Penulis: Sabda Armandio
Penerbit: Buku Mojok
ISBN: 9786021318485
Cetakan pertama, 28 April 2017
228 halaman
Pernah terbit di jurnalruang.com
Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas. Semua karena sebuah kotak hitam.“Ringan dan menyenangkan. Ia menghadirkan individu-individu yang sepintas tampak sepele namun sesungguhnya kaya dan mengayakan: mengandung kesadaran, sekaligus kritik atas konvensi cerita detektif. Dialog tokoh-tokohnya tampak berbobot, mengena, dengan alusi yang mengarah ke semesta dunia.” (Dewan Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016)
“Untuk membuat cerita detektif, kau harus mahir membuat orang kebingungan,” —Babaji
Tampaknya, Sabda Armandio memang sukses membuat cerita detektif, karena dia membuat saya kebingungan membaca paruh awal buku. 24 Jam Bersama Gaspar benar-benar absurd, mulai dari dialog sampai karakter para tokohnya, saya berulang kali membolak-balikkan halaman dan baru paham apa yang sebenarnya ingin dikemukakan penulis ketika Gaspar sudah mengumpulkan bala bantuan. Kalau David Ayer mengumpulkan Suicide Squad untuk melawan Enchantress, maka Sabda Armandio mengumpulkan para pahlawan antihero untuk membobol toko emas.
24 Jam Bersama Gaspar disambut kata pengantar dari Arthur Harahap, orang asing yang akan kita tahu perannya nanti sewaktu membaca, yang katanya sering disisipkan Dio—panggilan akrab penulis—di cerita-ceritanya. Arthur sudah memperingatkan kalau cerita di buku ini akan janggal, mulai dari kota yang sudah tenggelam, alat transportasi yang sulit dibayangkan sampai beberapa istilah kuno dan primitif. Namun, Arthur juga memberikan bocoran cerita, tentang definisi baik dan buruk dan perkara moral, bahwa jangan percaya kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan, sebab akan membuat kita tumpul dan zalim.
Tim Gaspar Bobol Toko Emas
Mulanya, Gaspar ingin mencari cincin kawin untuk temannya, tapi niatnya berubah ketika dia melihat kotak hitam seukuran kardus telepon milik Wan Ali, yang katanya kita bisa memiliki apa saja dengan kotak tersebut. Gaspar sangat penasaran dengan isi kotak hitam tersebut, dia pun mulai menyelidiki Wan Ali lewat orang di sekitarnya dan dalam dua puluh empat jam ingin merampok toko emasnya. Sisa waktu digunakan Gaspar untuk mengumpulkan beberapa orang yang bisa membantunya mengambil kotak hitam tersebut. Dimulailah petualangan Gaspar sebagai detektif partikelir untuk menyingkap rahasia kotak hitam.
Bersama Cortazar, Binter Merzy keluaran 1976, motor Gaspar yang tidak pernah mematuhi aturan, berjalan sesuai kehendaknya sendiri, mendatangi satu-persatu target sekutu. Pertama adalah pertemuan tanpa segaja dengan seorang perempuan yang niatnya mau dia tolong malah ditolong balik di sebuah bar pemuja Brad Pitt, Gaspar memberinya nama Agnes, yang memiliki nama asli Afif, penyuka adrenalin dan penggemar berat Budi Alazon.
Kedua, Tati S. Abdillah, nenek berusia 80 tahun yang dijumpai Gaspar dan Agnes dalam perjalanan, menunggu suaminya pulang untuk memasang bohlam lampu kamar mandi, Gaspar –yang didesak Agnes kalau waktu sudah mepet, malah datang membantu. Bu Tati ternyata kakak ipar Wan Ali, dan dia bergabung karena tidak menyukai Wan Ali yang terlalu pelit dan ingin Gaspar mencari suaminya. Selanjutnya dia memakai nama alias Pingi.
Kemudian Yadi, anak dari Bu Tati atau biasa dipanggil Pongo oleh Gaspar, yang bersedia bergabung karena takut diceraikan istrinya. Pongo disinyalir mengenal betul seluk-beluk toko Wan Ali. Pongo bertugas menggandakan kunci dan mendiamkan ibunya.
Kik, seorang guru Bahasa Inggris dan mantan atlet sepak takraw, mantan teman SMA dan mantan pacar Gaspar, kemampuannya dinilai bisa melawan Wan Ali. Terakhir Njet, mekanik langganan Gaspar, dokter spesialis Cortazar dan teman merakit senjata-senjata steampunk. Setelah putus dari Kik, Gaspar menyarankan agar Kik pacaran dengan Njet.
Bersama Cortazar, Agnes, Pingi, Pongo, Kik, dan Njet, Gaspar akan merampok toko emas kurang dari dua puluh empat jam, sebuah peristiwa yang nantinya terkenal dengan ‘Peristiwa 4 Maret’.
“Cerita detektif cenderung menyederhanakan definisi baik dan jahat; bahwa di suatu tempat di kota yang penuh orang jahat masih tersimpan kebaikan; bahwa kebenaran selalu hanya ada satu. Dulu tentu aku belum berpikir sejauh itu. Novel Arthur Harahap, menurut Babaji, member kita arti baru bagi profesi detektif; ia tidak harus selalu menegakkan kebenaran atau berurusan dengan hal-hal besar atau menghakimi penjahat; ia hanya pencari informasi, pengulit rahasia.” – Gaspar.
Ruwet tapi Gereget
Lewat dua plot cerita yang tampak dari permukaan tidak ada hubungan, plot pertama disajikan lewat sudut pandang orang pertama dengan Gaspar sebagai narator dan plot kedua, yang berada di akhir bab setelah plot pertama, berisi rekaman percakapan seorang polisi dan saksi yang cukup menguras kesabaran.
Sebenarnya keduanya memiliki benang merah yang kuat, ada dalam satu lingkaran yang memiliki jalan berkelok-kelok. Bahkan interogasi dalam plot kedua adalah kunci melepaskan diri dari kebingungan membaca Gaspar. Laiknya detektif, pembaca disuruh mengurai keruwetan cerita yang memiliki alur maju mundur ini.
Mungkin keruwetan inilah yang membawa 24 Jam Bersama Gaspar sebagai Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun lalu dan baru-baru ini menyabet kategori buku fiksi terfavorit dalam ajang Anugerah Pembaca Indonesia 2017. Bahwa di balik gaya bercerita Dio yang tak biasa, terselip banyak pesan dan sindiran akan isu sosial lewat dialog dan karakter para tokohnya yang absurd bin nyeleneh. Kelebihan buku ini memang terletak pada karakter dan dialog yang mendominasi cerita.
Misalkan saja kenyataan bahwa anak muda sering kali tidak sabar dan tidak memedulikan orang lain, ditampilkan ketika Gaspar lebih memilih menunda rencana dan membantu nenek tua memasang bohlam lampu. Kemudian pada bagian Gaspar membutuhkan Pongo dengan alasan kalau dia membutuhkan orang dalam untuk melancarkan aksinya, bahwa segala sesuatu di negeri ini lebih mudah kalau punya orang dalam, merupakan cerminan keseharian kita, baik di dunia kerja atau politik. Lalu isu agama yang selalu dijadikan pembenaran dan tema yang cukup berat, pedofilia.
Dalam dialog lainnya, Dio juga menyelipkan guyonan ringan yang menyindir keseharian kita, seperti mahalnya pesta pernikahan yang hanya dilakukan dalam sehari saja, perbedaan keyakinan yang bisa membuat orang berpisah, menilai sifat seseorang dari zodiaknya, pacar yang marah ketika sms-nya tidak dibalas, sampai pesan moral dilarang merokok ketika mengendarai sepeda motor karena dapat mencelakai orang lain.
“Ah, ayolah. Tak seorang pun berpikir mereka adalah orang jahat,” kataku. “Orang-orang baik melakukan hal jahat dan beralasan apa yang dia lakukan demi kebaikan. Kita selalu menemukan pembenaran terhadap apa pun.” – Gaspar.
Yang paling utama dari buku ini adalah konsep baik dan jahat. Gaspar boleh saja dibilang penjahat karena niatnya ingin merampok toko emas, dia bahkan mengakui kalau dirinya kejam, mimpi buruk bagi anak-anak. Namun, Gaspar juga suka menolong, setia kawan, bahkan dia tak akan segan-segan menghancurkan musuh kawannya. Sedangkan Wan Ali merasa benar dengan apa yang dia lakukan, bukan merupakan tindak kejahatan.
Setiap orang merasa apa yang dilakukan baik untuk dirinya sendiri, tanpa memikirkan dampak bagi orang lain. Bahwa apa yang kita lakukan berasa benar, bisa jadi suatu tindak kejahatan bagi orang lain. Kebaikan dan kejahatan bisa memiliki arti yang berbeda, tergantung kacamata yang melihat.
“Rahasia, Teman-temanku yang baik, semacam monster di dalam kepalamu; cepat atau lambat dia akan memakanmu hidup-hidup. Jadi, sebaiknya dibongkar saja. Membongkar rahasia adalah pekerjaan detektif.” – Gaspar.
Kotak Hitam Gaspar
Arthur Harahap menyebutkan latar buku ini adalah kota yang tidak mungkin bisa kita temukan lagi, tapi apa yang dialami Gaspar akan selalu ada baik di masa sekarang maupun masa depan—di mana saja. Transportasi yang tidak lazim memang terkesan jadul. Tapi tenang saja, lewat ilustrasi apik karya Radityo Wicaksono, kita akan dengan mudah membayangkan seperti apa Cortazar, nama yang terispirasi dari sastrawan asal Argentina, Julio Cortazar.
Sedangkan istilah kuno dan primitif menurut saya merujuk pada generasi 90-an dan kesukaan penulis, seperti penyanyi, majalah, film, buku serial detektif, gim yang ada kala itu. Anak muda zaman sekarang mungkin cukup asing dengan nama-nama tersebut.
Gaspar memang satir, aneh, menyentil banyak hal, juga penuh dialog tak tentu arah yang kadang akan membuat kita tersenyum. Misalkan pada bagian nada dering ponsel Gaspar yang mengalunkan lagu “Hymne Pramuka”, ya, seabsurd itu. Namun, ada pula kesepian dan kesedihan yang Gaspar selipkan pada kisah konyolnya ini, bahwa setiap orang juga memiliki kotak hitamnya masing-masing, kotak hitam yang berharga dan penuh kenangan. Yang bisa saja kita dapatkan dari melakukan kejahatan atau kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*