah baca 😀

      Hapus
  6. Hebat mbak udah ngeresensi 600 buku.
    Saya dulu suka ngeresensi, ada blognya sayanh karena poin-poin alasan yang udah dijelasin di atas mendera saya, jadilah 2 tahun vakum ngeresensi. Padahal, masih rajin baca buku. Tapi seperti yang mbak bilang, kecepatan membaca tidak sebanding dengan kecepatan meresensi. Hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baca buku bisa cepet karena kita lebih fokus ke jalan ceritanya kali ya, beda dengan meresensi yang harus pakai mikir 😬

      Hapus
  7. Kalo aku sih akhir-akhir ini karena buku-buku yang kubaca nggak begitu berkesan. Bagus nggak, jelek juga nggak. Jadi pas mau nulis resensi bingung apaan yang mau ditulis. Nulis ringkasan ceritanya sih lancar... pas mau nulis pendapat... blank. Akhirnya nunda, baca buku lain, gitu juga. Udah bertumpuk, mau nulis resensi, udah lupa sama sekali sama ceritanya. Hahahahahaha...

    BalasHapus
  8. Setuju mba, aku aja suka kelabakan kalau bikin review. Apalagi kalau bukunya bagus, malah bingung nge'reviewnya. Untuk buku yang jelek, jujur aku si gak suka di review, cz bacanya aja malah gak dituntasin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang aku malah lebih pemilih banget kalau mau ngreview buku, sesuai mood aja mana yang pengen direview, hahaha. Namun, kalau bukunya bagus banget aku usahakan untuk direview :D

      Hapus
  9. Setuju banget kak...
    Paling susah itu kalo ud masalah spoiler..
    -.-
    Kadang mereviewnya bisa kelewatan..
    malah nge spoil..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan kadang kita g sadar kalau udah mulai spoiler, hahaha.

      Hapus
  10. Sama nih, nulis resensi butuh mood. Aku juga suka nunda-nunda sampai mood datang.

    Kalau bukunya biasa aja, aku gampang bikin resensinya. Bisa gampang bersikap objektif. Tapi kalau bukunya bagus banget atau mengganggu banget, aku pasti ga bisa mengerem spoiler. Nulis reviewnya semangat banget kayak ga tahan pengen ngeluarin semua pendapat, cerocos ga beraturan. #susahnyangereviewbuku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya banget tuh! Kalau bukunya bagus pengen semua diungkapin, biar los, hehehe.

      Hapus
  11. Nggak hanya book blogger yang mengalami seperti itu, ini beauty blogger juga mengalami review slump kayak saya hehe. Tetap semangat review hehe

    www.extraodiary.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya mau ngreview apa aja pasti ada kesulitannya ya, hehehe

      Hapus
  12. Bener banget! Kesepuluh alasan itu emang mengundang kemalasan dan kesulitan meresensi buku. yang nomor 9 aku sering ngalamin, apalagi kalau bukunya terlalu bagus, jadinya cuma pengen nulis "bagus banget! 5 bintang" udah gitu doang saking bingungnya mau nulis apa. Tapi aku lebih mudah nulis resensi kalau bukunya jelek, karena udah ada kesalahan yg mau dibahas, yaa meski kadang kata kata ku pedas banget sih Hahahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, iya, tapi kadang aku nggak tega juga sih kalau sampe pedes banget, semoga aja nggak pernah sampe nyakitin walau berisi negative review :D

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*

Rekomendasi Bulan Ini

Buku Remaja yang Boleh Dibaca Siapa Saja | Rekomendasi Teenlit & Young Adult

K urang lebih dua tahun yang lalu saya pernah membahas tentang genre Young Adult dan berjanji akan memberikan rekomendasi buku yang as...