Senin, 21 Mei 2012

Memori


Saya ingat sekali, pertama kali kenal dengan karya Windry Ramadhina ketika saya sedang liburan di Jogja dan seperti biasa, saya suka mengunjungi toko buku di sana, salah satunya Toga Mas, siapa tahu mendapatkan buku yang tidak ada di kota Solo yang seringnya tidak lengkap. Saya lupa tepatnya tahun berapa, yang jelas waktu itu saya iseng mencomot buku Orange, di mana mungkin sedikit buku terbitan Gagas yang masih bersisa di toko buku yang selalu diskon itu. Kadang saya memilih buku untuk dibawa pulang seperti itu, saya baca sinopsisnya dan kalau sepertinya menarik saya akan beli, tanpa melihat itu buku bestseller atau siapa penulisnya, apakah baru atau sudah menelurkan karya berpuluhan, hanya bermodalkan asal ambil. Dan tidak jarang, dengan metode asal ambil itu saya malah merasa berjodoh.

Untuk buku keduanya Metropolis saya agak telat menyadari kalau sudah ada buku terbaru karya Windry. Seperti yang saya bilang tadi, toko buku di kota saya kurang update. Kali ini saya lupa kapan dan di mana mendapatkan buku Metropolis, yang saya ingat ketika melihat pertama kali tidak perlu ragu saya langsung membawanya ke kasir.

Setelah itu, saya tidak menemui buku karya Windry Ramadhina lagi.

Beberapa bulan yang lalu, saya iseng mengunjungi blognya, karena kangen akan tulisannya, dan seperti mendapat kejutan yang membahagiakan, akan ada DUA novel terbaru yang berjudul Home dan Sakura Haru, yang tidak lama lagi akan terbit. Dan setelah mengulik habis blognya, banyak cerpen yang mengobati rasa kangen saya akan tulisan Windry, dan tahu alasan kenapa dia sempat vakum, ada Balerina yang mewarnai hidupnya dan menguras waktunya.

Saya menunggu dengan sabar dan tibalah saatnya untuk menikmati karya Windry lagi. Novel terbarunya bukan berjudul Home tapi oleh pihak penerbit diganti dengan Memori. Tidak masalah, kedua judul tersebut terasa sama saja. Buku ini juga tidak langsung saya dapat. Waktu tahu kalau sudah beredar saya mendatangi toko buku terbesar di kota Solo dan hasilnya nihil, buku tersebut tidak ada di rak new realese, saya konfirmasi ke penerbitnya dan katanya baru dalam tahap distribusi, saya pulang  dengan membawa buku lain :p. Minggu berikutnya saya titip saja ke kakak yang stay di Solo (saya sudah tidak lagi ada di Solo, hanya sebulan sekali atau kalau ada kepentingan saja, saya kerja di kota kecil yang tidak ada toko bukunya T.T) dan akhirnya dapat! yeay. Tidak membutuhkan waktu lama, dalam semalam saya membabat habis buku ini.

Kenapa malah curhat? hehehe, karena judulnya Memori, saya jadi terkenang ketika pertama kali berkenalan dengan karya Windry, memorable sekali karena sejak buku pertama saya sudah sangat menyukai tulisannya. Ok, saya akan langsung ke cerita buku ini ya.

Mahoni, seorang arsitek yang sukses di Virginia, seorang yang terobsesi dengan Frank O. Gehry, dia sangat berpegang teguh pada prinsipnya, tidak jarang dia menolak order kliennya karena selera meraka tidak sesuai harapan Mahoni, dia pekerja seni, dia tidak mendesain sesuai pesanan, dia juga sedikit keras kepala, terlebih kepada masa lalunya.
Seumur hidup, aku tidak pernah dan tidak akan mau meniru, termasuk membuat rancangan berdasarkan contoh tertentu. Desain-desainku ini sangat spesifik. Aku berkreasi untuk jiwa, menciptakan sesuatu yang indah, yang mampu menggerakkan perasaan orang lain.
Ada masa lalu yang ingin Mahoni simpan rapat-rapat, yang membuat dia tidak ingin kembali ke rumah. Tapi, ada kalanya kenangan yang terkubur itu akan bangkit, meminta penyelesaian. Telepon dari Om Ranu adalah jawabannya, mau tidak mau Mahoni harus pulang ke Jakarta.

Mahoni tidak berencana lama tinggal di Jakarta, hanya dua hari, setelah mendatangi pemakaman Papanya (yang dia lewatkan) dia akan langsung pulang. Kemarahan, kebencian akan kedua orang tuanya muncul kembali. Rencana yang hanya dua hari tinggal di Jakarta berubah menjadi dua bulan, Mahoni harus menjadi wali Sigi, adik tirinya, anak dari Papa dan Grace yang masih dibawah umur dan masih sekolah, anak dari perempuan yang sudah mengambil Papa darinya dan dari Mae. Tapi Mahoni tidak bisa berkata-kata lagi ketika Om Rahu berkata, "Demi Papamu, Mahoni."

Sambil memikirkan langkah apa yang akan dia ambil untuk kedepannya terhadap Sigi yang tidak dia pedulikan, Mahoni pergi ke mal untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinyanya yang sebelumnya tentu tidak direncanakannya. Di sana dia melihat sebuah restoran yang didesain sangat indah, khas art nouveau gaya desain warisan Prancis abad kesembilan belas yang banyak meniru bentuk-bentuk alam, karena sangat penasaran akan siapa pendisainnya tanpa malu Mahoni bertanya ke kasir dan dengan baiknya dia menunjukkan sketsa restoran.
Gambar itu, sketsa pradesain restoran dalam guratan tanpa putus yang spontan, dibuat di atas selembar kertas putih kekuningan menggunakan pensil warna tanah liat. Itu konte sanguine, aku kenal betul. Warna coklatnya yang kemerahan teramat khas, tidak ada pensil lain yang memiliki warna serupa. Dan, gaya sketsa yang luar biasa intuitif itu menginggatk aku kepada seseorang, seseorang yang selalu menggambar dengan konte sanguine.
Mahoni mendapati inisial sM di sudut kanan bawah, yang hampir tertutup pigura. Simon Marganda. Masa lalu Mahoni yang lain.

Sukaaaaaa banget sama novel ini, kurang puas ah tulis ulang SUKA BANGET, PUAS BANGET. Salah satu buku yang nggak akan pernah bosan saya baca! Bayangkan, setelah menamatkan dalam semalam saya langsung ingin membaca ulang, lagi! Perasaan saya campur aduk, antara sebel dengan sifat Mahoni, gemes dengan Simon, dan sangat suka dengan karakter Sigi. Buku ini bener-bener lengkap, kangen akan masa lalu bersama Papa dan Simon, cemburunya dengan Sigi dan Sofia, kesedihannya akan kehilangan Papanya yang tidak ingin Mahoni tunjukkan, rasa sayang yang tidak akan pernah hilang untuk Simon, semua rasa ada di sini.

Mahoni dengan Papanya. Rasa kecewa yang amat besar terhadap Papanya membuat Mahoni membenci Sigi, dia cemburu karena Sigi lebih banyak mendapatkan kasih sayang Papanya, Sigi lebih banyak meluangkan waktu bersama Papanya, cemburu karena Papanya memberi nama Sigi yang berarti kayu damar, kayu yang sangat kuat, tidak rusak, tidak lapuk karena perubahan cuaca.
Aku langsung tahu. Damar adalah kayu kesukaan Papa; bukan jati, nyatoh, atau sungkai; bukan pula Mahoni.
Sewaktu membacanya, kita bisa merasakan besarnya rasa benci Mahoni terhadap Papanya sekaligus besarnya rasa kangen yang enggan dia ungkapkan.

Mahoni dengan Simon. Masa lalu mereka seperti selulit, menganggu dan tidak mau hilang. Kenangan-kenangan sewaktu kuliah yang manis dulu selalu membayangi kehidupan mereka. Selalu berdebat siapa yang lebih baik antara Frank O. Gehry atau Rem Koolhaas. Satu menyukai cokelat Godiva seharga 5 dollar, satunya lagi menyukai kopi Gayo. Sekarang Simon mempunyai Sofia, gadis cantik yang amat sangat memuja Simon. Mahoni takut untuk memulai lagi hubungan dengan Simon, dia tidak ingin seperti Grace, tidak ingin Sofia seperti Mae.
"Menurutmu, apa yang kita lakukan ini benar?" Aku menatap mata Simon.
Lelaki itu membalas seraya membelai rambutku. "Entahlah. yang kutahu, aku menginginkanmu," katanya.
Simon, cowok jenius, tidak pernah masuk kuliah tapi selalu mendapatkan nilai A, selalu memakai kaos buluk dan celana jeans pudar, sinis dan tidak jarang berkomentar pedas jika melakukan kesalahan, tidak mudah puas dan luar biasa kritis terhadap karya baik orang lain ataupun miliknya. Oh, saya jatuh cinta pada Simon.

Mahoni dengan Sigi. Bagian mereka benar-benar membuat mata saya berkaca-kaca. Bagian yang sangat emosional sekali. Awalnya Mahoni sangat cuek terhadap Sigi, tidak mau memanggil adik dan tidak peduli. Perlahan, hubungan mereka berubah, bermula dari keterpaksaan menjadi walinya Mahoni sedikit demi sedikit dapat menerima Sigi. Manis sekali hubungan mereka, setelah melihat Sigi pingsan karena beberapa hari tidak makan, Mahoni terpaksa memasak setiap hari, Sigi membalasnya dengan membuat teh pahit, nasi goreng yang keasinan, menunjukkan rute ke Indomaret. Dan bagian yang paling nyesek adalah ketika Sigi menjemput Mahoni di stasiun ketika sedang hujan deras, tapi Mahoni tidak tahu dan membiarkan Sigi menunggu kehujanan membawa dua payung. Mereka jarang berbicara, tapi saling memahami.
Jika kuingat-ingat kembali, seperti itu pula di sepanjang jalan ke Indomaret tadi. Aku berjalan tiga meter di belakangnya dan mengatur kecepatan langkahku sedemikian rupa agar jarak diantara kami tetap terjaga. Jika dia mempercepat gerak, aku tidak bergegas mengejarnya. Jika dia melambat, aku melangkah lebih pelan.
Ya. Demi Mae, jarak itu harus tetap ada.
Sigi, dia memahami perasaan Mahoni, memahami kenapa dia tidak menyukainya. Dia jauh lebih dewasa daripada Mahoni. Mereka saling membutuhkan. Oh, saya juga jatuh cinta padanya.

Drama keluarga yang benar-benar menguras emosi dan sangat berbau rumah. Jangan mengharapkan kata-kata romantis atau indah, saya tidak banyak menemukannya (kecuali waktu Simon merasakan sisa Godiva di mulut Mahoni :p). Yang saya temukan adalah diskripsi yang mengalir lancar, tidak basa basi, dan diaolg-dialognya keren, apalagi bagian Simon, sinis dan to jleb point. Terlebih bagaimana penulis menggambarkan 'ruang' di buku ini, kelihatan kalau dia sangat menguasai profesinya. Typo masih ada sedikit. Jujur saya kurang suka sama covernya, berasa jadul sekali, hehehe. Mungkin kalau dilihat dari maknanya sesuai dengan buku ini, tapi kok saya jadi teringat pada foto pernikahan jaman dulu yang berlatar piring XDD. Membaca buku ini menambah pengetahuan saya akan dunia arsitek, tahu tentang kayu, pelitur, rumah bertipe romantic home, mediteran, posmo dan folkloric.

Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang merindukan rumah.

5 sayap untuk konte sanguine.


Memori
Tentang Cinta yang Tak Lagi Sama
Penulis: Windry Ramadhina
Editor: eNHa
Desain sampul: Jeffri Fernando
Penerbit: Gagasmedia
ISBN: 979-780-562-x
Cetakan pertama, 2012
301 halaman.

10 komentar:

  1. wuih, blognya cantik...
    5 sayap? saya juga suka sama buku-bukunya Windry yg dulu dipinjamin Sulis. Artinya buku ini harus masuk wishlist :)

    BalasHapus
  2. Aku juga sukaa ceritanya :D cuman agak kurang greget aj, klo menurutku :p
    btw blog-nya tmbh kerenn, setuju sm commentny mba desty.. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. kurang gregertnya dimana ya? makasih stefanie, blog kamu juga cantik ^^

      Hapus
  3. blognya ganti template ternyata :)

    BalasHapus
  4. "Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang merindukan rumah."

    sepertinya aku harus baca buku ini... kan aku bawaannya kangen rumah mulu.... :'(

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*

Rekomendasi Bulan Ini

Buku Remaja yang Boleh Dibaca Siapa Saja | Rekomendasi Teenlit & Young Adult

K urang lebih dua tahun yang lalu saya pernah membahas tentang genre Young Adult dan berjanji akan memberikan rekomendasi buku yang as...