Pages

Rabu, 22 April 2015

Liberty by Randu Alamsyah | Book Review

Liberty
Penulis: Randu Alamsyah
Penyunting: Pradikha Bestari
Perancang sampul: Boy Bayu Anggara
Penerbit: Muara
ISBN: 978-979-91-0795-4
Cetakan pertama, Desember 2014
246 halaman
Buntelan dari @IceCube_Publish
"Di semua kehidupan, aku selalu ingin berbagi semuanya denganmu."

Tak ada yang lebih diimpikan Taslimah selain hidup bahagia bersama Ebu dan Abinya. Tetapi Abi pergi sebelum ia dilahirkan dan suatu kerusuhan memaksanya pergi meninggalkan Ebu yang sedang sakit keras. Taslimah yang baru sepuluh tahun harus merasakan himpitan hidup sebatang kara.

Hawa berada di acara karantina Putri Nusantara karena Mom dan Garin. Mom yang menginginkan dirinya terkenal dan Garin, cinta masa kecilnya yang tampan dan bak seorang pangeran. Bukankah seorang putri yang pantas bersanding dengan pangeran? Bukankah seorang putri harus memenuhi keinginan Mom-nya? Hawa mengusap kerudung yang sudah dipakainya sejak kecil. Besok akan ada pemotretan dengan busana renang.

Rahimeh Akmaal selalu yakin akan diri dan pandangan hidupnya. Dia percaya pada kesetaraan gender, pada agama yang universal dan membebaskan. Sampai dia merasakan kehilangan, kesepian, dan tanpa harapan di bawah hujan salju New York.

Soudabeh telah menaklukkan dinding lempung pegunungan Zagros. Lepas dari masa kecilnya di desa dan melesat menjadi ilmuwan terkemuka di Teheran. Tetapi, seperti semua wanita di desanya, ia diharapkan untuk kembali dan menempati rumah masa kecilnya bersama suami pilihan ayahnya yang mungkin takkan membiarkannya bekerja.

Liberty akan membawa kita mengikuti kisah hidup empat perempuan kuat dari Sampang, Jakarta, Surabaya, Isfahan, Teheran, sampai New York. Semua mempertanyakan jati diri, cinta, agama, dan kebebasan sampai pada satu titik yang membuat kita semua sadar bahwa kepakan sayap kupu-kupu di satu belahan bumi bisa menyebabkan badai di belahan bumi lainnya.
Cerita pertama dimulai dari gadis berusia sepuluh tahun yang tinggal di Koneng, Sampang. Taslimah tidak pernah mengenal abi-nya, hanya lewat secarik foto dia mengenali rupa abi-nya. Sejak lahir dia hanya mengenal ebu, ibu yang melahirkan serta menjadi tulang punggung keluarga. Suatu ketika desa tempat dia tinggal terjadi kerusuhan, ebu menyuruh Taslimah pergi ke rumah pamannya sendirian karena ebu sakit keras tidak bisa pergi jauh. Berbekal baju dan uang seadanya Taslimah pergi tanpa tujuan yang jelas.

Cerita kedua tentang seorang gadis bernama Syamsal Hawa. Sejak kecil dia sudah memakai hijab, terinspirasi dari oma-nya. Ibu Hawa sangat ingin anaknya mengikuti ajang Putri Nusantara, selain itu teman masa kecilnya, Garin juga mendukung, sejak itu Garin aktif menghubungi Hawa dan menunjukkan ketertarikan. Hawa ingin membahagiakan ibunya serta ingin Garin menyukainya, ingin cinta sejak masa kecilnya berbalas. Tapi, ada satu syarat yang memberatkan Hawa, ada sesi fotografi di mana para peserta harus memakai baju renang, yang berarti Hawa harus melepas hijab-nya. Membuat Hawa menginggat kembali alasan dia berhijab dan mempertanyakan apakah dia perlu mengubah prinsip hidupnya?
Agama harusnya tidak membatasi kita dalam sesuatu yang bersifat pencapaian nalar dan logika. Dasar agama ini memang nalar. Tidak ada keyakinan bagi orang-orang tidak berakal. Dan, kemana semua ini akan bermuara? Saya memikirkan sebuah agama menjadi jawaban semua umat manusia tentang nilai-nilai kebaikan yang sama. Kemanusiaan, kemerataan hak dan derajat, Anda bisa menyebutnya. Dan, untuk memahami itu semua, kita tidak selalu bergantung dengan penafsiran tunggal atas pembacaan teks-teks suci kita sendiri. Cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang tidak otentik bahkan dalam agama kita sekalipun.
Cerita ketiga tentang Rahimeh Akmaal, seorang mujtahid dari New York, aktifis yang vokal akan kesamaan hak, kesetaraan gender, kebebasan beragama, idola dunia barat dan wanita muslim modern masa kini. Tapi tak sedikit juga yang mengecam pendapatnya tentang nilai-nilai baru Islam yang segar dan membebaskan, Islam yang moderat dan inklusif, ada banyak perlawanan yang menganggap kalau pidato atau ceramah Rahimeh mencoreng nama Islam. Persahabatannya dengan seorang perempuan mengundang tanya akan kehidupan seksualnya, hidupnya selalu diawasi wartawan dan tidak jarang dia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari haters-nya. Suatu ketika setelah selesai berceramah ada orang melempar botol ke Rahimeh, orang itu adalah adiknya sendiri. Yang terburuk, setelah itu adiknya mencoba bunuh diri. Rahimeh harus memilih membenci atau menolong?

Soudabeh adalah ilmuwan wanita yang cemerlang di Iran, ayahnya sangat membanggakan dirinya, bahkan cenderung berlebihan. Soudabeh paham kenapa ayahnya seperti itu, Fadar ingin membayar malu yang telah diperbuat kakak Soudabeh, yang dulu menjadi anak kesayangannya, Farah melarikan diri pada malam pertunangannya, di mana hal tersebut belum pernah dilakukan oleh seorang pun di desanya. Saoudabeh ingin lebih baik dari Farah, dia ingin membahagiakan Fadar. Maka ketika Fadar menjodohkannya dengan seorang lelaki, Soudabeh tak sampe hati menolak, dia tidak ingin seperti kakaknya yang membuat ayah mereka kecewa. Namun, kalau dia menerima perjodohan tersebut cita-citanya akan kandas, dia hanya akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang tunduk dengan suaminya, dia tidak akan bersama dengan lelaki yang benar-benar dicintainya, lelaki yang tidak memeluk agama apa pun.
Real hero always anonymous.
"Dulu aku selalu merindukan kehidupan di sini. Aku melihatnya di film-film. Aku selalu membanding-bandingkan Iran dan Amerika seperti aku mengadu timur dan barat."
"Dan?"
"Aku menghormati keduanya. Tahukah kau apa yang kupikirkan? Matahari tidak terbit di timur dan tenggelam di barat. Matahari selalu beredar. Dia punya konsep universal yang tidak menentukan titik keberpihakan di salah satu koordinat. Sangat netral. Itulah yang membuatnya indah."
Buku ini mengisahkan kehidupan empat perempuan dari tempat yang berbeda, lintas dunia, namun konflik yang menghinggap mereka semua nantinya akan menjadi benang merah, saling menginspirasi, saling terkait satu sama lain. Awalnya agak malas membaca buku ini karena buku ini adalah tipe buku yang paling malas saya baca selain buku tentang politik. Saya tidak suka membaca buku agama, bukan kenapa-kenapa, buku agama cenderung bersifat memaksa, menggurui, menyuruh mengikuti pendapat seseorang yang belum tentu benar. Buku agama sama halnya dengan buku politik, selain sama-sama membosankan, tidak akan ada ujungnya kalau diberdebatkan. Buku ini beda, tidak menggurui atau menyuruh meyakini ajaran tertentu. Buku ini lebih bebas, lebih terbuka akan pendapat seseorang, membuat pembaca lebih memahami prinsip orang lain tanpa memaksa, agar kita menghargai perbedaan yang ada.

Lewat Taslimah, kita akan sadar kalau dunia tidak adil, perbedaan agama membuat gadis kecil tersebut berpisah dengan ibunya. Tetapi Taslimah tidak langsung menyalahi nasib, di pengungsian dia giat membantu orang lain, tanpa beban. Kebaikan bisa dilakukan oleh siapa saja dan ke siapa saja tanpa memandang apa agama mereka. Lewat Hawa kita akan belajar menghargai prinsip orang lian, pilihan hidup orang lain. Ketidakadilan yang diterima Taslimah juga dirasakan Hawa ketika dia mengikuti ajang Putri Nusantara, kenapa kontestan tidak boleh memakai hijab? Kecantikan seseorang tidak hanya dilihat dari fisiknya saja, dan setiap perempuan adalah cantik, tanpa memandang apa yang mereka kenakan. Lewat Rahimeh kita akan lebih terbuka akan kebebasan berpendapat, siapa saja berhak kok untuk menjadi berbeda, bisa melakukan apa saja dan memeluk agama sesuai keyakinan. Semua agama mengajarkan kebaikan, bukankah kebaikan seharusnya diterima oleh semua orang? Lewat Soudabeh kita akan belajar ikhlas akan cinta. Tuhan sudah menggariskan hidup seseorang, tak terkecuali jodoh :D

Bisa dibilang buku ini tidak terlalu membosankan, mungkin dikarenakan ada empat cerita inti di mana setiap bab akan membahas satu tokoh sehingga kita akan lebih cepat membacanya, tidak terasa. Awalnya agak bingung karena ada empat tokoh utama dengan kehidupan yang berbeda dan tidak ada sangkut pautnya, tetapi semakin ke belakang cerita akan saling berhubungan kok. Alurnya cukup rapi dan tidak membuat bingung, pesannya bisa tersampaikan dengan jelas. Bagian yang saya suka adalah ketika Hawa menulis di blognya, dia menulis tentang Taslimah. Kemudian tulisannya di baca oleh Rahimeh, melalui Rahimeh kita akan mendapatkan benang merah dengan Soudabeh. Inilah yang saya suka dari buku ini, cara penulis merangkai cerita yang berbeda kemudian menghubungkannya dengan rapi.

Buku ini recommended bagi yang ingin membaca buku bertema religi yang cukup ringan dan menyegarkan.

3 sayap untuk empat wanita berkerudung yang kuat.


3 komentar:

  1. apa penulisnya dari Sampang? soalnya ane juga orang sampang :D

    BalasHapus
  2. hikmah dari buku ini apa dan alasannya knpa milih buku ini? bantu jawab soalnya tugas hehe

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*