Judul buku: Tinderology
Penulis: Larasaty Laras
Editor: M.L Anindya Larasati
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
ISBN: 978-602-04-8429-7
Cetakan pertama, Oktober 2018
352 halaman
Buntelan dari @larasatylaras
Arawinda Kani, seorang Senior Public Relation yang lebih sibuk bekerja ketimbang mencari pendamping hidup, disarankan oleh Fala, sahabatnya, untuk ‘main’ Tinder. Awalnya Awi menolak, karena dia punya teori sotoy tentang Tinder: Tinder hanya untuk orang-orang tidak sibuk dan Tinder merupakan jalan pintas mengobati ke-desperate-an kaum single, yang lalu dianggap merupakan cara mudah mendapatkan jodoh. Awi menyebutnya: Tinderology.
Meskipun begitu, akhirnya Awi menuruti saran Fala. Dia menginstal aplikasi itu di ponselnya. Lalu, setelah swipe kanan-kiri dan tulisan "It`s a match!" muncul, Tinder mengenalkan Awi pada seorang Rajiman Aksa, si tukang semen yang nggak punya sense of humor. Terlepas dari berbagai teorinya tentang Tinder, Awi merasa tertarik dengan Aji.
Kalau jodoh Awi (kemungkinan) Aji, yang jaraknya sekitar 2 kilometer, berapa kilometer jodohmu?
Namanya Rajiman Aksa, berusia 30 tahun, lebih tua tiga tahun dari Awi, bekerja di PT Semen Jayakarta dan lulusan Oxford. Tidak banyak informasi tentang dirinya, akun instagramnya kebanyakan foto gunung dan ada satu common friend yang Awi kenal. Tidak banyak sapaan basa basi yang mereka lakukan di Tinder, si tukang semen langsung mengajak Awi untuk bertemu!
Dari beberapa kali pertemuan saat makan siang, Awi cukup tertarik dengan mas Ducati alias Aji. Namun, saat Aji mulai serius dengan Awi, ada sebuah ketakutan menghinggapi Awi. Apakah benar Aji yang dikenalnya lewat Tinder dan hanya berjarak 2 kilometer adalah orang yang benar-benar tepat untuknya?
Awi pernah berkata kepadaku, sesuatu yang pecah tidak akan bisa kembali terlihat seperti semula, jalan keluarnya adalah membuang yang sudah hancur dan menggantinya dengan yang serupa, meskipun tidak akan terasa sama.
Kali kedua membaca tulisan Larasaty Laras setelah Starry Night, di buku keduanya ini saya jauh lebih suka. Tulisannya rapi dan sangat mengalir, dalam artian bagaimana dia mengembangkan hubungan antara Awi dan Aji sangat realistis, plot-nya runtut dan tidak tergesa-gesa. Ada sub plot, seperti kisah sahabatnya, pekerjaan di kantor maupun tentang mantan, semua memiliki porsi yang pas, tidak menutupi cerita utama, hanya sebatas cerita pendamping yang mendukung jalannya cerita tentang Awi dan Aji.
Plot rapi artinya penulis memulai pelan-pelan hubungan Awi dan Aji, saat mereka pertama berkenalan, bertemu, saling PDKT, sampai ke tahap yang benar-benar serius. Mengenal satu sama lain secara perlahan, dan saya suka pemilihan sudut pandang orang pertama, dengan narator Awi, dan ketika mendekati final, Aji ikut bersuara. Sehingga perasaan kedua tergambarkan dengan baik. Pembaca dapat merasakan apa yang sebenarnya diinginkan baik Awi maupun Aji.
Untuk karakter para tokohnya cukup kuat dan konsisten sampai akhir. Awi digambarkan seseorang yang cerewet, mudah diajak bercanda sedangkan Aji kebalikannya, cowok yang sangat lempem, harus dipancing dan tidak bisa diajak bercanda, bawaanya serius. Hal ini nantinya akan menjadi salah satu akar masalah mereka, bagaimana sebuah komunikasi cukup penting dalam sebuah hubungan. Tokoh favorit saya tentu Aji, dia cukup dewasa, tapi kebodohannya tentang cewek kadang lucu.
Awi punya trauma dari hubungannya yang terdahulu, karena kurangnya komunikasi, pacarnya selingkuh, padahal setelah lulus dia dijanjikan akan dilamar. Oleh sebab itu, ketika Awi sudah menjadi pacar Aji dan perilakunya cukup berbeda ketika pendekatan dulu, muncul ketakutan serupa. Dulu, tidak ditanya pun Aji akan mengabari dia sedang apa atau di mana. Setelah pacaran, Aji kadang menghilang. Awi membutuhkan waktu lama untuk bisa move on, sehingga dia memilih meninjau kembali apakah Aji benar-benar 'the right one' yang selama ini dia impikan.
Konflik lain adalah datangnya mantan yang ingin kembali maupun kedekatan Awi dengan rekan kerjanya. Saya suka bagaimana penulis membuat respon Aji. Bisa dibilang cemburu alus, nggak terlalu ketara tapi terasa. Sangat cocok dengan model sifat seperti Aji, tidak suka mengumbar perasaan dan tidak lebay, lebih mengutamakan aksi. Walau sangat lempeng dan kaku, Aji kadang kala juga romantis. Ada salah satu bagian yang saya suka.
"Kalau aku mau kamu jadi nomor satu di speed dial aku, kamu mau?" Aji mengulang pertanyaanya.Bisa aja ya gombalan tukang semen ini :)
"Kamu ini kebiasaan kalau ngomong penjelasannya panjaaang banget. Intinya cuma seupil! Lagian, nomor satu itu kan buat calon istri kamu. Aku belum tentu mau jadi calon istri kamu, lho."
"Nanti-nanti juga mau. Ya?"
"Jadi, setelah malam ini kita apa?"
Aji menghela napas setelahy aku berhasil melepaskan genggaman tanggannya. "Kalau tadi kamu tanya mau aku apa, ya aku maunya sama kamu."
Tinderology sangat asik untuk dibaca, sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, karena apa yang Awi dan Aji jalin, laiknya proses yang kerap kita temui juga sehingga terasa nyata. Mungkin awalnya kita menganggap remeh sebuah aplikasi jodoh, iseng mencoba eh ternyata cocok. Penulis pun mengakui awal mula cerita ini terbentuk berasal dari kisah temannya yang menggunakan aplikasi Tinder.
Buku ini cocok banget bagi kalian yang ingin membaca kisah cinta dengan mengutamakan proses sebuah hubungan, mengenal pasangan sedikit demi sedikit, menemukan perasaan apa yang akhirnya mereka alami. Buku ini manis dan ketika membacanya ingin rasanya nguyel-nguyel si tukang semen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*