Pages

Jumat, 13 Oktober 2017

Kacamata Seorang Pembaca


Saya hobi menimbun, sejak kecil saya selalu menyimpan barang koleksi saya seperti menyimpan harta karun, sesuatu yang berharga dan harus dilindungi. Bahkan di usia saya yang dewasa muda ini *uhuk, saya masih memiliki jepit rambut dari jaman saya SD. Namun, lambat laun ketika saya semakin dewasa saya harus realistis, saya harus merelakan. Misalkan saja berbagai koleksi tentang Sailormoon, dulu saya punya berbagai poster yang menempel di diding. Ketika ayah saya mulai melarang apa pun yang menempel di tembok dan harus dicat ulang, saya terpaksa mencopot dan setelah itu bingung mau saya apakan. Tidak ada lagi anak kuliah yang diding kamarnya penuh dengan berbagai macam poster idola dan berbagai barang yang tidak bermanfaat lagi bagi orang dewasa. Saya belajar merelakan, saya pilah mana yang masih bisa saya gunakan.

Pun dengan koleksi buku saya, saya sering kali curcol ketika saya ada di masa muak dengan koleksi saya karena tidak bisa segera dibaca, apalagi direview, bahkan saya sampai menanyakan ke diri sendiri apakah benar ini yang saya mau? Saya pun mengambil jeda, saya mengalami reading slumps cukup parah dan melampiaskan ke drama Korea, masa di mana saya mulai kecanduan lagi dan semakin jarang membaca. Waktu itu saya seperti mesin yang harus dituntut melakukan pekerjaan tanpa kenal lelah, sampai akhirnya kehilangan kendali, rusak.

Saya menjadi seorang blogger buku sudah tujuh tahun lebih, sejak awal saya kuliah. Saya rajin membaca kemudian menuliskan resensinya karena saya menyukainya, dan berharap saya tidak akan pernah jera. Tujuan awal saya membuat blog adalah untuk menyimpan memori apa yang sudah saya baca dan alami bersama dengan buku-buku yang pernah saya sentuh. Setelah alasan pribadi tersebut, syukur-syukur apa yang saya tulis bermanfaat buat pembaca yang lain, bisa menjadi sumber informasi dan referensi. Dan bonus dari apa yang saya lakukan adalah mendapatkan tawaran meresensi atau host blog tour untuk mempromosikan buku terbaru.

Baca juga: 10 Alasan Kenapa Menulis Resensi Itu Susahnya Amit-Amit

Saya senang, saya bisa berkenalan dengan banyak penulis yang sebelumnya belum pernah saya cicipi tulisannya, menemukan penulis baru favorit di mana karya selanjutnya akan saya nantikan. Saya tidak pernah meminta buku gratis, saya tidak pernah mengemis, itu prinsip saya dari dulu, saya hanya menyambut tawaran karena saya tahu meminta buku gratis kepada penulis adalah salah satu hal yang menyakitkan. Dari berbagai tawaran tersebut koleksi buku saya semakin bertambah, mulai dari hasil beli sendiri, dari ikut kuis buku sampai dari host blog tour. Bahkan saya sampai merelakan tidak membaca buku yang saya beli sendiri karena saya mengutamakan buku untuk blog tour atau permintaan penulis maupun penerbit. Saya meluangkan waktu untuk meresensi, mempromosikan di media sosial, mengadakan giveaway yang kadang ongkirnya saya tanggung sendiri.

Sampai pertahanan saya jebol, saya keteteran, saya tidak bisa membagi waktu, saya melakukan berbagai kesalahan, dari buku yang belum terbaca saat blog tour dimulai, sampai ada tidak terbaca sampai sekarang. Akhirnya saya menarik diri dan lebih selektif dalam menerima tawaran, ya, saya mulai lelah, saya mulai tidak menyukai apa yang saya lakukan karena bukannya membuat saya bahagia saya menjadi tertekan karena banyaknya tanggung jawab yang harus saya penuhi, dan saya harus melakukan perubahan besar agar tidak semakin parah. Tentu saja hal ini berdampak pada 'pemasukan' koleksi saya, ada yang tidak mengajak kerjasama lagi, dan mungkin ada yang tidak menyukai saya. Tidak mengapa, karena dari awal tujuan saya meresensi dan membuat blog bukan untuk mendapatkan buku gratis.

Baca juga: Goals

Setelah bertahun-tahun sejak awal mula saya menyukai kegiatan membaca dan mengoleksi buku, saya berani untuk melepaskan. Sama halnya ketika saya harus melepaskan berbagai macam koleksi kesayangan saya dari kecil, saya memilah buku yang sudah selesai saya baca dan resensi, buku dari timbunan yang tidak ingin saya baca lagi untuk dijual, untuk dibelikan buku baru yang membuat saya tertarik untuk membacanya, saya memilih fokus akan kebahagiaan saya terlebih dahulu, membaca buku yang memang ingin saya baca. Ya, saya memikirkan menjual koleksi buku saya selama bertahun-tahun, baru akhir-akhir ini saya berani menjualnya karena saya selalu tidak pernah tega, selalu maju mundur, karena semua buku yang saya dapatkan penuh kenangan.

Kemudian saya membaca berbagai review tentang Konmari, salah satu contoh resensi dari mbak Alvina bisa kalian baca, menonton berbagai macam video tentang praktik Konmari. Ditambah saya membaca postingan yang bagus sekali dari Annisa Steviani tentang Kehilangan dan Kuota Kepemilikan. Mungkin ini yang saya butuhkan, saya butuh bersih-bersih, saya butuh diri saya yang baru, penyegaran dari timbunan saya. Mungkin bisa dimulai dari koleksi baru, bacaan baru. Dari yang awalnya hanya menjual beberapa tanpa sentuhan sentimentil, saya melakukan langkah besar dan berbahaya, saya berani menjual buku pemberian penulis maupun penerbit, bahkan ada tanda tangan dari pemberi. Sesuai apa yang saya pahami setelah mempelajari teknik Konmari, saya mematikan perasaan.

Sejak awal saya tahu langkah yang saya ambil akan menyakitkan, baik bagi diri saya sendiri maupun si pemberi, saya juga beranggapan pasti tidak menghargai pemberian orang lain, seakan tidak berharga, itu alasan utama kenapa tidak dari dulu saya menjualnya. Saya mengumpulkan semua koleksi saya, saya memilahnya, mana yang masih membuat saya bahagia, yang membuat saya akan membaca ulang suatu hari nanti, mana yang biasa saja dan tidak ingin saya baca ulang, yang lebih baik diadopsi oleh pembaca yang lain, yang lebih menginginkannya. Tentu yang saya jual sudah saya baca dan resensi, saya sudah melakukan kewajiban saya sebagai host blog tour.
Puncaknya kemarin, saya tiba-tiba dimention beberapa orang dan menyudutkan saya karena menjual buku-buku pemberian dari blog tour karena buku seorang penulis yang merupakan teman mereka ada di lapak @kutu_bokek (ya, silakan dikunjungi), mereka beramai-ramai merundung saya. Saya tidak masalah bila mereka langsung menyampaikan kekecewaan kepada saya, saya akui dari awal saya memang salah, saya punya alasan sendiri kenapa sampai saya melakukan hal tersebut. Yang membuat saya marah, sedih, dan sangat kecewa adalah mereka membawa nama penulis lain yang tidak tahu menahu, bahkan sempat melaporkan kepada editor yang sering memberi saya buku gratis. Sama halnya menabur garam di luka yang mengangah, selain diminta buku gratisan, hal yang menyakitkan bagi penulis adalah mendapati bukunya dijual di obralan.

Kenapa menjualnya dengan harga murah? Ya karena saya dapatnya gratisan, selain itu juga merupakan buku seken, saya tidak tega menjual dengan harga mahal, tujuan saya bukan untuk menjadi kaya raya dengan menjual buku seken. Selain itu prinsip saya ketika membeli buku bekas adalah tidak lebih dari 25k. Tidak semua orang bisa membeli buku dengan semaunya, kadang harus menyisakan uang jajan, daripada membeli buku bajakan saya sering menyarankan untuk membeli buku bekas atau membaca ebook secara legal. Kenapa tiak menyumbangkannya? Tidak disuruh pun sebagain juga saya sumbangkan. Saya menjual buku untuk membeli buku lagi, yang memang ingin saya baca, yang kemudian bisa saya jual lagi dengan harga terjangkau kepada yang menginginkannya, begitu seterusnya. Daripada saya meminta-minta penulis agar mendapatkan buku gratis atau membaca buku bajakan, saya lebih memilih menjual koleksi lama saya untuk dibelikan yang baru. 

Saya tahu banyak yang tidak sependapat dengan saya, yang mulai membenci saya, saya terima, tiap pembaca memiliki kacamata masing-masing, memiliki pandangan yang berbeda. Baru kali ini saya diperlakukan secara tidak menyenangkan oleh orang lain, tidak mengapa, saya tahu dari awal saya salah. Saya mohon maaf kepada semua pihak yang pernah bekerjasama dan merasa tersakiti. Saya bahkan sempat sedih sekali, kepikiran bahkan tidak selesai-selesai membaca satu bab buku yang sedang saya baca. Terima kasih sekali kepada teman-teman BBI Joglosemar yang sudah menyokong saya sampai tidak terjatuh, terima kasih kepada koh Andry atas saran dan masukan, terlebih pandangannya yang luas, saya sangat terbantu dengan petuahnya.

Sekali lagi mohon maaf, apa pun masalah yang saya hadapi, saya ingin terus membaca dan menulis resensi, karena itu hal yang saya suka, karena itu bagian dari diri saya.



23 komentar:

  1. Cakep, lis. Aku setuju kok. Bukumu ya hakmu mau diapakan.
    Kalo aku jadi penulis sih, aku lebih senang bukuku beredar dan dibaca orang lain, daripada numpuk menguning di satu rak hanya karena dasar sentimentil. Dijual murah pun tak mengapa, yang penting kan dibaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sama mba Dewi... Lebih baik bukunya dibaca banyak orang yang mungkin aja jadi pembaca setia karya si penulis selanjutnya. Semangat terus ya mba Sulis

      Hapus
  2. *peluuuk Sulis*
    Kutahu betapa beratnya kamu ambil keputusan ini. Dan betapa menerapkan teknik Konmari sering dipandang "keterlaluan teganya"..
    Aku juga sempat mandek & mempertanyakan ke diri sendiri apa tujuanku jadi blogger buku.. Kenapa aku seolah jadi seperti mesin & menjadi beban. Itu mengapa aku mundur sejenak.
    Timbunan nggak lagi bikin bahagia, sesak rasanya rumah seluas 4x5 m² dijejali tumpukan buku di mana². Ada saatnya aku bangun tidur & merasa rumah seperti gudang. Mimpi tentang perpustakaan pribadi itu nggak sesuai realita yang ada. Terlebih saat melihat anak² lelakiku... aku merasa ada buku yang nggak akan cocok jika kuwariskan pada mereka. Jadi buat apa aku kekeuh menimbun?
    Menyingkirkan itu sungguh berat. Aku sampai menawarkan ke teman-teman yang punya kafe untuk kuberi bukuku. Adakah space di tempat mereka untuk menampung buku²ku. Bukan karena nggak menghargai, bukan karena nggak mau menyimpan, tapi kupikir daripada cuma tersimpan tak terbaca lagi di rumah & dimakan rayap, lebih baik buku-buku itu tetap terbaca, tetap memberi kebahagiaan bagi pembaca-pembaca baru.
    Tetap semangat ya, Lis... Aku tetap menunggu review² kecemu... Muaaah 😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. *peluk balik*
      Yang penting kita bisa lega ya, g terbebani lagi :D

      Hapus
  3. samaan dong mbak kalo gitu. saya juga setelah baca bukunya Marie Kondo langsung bongkar rak beberes buku. hasilnya 2 kontainer plastik gedeee akan segera dilepas/dijual. termasuk yg dikasih orang juga saya lepas yang memang ga dibaca lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. *tosssss
      Semoga nanti bukunya bermanfaat bagi orang lain :D

      Hapus
  4. kamu dapat buku itu ga gratis lho lis, buku itu ditukar review, buku itu jadi milik kamu.. hak kamu kok mo diapain juga...
    mungkin yg kaget pas kamu jual buku orang2 yg belum bisa "melepaskan" koleksinya #peluks

    BalasHapus
    Balasan
    1. *peluk balik*
      Kadang itu yang nggak dilihat orang lain, mbak. Mereka tahunya cuma dapat gratis, padahal nulis resensi itu nggak mudah, ada waktu dan pikiran yang juga aku korbankan. Tapi gpp, buat pengalaman aja :D

      Hapus
    2. Setuju sama mbak Mute... memang ga gratis kok. Itu yg ga disadari oleh semua orang.

      Hapus
  5. Saya penggemar resensimu dan selalu menunggu membaca postingan blog ini. Saya juga termasuk yg pernah membeli buku dari kamu dan jujur saja saya merasa terbantu krn selisih biaya dengan buku baru bisa saya manfaatkan utk ongkir yg mahal ke Daerah saya.

    Tapi kita memang ga mungkin selalu menyenangkan semua orang kan..
    Semangat terus Sulis ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, senang bisa membantu, terima kasih, semangat juga buat kamu 😀

      Hapus
  6. Aku gak punya banyak buku, Mbak
    Tp kalau timbunan terlalu banyak emang sesak sih, apalagi gak kebaca. Kalaupun ada penulis yg baper krn bukunya dijual, itu jg wajar

    Kalau diaku memang mending jual atau dikasih org biar ada yg baca

    BalasHapus
  7. Sama, Sulis. Saya juga suka nggak tega melepaskan koleksi barang. Tapi memang kesel juga kalo liat udah numpuk nggak jelas. Akhirnya tutup mata, tutup hati sumbang atau jual murah.

    Kalau ada yang komplen karena kamu jual murah buku yang dikasih gratis, itu bukan salahmu. Itu hakmu sebagai pemilik. Pada akhirnya juga demi bisa membeli buku dan melakukan hobimu. Biar hepi, cuek saja hehehe...

    BalasHapus
  8. Halo Ka Sulis! Udah lama ga jalan2 kesini wkwkwkw karena aku juga lagi jenuh bgt nulis review
    aku juga punya pemikiran sama kaya mba sulis, malah ini aku juga mau jual setengah lemari karena aku ga tega aja karena udah gapernah aku baca huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih, kangen juga baca review teman-teman BBI yang sekarang jarang update :p

      Aku yakin, semua punya masa kadaluwarsa, dan mungkin yang nggak suka aku ngejual buku, khususnya pemberian, mungkin bertahun-tahun kemudian mereka akan memahami, setelah merasakan perasaan yang sama.

      Hapus
  9. Cakepp!!!
    Ai lav yu ibu peri...
    Suka banget sama statement ini!
    Daripada kita minta2 kan yah kak.
    Dan, ya itu haknya kakak mau apain itu buku. Nggak masalah.
    Abaikan aja kak orng mau apa. Sebodo...
    Dunia bookstagram lagi banyak drama receh sekarang wkwk.
    Yang penting kak Sulis tetap semangat dan nggak ngelakuin hal2 yg tidak wajar. Toh rejeki kan nggak kemana kan kak? 😗

    Sometimes, aku juga kurang sreg sama beberapa buku yang dikasih. Dan sempat bingung mau review apa. Tapi lebih baik aku berpendapat jujur kan daripada reviewku bagus bagus mulu tapi sebenarnya gak bagus. Wkwkwk

    Tetap semangat ka sulis. Abaikan ocehan2 tidak menyenangkan dibelakangmu. Dibalik orang2 yg nggak suka sama kakak, masih banyak kok orang yang peduli dan sayang.

    Semangat!!😗

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahaha, aku baru tahu kalau lagi banyak drama receh di instagram, mau dong dibisikin #loh.

      Awalnya sih sempet sedih ya, lebih ke kesel, tapi untungnya banyak teman-teman yang mendukung jadi bisa tetap kuat, hehehe. Terima kasih atas semangatnya :*

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*