Pages

Senin, 03 Mei 2021

Kalau Tidak Membaca, Entah Jadi Apa #BersamaBeradaptasi



Saya baru tahu sayembara kreatif yang diadakan GPU (Gramedia Pustaka Utama) dengan tema perjalanan hidup bersama buku-buku selama proses adaptasi, satu hari sebelum batas waktu yang ditentukan. Seperti halnya ketika kita ingin membaca buku, tidak ada kata terlambat. Di hari terakhir pengumpulan cerita ini, saya membedah lagi ingatan tentang buku-buku GPU yang mengubah hidup saya, tidak hanya di masa pandemi yang mengharuskan kita beradaptasi, tapi sepanjang hidup yang saya jalani.

Saya memang tergolong terlambat dalam menekuni hobi membaca buku, kalau melihat kebanyakan teman di salah satu komunitas buku yang saya ikuti, hampir sebagian besar memulai kegemaran ini sedari kecil. Faktor ekonomi dan keluarga pasti mempengaruhi, membaca bukan suatu kebudayaan di keluarga kami, bukan kebutuhan pokok, sehingga akses untuk membaca buku sulit. Sulis kecil pastinya tidak pernah membayangkan akan sangat menyukai buku ketika dewasa nanti, pernah membaca 100 buku setiap tahunnya, pernah memiliki koleksi kurang lebih seribu buku dengan jerih payahnya sendiri. Salah satu hal yang saya syukuri dalam hidup ini adalah mengenal buku, kalau tidak membaca, entah jadi apa.

Saya ingat betul, ketika SMP saya suka sekali membaca majalah, menyisihkan uang saku untuk membeli edisi special yang isinya sangat saya suka. Namun, ketika ayah saya melihat ‘kegemaran’ menghambur-hamburkan uang demi sesuatu yang bukan untuk menyokong kegiatan sekolah, beliau membakar semua koleksi majalah saya. Sejak saat itu saya tahu pasti tidak bisa mengandalkan orang lain untuk memenuhi ‘kebutuhan spiritual’ saya ketika remaja. Ayah saya mengajarkan, untuk mendapatkan sesuatu, saya harus berusaha sendiri.

Buku GPU yang membuat saya tertarik membaca adalah Fairish karya Esti Kinasih. Salah seorang teman bercerita tentang sebuah novel remaja yang sangat dia suka, membeberkan kepada saya sampai saya sangat tertarik untuk ikutan membaca, tapi enggan meminjami. Untungnya, teman kakak saya menyukai kegiatan membaca, memiliki buku tersebut dan bersedia meminjami. Berkat buku tersebut, saya semakin haus, ingin membaca yang lain, awal mula saya mengenal teenlit. Saya belajar beradapasi, bertahan dengan apa yang saya sukai. Tidak memiliki akses untuk membeli, saya bisa meminjam, entah ke teman, persewaan buku dan komik atau perpustakaan. Apa pun bisa diusahakan demi apa yang kita suka.

Ketika iseng mencari sesuatu tentang orang tua saya di lemari tua di rumah, saya menemukan buku karya Mira W yang sudah sangat lecek, waktu itu kalau tidak salah antara kelas 5 atau 6 SD, saya membaca Masih Ada Kereta yang Akan Lewat, novel yang terbit pertama kali pada tahun 1982, sedangkan yang saya miliki merupakan cetakan kedua tahun 1984, bahkan saya belum lahir. 


Sebelum Fairish, ternyata jauh sebelum itu saya sebenarnya sudah menemukan minat membaca buku, hanya kesempatan dan kondisi yang tidak mendukung. Karena itu juga, saya jadi tahu kalau semasa remaja dulu, ayah saya juga suka membaca, selain Mira W, buku favoritnya karangan Kho Ping Hoo. Ayah bercerita kalau beliau tidak pernah membeli buku, hanya meminjam. Sejak saat itu saya jadi tahu, ayah bukannya melarang, hanya saja mengajarkan saya akan prioritas yang harus saya tentukan. Ayah saya tidak pernah pelit kalau menyangkut buku pelajaran, tapi tidak dengan buku fiksi. Maka saya harus mengusahakan sendiri.

Lalu ada buku yang saya ingat betul dan sangat membekas, yang mengubah pandangan saya akan LGBT. Luna karya Julie Anne Peters, teenlit terjamahan dari GPU. Dulu, LGBT dianggap tabu, saya yang masih kecil hanya ikut-ikutan dengan stereotip di masyarakat. Ketika membaca Luna,saya ikut sakit dengan apa yang dirasakan Regan melihat kakaknya Liam. Sakit karena dia dibenci, dibully, tidak diterima karena hanya menjadi dirinya sendiri. Sejak saat itu saya melihat transgender dengan kacamata yang berbeda. Kita tidak bisa menghakimi pilihan orang lain, kita tidak bisa mendikte apa yang harus dilakukan orang lain, kita tidak tahu perasaan mereka, karena kita tidak mengalaminya sendiri. Sejak saat itu saya belajar menerima, khususnya pilihan orang lain dalam hidupnya.

Kemudian saya mengenal rasanya jatuh cinta, bukan kepada seseorang secara nyata, tapi di dalam buku fantasy, ya, karakter fiksi. Saya jatuh cinta pada Edward Cullen dari saga Twilight karya Stephenie Meyer, siapa yang tidak? Seorang vampire yang jatuh cinta pada gadis biasa saja, rela melakukan apa saja demi orang yang dicintai, membuat pembaca berangan-angan betapa bahagianya bila menjadi seorang Bella Swan. Sejak saat itu saya semakin dalam menjelajah dunia fantasy, yang membuat saya menyukai genre ini.

Tentunya serial Harry Potter lah yang mengenalkan saya pada sihir dan hal ajaib lainnya untuk pertama kali sebelum dunia saya diporak-porandakan oleh vampire. Siapa yang tidak menyukai karya fenomenal dari J. K Rowling ini? Sebuah buku yang tidak hanya pengubah dunia penulisnya sendiri, pun dengan pembacanya. Awal mula saya tahu serial ini dari filmnya, kemudian ada teman yang seorang potterhead dan mengoleksi bukunya, tapi enggan meminjamkan. Belajar dari pengalaman, saya meminjam dari teman kakak (lagi) karena sangat penasaran dengan kelanjutan filmnya, yang kala itu sangat saya sukai.

Membaca Harry Potter merupakan salah satu kegiatan terasik yang pernah saya lakukan. Ternyata, membaca buku tebal tidak semengerikan yang awalnya saya kira. Saya memang lupa waktu, seharian di kamar hanya menbaca, membaca, dan membaca, satu buku bantal tamat hanya dengan sekali duduk. Namun di sisi lain, saya memasuki dunia yang tak terbayangkan, sebuah dunia baru yang sangat seru, penuh petualangan menegangkan dan mengasikkan. Sesuatu yang belum tentu saya dapatkan di dunia nyata. Saya semakin jatuh cinta dengan membaca.

Semakin banyak membaca saya semakin tahu kalau saya sangat menyukai genre romance. Alasan kenapa saya menamai blog saya dengan nama kubikelromance, karena saya ingin menemukan berbagai macam kisah cinta, bahwa di setiap cerita selalu ada kisah cinta, entah itu cinta sepasang kekasih, cinta orang tua kepada anak, cinta ke sahabat, dan cinta ke sesuatu yang membuat bahagia, passion misalnya. Makna cinta begitu luas, dan saya akan terus mencarinya.

Ada dua lini dari buku GPU yang bikin mabuk cinta, harlequin dan historical romance. Dua jenis cerita ini bisa dibilang paling banyak saya baca di awal mulai menyukai kegiatan membaca, selain teenlit dan metropop. Saya berburu buku-buku karya Sandra Brown, awalnya tidak sengaja diperkenalkan oleh kakak saya ketika meminjam di persewaan, saya iseng membaca ternyata suka. Buku yang masih saya ingat betul dan saya baca berulang kali antara lain; Breakfast in Bed, In A Class By Itself, dan Adam’s Fall. Sedangkan buku historical romance paling favorit yang diterbitkan GPU adalah karya Lisa Kleypas, serial Wallflowers.


Semakin lama membaca, bacaan saya semakin meluas, saya memberanikan diri membaca buku klasik dan fiksi sejarah. Salah satu kegiatan yang dulu dilakukan komunitas baca yang saya ikuti adalah membaca buku dengan tema tertentu secara bersamaan. Buku pertama yang dipilih adalah Wuthering Heights karya Emily Bronte. Ada pula dari challenge lain yang saya ikuti, baca bareng Gone with The Wind karya Margaret Mitchell. Dua buku yang tidak pernah saya bayangkan untuk membacanya, dulu saya merasa tidak yakin bakalan sanggup membaca buku ‘berat’, tapi nyatanya saya lakukan, saya bisa, bahkan saya tulis reviewnya.

Masih banyak lagi buku GPU yang berpengaruh bagi hidup saya, bisa dibilang saya dewasa bersama buku GPU. Buku-buku di atas merupakan beberapa contoh yang berpengaruh besar pada diri saya, khususnya secara personal. Ada kalanya saya rajin membaca buku, ada kalanya juga roda berputar sebaliknya, di masa titik terendah dalam hidup kita. Pandemi tahun lalu adalah masa kelam hidup saya perihal membaca buku, saya hanya mampu membaca 19 buku, padahal sebelumnya saya selalu membaca lebih dari 50 buku setiap tahunnya. Tapi saya tetap bersyukur masih bisa membaca. Semakin dewasa, bukan kuantitas yang penting, tapi apa yang kita dapatkan dari membaca buku, itu jauh lebih bermakna.

Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau saya tidak mengenal buku, tidak membaca, mau jadi apa? Membaca buku membuat saya berpikiran terbuka, luas, belajar berempati, belajar menerima sesuatu yang berbeda dengan apa yang kita harapkan atau percayai. Mendapatkan ilmu yang kadang tidak ada di buku pelajaran. Mengenal berbagai macam karakter tanpa harus berhadapan langsung secara nyata, mengetahui berbagai macam masalah dalam hidup yang bisa dipakai sebagai pembelajaran.  Membaca buku bagi saya adalah kebutuhan spiritual, sebuah terapi, ketika saya merasa sendirian dan kesepian, maka buku akan menemani dengan setia, tanpa protes, tanpa mengeluh karena saya manfaatkan, buku adalah sahabat terbaik.

Dengan membaca saya merasa percaya diri, lebih mengenal diri sendiri, mengenal banyak orang, dan mengenal berbagai macam kisah yang menakjubkan. Terima kasih GPU, selama 47 tahun ini ada dan selalu setia kepada pembaca yang haus akan cerita, pengetahuan, pengaaman tak terbayangkan. Bagi saya beradaptasi sudah saya jalani sepanjang hidup ini, ketika ayah saya membakar majalah dan melarang membeli buku, saya bertahan. Saya selalu menemukan cara untuk kembali membaca, pun ketika di titik terendah dalam hidup saya, saya akan selalu menyukai membaca buku dan membuktikan kalau pilihan saya tidak salah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*