Fenomena 'bayi tong sampah' merupakan tragedi Amerika yang tidak kelihatan, kurang dipahami, dan jarang sekali diakui keberadaannya. Meskipun kebanyakan orang akan mengenggap perilaku ini tidak bisa dipahami dan tidak normal, kemunculannya justru cukup umum. Kira-kira satu bayi di buang ke tong sampah, setiap harinya, di Amerika Serikat, dan ketika ada anak Amerika yang dibunuh orangtuanya, 45% kejadian tersebut terjadi selama 24 jam pertama setelah waktu persalinan. Setelah mengetahui topik ini selama periode waktu sembilan tahun dari 1989 sampai 1998, Center for Disease Control and Prevention menyimpulkan bahwa 'tingkat pembunuhan pada hari pertama kehidupan setidaknya mencapai 10 kali lebih besar dibandingkan pada masa-masa lain.' -- catatan penulis
Waktu membaca catatan penulis di bagian akhir, saya begidik. Bayangkan ada dua pasangan mahasiswa Amy Grossberg/Brian Peterson yang tidak menikah, memiliki keadaan finansial yang sangat baik membunuh bayi laki-laki mereka begitu bayi itu lahir. Ada juga kisah mengejutkan tentang Melisa Dexer yang dijuluki media dengan sebutan "Prom Mom," remaja New Jersey ini melahirkan di bilik toilet pada acara prom SMA-nya, lalu kembali ke lantai dansa tak lama setelah membuang mayat bayinya di tempat sampah toilet. Walaupun budaya kita nggak sama seperti orang Amerika, tapi ada juga fenomena 'bayi tong sampah' yang pernah terjadi di Indonesia, tidak sedikit. Melalui After, kita akan melihat realita yang sebenarnya, yang dicoba diungkapkan penulis melalui riset yang dilakukannya.
Kehidupan Devon Sky Devenport berubah drastis setelah Malam Itu. Sebelumnya dia adalah siswi teladan, bintang sepak bola, pintar, selalu dianggap bertanggung jawab, pekerja keras dan dewasa. Tidak jauh dari apartemennya, ditemukan bayi yang dibuang di tong sampah, polisi pun menyelidiki daerah sekitar. Ketika ibunya Devon, Jennifer Devenport mencoba merayu salah satu polisi yang sedang meyelidiki apakah ada hal yang aneh pagi itu, dia berkata mungkin putrinya tahu karena dia tidak sekolah dengan alasan sakit. Polisi tersebut mencoba bertanya tapi Devon tidak menggubrisnya, ibunya marah karena dia tidak bersikap sopan lalu menariknya berdiri. Celananya penuh dengan darah.
Devon segera dilarikan ke rumah sakit, dari awal dia tidak mau diperiksa bahkan sampai melukai dokter dan kondisinya sangat mengenaskan, ternyata plasentanya masih di dalam kandungan. Setelah kondisinya cukup membaik dia mulai menjalani pengadilan, menghadapi tuntutan tindakan kriminal. Sebelum menghadapi pengadilan selanjutnya yang akan menentukan apakah akan diadili sesuai pengadilian kriminal dewasa atau remaja, Devon menempati rumah barunya, penjara yang nantinya membuat dia belajar. Devon masih menyangkal kalau dia yang melakukan semua itu, mengalami semua ini. Dibantu pengacara barunya, Dominique Barcellona atau Dom, dia meminta kerja sama Devon dalam kasusnya, meminta keterus terangnya untuk menghadapi tuntutan Percobaan Pembunuhan Tingkat Satu, Mengabaikan Kewajiban atas Tanggungan Anak Tingkat Dua, Kelalaian Kriminal Tingkat Dua dan Penyerangan Tingkat Tiga. Empat tuntutan sekaligus. Devon sangat susah berterus terang, dia lupa akan kejadian Malam Itu, dia merasa tidak mengandung ITU.
Seruuuu, kita seperti menelusuri pribadi Devon, mencoba memahami apa yang dirasakan seorang remaja yang berusia 15 tahun, berasal dari keluarga broken home, hamil di luar nikah, binggung akan keadaannya dan menjalani semua itu sendirian. Berbagai penyangkalan pun dilakukannya, mulai hilangnya sebagian memori setelah Malam Itu, hadirnya ITU selama sembilan bulan, penyangkalan terhadap dirinya sendiri. Pengacaranya, Dom mencoba membuat Devon membuka diri, baik melalui dia ataupun psikolog untuk mencari kebenaran.
dr. Bacon mendeskripsikan dasar penyangkalan Devon -- rasa malunya, takut dia akan mengikuti jejak ibunya. Dan bagaimana Devon mencoba melindungi diri dengan menerapkan peraturan-peraturan kaku pada diri sendiri. Peraturan pertama adalah jangan sampai membiarkan dirinya melakukan aktivitas seksual apa pun. Guru olah raganya bersaksi mengenai betapa keras sikap Devon terhadap diri sendiri, bahwa dia benci melakukan kesalahan dan tidak memberikan ruang gerak untuk diri sendiri.
Membaca novel ini membuat saya berpikir sejenak untuk menjadi Devon, apa yang akan saya lakukan kalau mengalami hal yang sama? Bingung, takut, mencoba menggugurkannya, terdepak dari silsilah keluarga, di cap jelek di masyarakat? atau seperti yang Devon pilih, mengganggap kehamilan itu tidak pernah ada dan dalam kebingungan, ketakutan ketika bayi itu lahir tidak ada orang yang membantumu, menahan rasa sakit yang tak tertahankan, tidak tahu apa yang akan dilakukan, darah bercecer dimana-mana, keluar dari kakimu, ketika melihat plastik hitam dan kesadaranmu mulai hilang, tidak ada pilihan lain. Sulit, dalam keadaan seperti itu kita butuh dukungan orang lain, keluarga. Waktu melihat proses melahirkan yang nyata saja sudah mengerikan, prosesnya sangat lama, lah ini yang dialami Devon? Sendirian. Sebelum menilai keburukan orang lain, kita memang harus mengalami hal yang sama terlebih dahulu.
Bagian yang paling aku suka adalah waktu di pengadilan, dimana Dom menghadirkan orang-orang yang akan membantu meringgankan hukuman Devon. Mulai dari ibunya yang akhirnya mau menemuinya, guru olah raga yang menyayangkan kenapa Devon tidak menceritakan semuanya, memendam sendirian, orang tua yang anaknya dulu pernah diasuh Devon yang mengatakan kalau Devon adalah orang yang bertanggung jawab dan semisal Devon mengasuh anaknya lagi, dia bersedia. Sampai orang-orang yang bertugas di penjara, yang mengatakan kalau Devon adalah tahanan Teladan. Melalui pembelaan semua itu, Devon sadar kalau dia tidak sendirian. Sempet terharu waktu baca bagian ini *ambil tissue*. Covernya keren, lebih suka versi terjemahannya daripada yang asli, Devon banget! Sebenarnya pengen sedikit banyak penjelasan tentang Connor dan anaknya tapi kayaknya nggak penting, hahaha. Alurnya nggak terlalu lambat walaupun sebagian besar setting berada di penjara, kadang melompat-lompat di ingatan Devon akan kejadian sebelum Malam Itu. Membaca buku ini kita juga sedikit mengenal tentang hukum yang ada di sana, "isi" dari penjara remaja dan keadaan psikis seorang remaja. Sangat setuju dengan tagline dibelakang sampul: dari penyangkalan menuju penerimaan, dan akhirnya menuju proses pendewasaan diri.
Oh ya buku ini juga masuk Nominasi Abe Lincoln Award 2012, Nominasi Gateaway Award 2011-2012, Nominasi Peach Award 2010-2011.
4 sayap untuk 'bayi tong sampah'
NB: Tentang Pengarang
Amy Evaw merupakan lulusan Akademi Militer Amerika Serikat di West Point, ibu lima anak, dan "soccer mom luar biasa." Saat melakukan penelitian untuk After, ia menghabiskan beberapa jam setiap minggu untuk mengobservasi para remaja pelanggar hukum di Remann Hall Juvenile Detention Center di Tacoma, Washington, setting buku ini. Suami Amy yang pernah berprofesi sebagai jaksa , penuntut sipil, pengacara pembela, dan hakim militer, memberikan saran-saran hukum profesional untuk buku ini. Amy yang pernah bekerja sebagai militer dan jurnalis freelance kini tinggal di Denver, Colorado bersama suaminya, anak-anak mereka, anjing Redbone Coonhound, dan kucing Bengali. Kunjungi Amy di www.amyefaw.com
After
by Amy Efaw
Alih Bahasa: Nina Andiana
Desain Cover: Marcel A. W.
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, September 2011
ISBN: 978-979-22-7565
456 halaman
kemarin waktu di toko buku, sempat mau beli buku ini hehehe.. oke thanks reviewnya, mbak. saya jadi mau beli :D
BalasHapusWohoo, semoga suka bukunya yah :)
BalasHapusReviewnya bagus mba.....kayana saya ga berani baca mba.... soal bayi tong sampah ini :(
BalasHapus