Pages

Sabtu, 06 Agustus 2016

Resensi: Starlight Karya Dya Ragil

Judul buku: Starlight
Penulis: Dya Ragil
Desain sampul: Orkha Creative
Profreader: Abduraafi Andrian
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-2753-2
Cetakan pertama, 28 April 2016
264 halaman
Buntelan dari @SCOOPToday
Bakal kusedot semua cahaya dari bintang-bintang yang kelewat dekat. Hati-hati, bisa aja kamu salah satunya.

Gimana rasanya satu kelompok belajar sama murid-murid berbeda kepribadian? Harusnya sih seru, tapi Wulan merasa kebalikannya. Dia bete mesti sekelompok sama Lintang—saudara kembarnya yang lebih disayang sang ayah, Bagas si genius bermulut besar, Nindi yang galak dan dingin, juga Teguh si biang onar. Hubungan kelimanya makin kacau waktu sekolah mengadakan seleksi perwakilan untuk olimpiade sains.

Di tengah persiapan olimpiade, Wulan harus menghadapi sang ayah yang selalu meragukan dirinya, mantan pacar yang kerap menindas saudaranya, juga mantan gebetan yang terus mengganggu konsentrasinya.

Akankah kehidupan SMA Wulan berjalan mulus? Atau dia gagal membuktikan kemampuannya?
"Nama kerennya, Big Bang."
"Itu salah satu teori asal usul alam semesta, bukan sembarang ledakan kayak yang kamu bayangkan," katanya lagi. "Dulunya alam semesta itu nol, nggak ada apa-apa. Terus ada ledakan besar, kemudian lahir materi-materi pembentuk benda langit, pelan-pelan mengembang sampai jadi alam semesta yang luas banget kayak sekarang. Kamu tahu apa artinya itu?"
"Apa?"
"Artinya, bahkan orang bodoh pun punya potensi," sindir anak laki-laki itu. "Yang awalnya nol besar pun bisa meledak jadi hebat kalau mau berusaha."
Bagi Wulan sebangku dengan Nindi, salah satu penghuni tiga besar di kelas tidak ada apa-apanya daripada tergabung dalam kelompok 6, yang bisa disebut juga dengan grup neraka. Kelompok belajar tersebut terdiri dari para predikat tiga besar (Bagas, Nindi, Lintang), satu trouble maker (Teguh), dan satu penggembira (Wulan). Tentu saja tidak mudah menyatukan pikiran yang pada mau menang sendiri, tidak perlu bertemu untuk mengerjakan presentasi, bila tidak ada yang ikut mengerjakan tugas maka namanya tidak akan dicantumkan, bahkan tidak ada yang mau jadi ketua kelompok, Wulan pun terpaksa turun tangan untuk mengatasi keegoisan teman-temannya tersebut.

Belum lagi dengan adanya Olimpiade Sains, Wulan ingin membuktikan kepada ayahnya kalau dia memiliki kemampuan seperti saudara kembarnya, Lintang, yang selalu diharapkan menjadi juara. Wulan lebih mencintai astronomi daripada Lintang, dan dia ingin bersaing secara sehat dan ikut membanggakan ayahnya, tapi ayahnya tidak pernah melihat Wulan, selalu tertuju pada Lintang. Tidak hanya berhadapan dengan saudaranya yang termasuk tiga besar di kelas, Wulan juga harus bersaing dengan Bagas yang mulutnya tidak pernah disaring dan sempat ditembaknya tapi dia langsung ditolak, Nindi yang dingin dan selalu mengutamakan belajar lebih dari apa pun, serta Wulan juga ingin mengembalikan persahabatan yang sudah hancur antara Lintang dan Teguh.

Berbagai tantangan dihadapi Wulan pada tahun terakhir SMA-nya, tentang meraih impian, mendapatkan kepercayaan dan kebanggaan dari ayahnya, menyatukan persahabatan yang retak, serta mendapatkan cinta yang sepertinya mustahil. Wulan tidak ingin menjadi yang terhebat, menjadi sesuatu yang bersinar indah sudah lebih dari cukup, seperti harapan pada namanya, Kartika Wulandari.
"Aku nggak pernah ngerendahin orang lain. Sejak awal mereka memang udah ada di bawahku. Orang yang ada di bawah selalu kelihatan kecil buat orang yang ada di atas, kan?"
"Tapi orang yang ada di atas juga selalu kelihatan kecil buat orang yang ada di bawah."
"Alasan selalu sederhana," tandas Lintang. "Yang jadi pembeda kan gimana kita bisa bikin hal sederhana itu jadi sesuatu yang nyata dan berarti besar."
"Sisi yang tidak terlihat sering kali lebih cantik dari yang biasanya terlihat."
"Kegagalan sekali nggak ngebuktiin apa pun. Kamu masih bisa melaju sejauh mungkin kalau mau bangkit." 
Sejak membaca karya debutnya, Sebelas, saya menanti-nantikan karya berikutnya dari seorang Dya Ragil. Buku pertamanya sukses membuat dia menjadi author autoread bagi saya, bukunya wajib dinantikan. Melalui buku keduanya ini, ciri khas penulis juga mulai tercetak jelas, selalu ada paket komplit pada tulisannya, selalu menyisipkan cerita yang berhubungan dengan passion, sibling, familyfriendship dan love. Penulis juga memberikan informasi menarik pendamping konflik utamanya, hal-hal yang pada dasarnya memang digandrungi penulis, kalau di buku pertama dia membahas sepak bola, maka di buku keduanya ini bidang astronomi menjadi primadona. Saya jadi penasaran apakah penulis juga akan mencoba memasukkan unsur thriller pada buku berikutnya, melihat Detective Conan dan Sherlock Holmes menjadi favoritnya juga.

Kelebihan yang saya temukan pada karya debutnya masih saya rasakan pada buku Starlight ini, misalkan saja dalam memberikan nyawa pada para tokohnya sehingga ceritanya pun menjadi hidup. Wulan yang tidak pernah berprestasi sebenarnya memiliki potensi besar, Lintang tahu hal tersebut, dia hanya perlu pancingan untuk mengeluarkan kelebihannya, misalkan saja lewat olimpiade sains. Lintang sendiri kesalahannya di masa lalu membuatnya menarik diri, terlebih pada Teguh. Belum lagi tuntutan dari ayahnya agar dia selalu berprestasi terlebih dalam bidang fisika, membuatnya terbebani, padahal bukan hal tersebut yang menjadi impiannya. Teguh menjadi tukang onar karena sakit hati dan pengkhianatan yang pernah dia alami, tentang masalah keluarga yang tidak ingin orang lain tahu.

Nindi berasal dari keluarga biasa yang yakin dengan mendapatkan nilai baik dan berprestasi akan memudahkannya di masa depan nanti, sedangkan Bagas yang selalu sinis dan omongannya selalu menyakitkan hati sebenarnya tidak seburuk yang terlihat. Semua karakter di buku ini terasa manusiawi dengan permasalahan yang dihadapi. Saya juga menyukai peran guru yang seharusnya dilakukan seperti Bu Ayu atau dalam realitas banyak seperti Pak Hadi. Bahwa sering kali guru tidak adil pada muridnya, selalu menganggap remeh atau tidak peduli pada murid peringkat bawah, padahal seharusnya merekalah yang harus diperhatikan, bukannya diabaikan, dianggap sampah dan tidak pantas masuk sekolah. Atau ketika datang ke sekolah dengan muka babak belur, selalu dianggap habis berkelahi atau tawuran, padahal tidak akan pernah tahu kalau tidak bertanya bahkan menyelidiki langsung, selalu berspekulasi negatif.
"Tugas wali kelas itu untuk selalu ada di sisi anak-anak didiknya tanpa pilih kasih, tanpa satu orang pun disingkirkan, kan?"
"Sekolah itu seperti masyarakat kecil. Selain urusan nilai-nilai berwujud angka, kamu juga bisa belajar bersosialisasi. Punya teman, misalnya."
Saya juga menyukai hubungan para tokohnya, Wulan dan Lintang yang saling mengerti dan menyayangi tanpa perlu berkata-kata, Lintang yang ingin sekali rujuk dengan Teguh, sampai ayah Wulan dan Lintang yang sepertinya pilih kasih sebenarnya tahu dengan pasti apa yang seharusnya dia lakukan, layaknya seorang orangtua yang kenyang akan pengalaman, kadang pilihannya tidak selalu disukai para anak padahal bertujuan baik dan semata-mata untuk diri mereka. Untuk kisah cintanya, sama seperti buku pertama penulis, bukan kisah cinta yang menjadi sorotan sehingga tidak akan banyak dibahas, memang ada, tapi hanya sebagai bumbu penyedap saja. Misalkan adegan di bawah ini, penulis memiliki cara yang tidak romantis tapi terasa manis.
"Kalau kamu udah nggak ada perasaan apa-apa lagi buat Bagas, itu bagus. Jadi, semuanya selesai. Kalau udah selesai, apa pun bisa dimulai lagi dari awal."
"Maksudmu?"
Teguh berhenti lalu memutar badan penuh menghadapi Wulan. Tanpa bisa diduga, cowok itu tersenyum. "Aku bakal bikin kamu jadi urusanku lagi."
Kelebihan lain yang dimiliki penulis adalah dalam menjadi cerita, menyisipkan informasi tanpa terasa dipaksakan, menularkan apa yang dirasakan para tokohnya kepada pembaca. Bahasa yang digunakan biasa saja, menggunakan bahasa sehari-hari, tapi pesan dan makna dalam tiap kalimat terasa jelas dan membekas. Misalkan saja dalam menyisipkan informasi tentang astronomi, bagian yang asing dan terasa susah lebih mudah dimengerti tanpa bermaksud menggurui, menggunakan bahasa sederhana namun bermakna. Banyak sekali adegan favorit saya di buku ini yang berhubungan dengan astronomi, misalkan saja seperti di bawah ini.
"Bahkan seseorang yang selalu dalam kondisi sebelum Big Bang pun bisa berbuat sesuatu."
"Big Bang? Kamu itu black hole."
 "Ya bagus. Bakal kusedot semua cahaya dari bintang-bintang yang kelewat dekat. Hati-hati, bisa aja kamu salah satunya."
"Itu tantangan?"
"Iya. Kamu mau ambil bidang apa? Aku bakal ngambil bidang itu juga lalu jatuhin kamu dari posisi atas."
"Lihat langit malam rasanya nyebelin."
"Kenapa?"
"Di sana isinya masa lalu semua. Lihat aja Proxima Centauri. Itu bintang paling dekat dengan bumi setelah matahari. Tapi jaraknya aja 4,2 tahun cahaya. Artinya, Proxima Centauri yang kita lihat sekarang kan sebenarnya Proxima Centauri 4,2 tahun lalu."
Wulan tergelak. "Sejak kapan kamu jadi mellow? Bilang aja kamu jadi teringat masa lalu."
"Bukan teringat. Aku memang nggak bakal pernah lupa. Kesalahan masa lalu memang nggak seharusnya dilupain, kan? Itu sesuatu yang harus terus diingat sebagai pelajaran biar nggak ngelakuin kesalahan sama dua kali."
"Lan, kamu tahu kenapa kalau di bulan, sekali kita menginjakkan kaki, jejak kaki kita nggak akan pernah hilang selamanya?"
"Kenapa?"
"Karena bulan nggak punya atmosfer, makanya rapuh, nggak ada tameng kalau ada benturan dari luar. Nggak akan ada udara, angin, atau materi yang bisa menghapus jejak kaki itu. Makanya kawah di bulan ada banyak, kan?"
"Terus?"
Lintang tersenyum getir. "Itu sama kayak pertemananku sama Teguh, rapuh dan nggak punya tameng. Cuma satu kesalahan, dan itu membekas selamanya. Sekali keadaan udah berubah rusak, nggak bakal pernah balik kayak semula."
"Kamu tahu tipe teleskop luar angkasa kayak teleskop Hubble yang ukurannya sebesar bus? Itu tipe teleskop yang bisa nangkep gambar benda langit yang nggak bisa dilihat dari teleskop refraktor biasa. Teleskop Hubble pernah mengamati orbit Sirius yang kelihatannya aneh, kayak terhalang sesuatu. Berkelok-kelok gitu gerakannya. Bahkan intensitas cahayanya kadang meredup. Setelah diselidiki lebih jauh, baru ketahuan kalau Sirius itu punya kembaran. Yang namanya bintang kembar kan selalu mengitari satu sama lain. Waktu Sirius B kebetulan lewat di depan Sirius A, intensitas cahaya Sirius A meredup gara-gara ketutup Sirius B, kan?"
"Terus? Maksudmu apa?"
"Maksudku, butuh teleskop sekaliber teleskop Hubble buat bisa lihat bintang yang nggak akan kelihatan dengan teleskop biasa. Kalau Sirius B nggak terlihat, itu cuma karena kualitas teleskopnya yang jelek, bukan karena Sirius B itu nggak ada."
Wulan kembali tersenyum. "Jadi, cuma orang hebat yang bisa nyadar potensiku?"
Lintang mengangguk mantap. "Iya, orang hebat itu ada di depanmu sekarang."
Sedikit kekurangan tentang buku ini adalah ada bagian yang saya harapkan dijelaskan lebih detail lagi oleh penulis tapi sayangnya tidak terjadi, yaitu latar belakang keluarga Teguh. Setidaknya semua permasalahan yang dihadapi para tokohnya terselesaikan dengan cukup memuaskan. Walau lebih menyukai karya debut penulis, buku ini bukan berarti jelek, sangat baik malah untuk kategori teenlit. Tulisan seperti inilah yang membuat saya yang sebenarnya bukan pasar novel teenlit lagi tetap bisa menikmatinya, tulisan yang ringan tapi berpesan banyak. Saya yakin Dya Ragil memiliki potensi besar dalam hal menulis, dia sudah memiliki modal yang lebih dari cukup, saya akan selalu menantikan karya selanjutnya.

Buku ini tidak hanya saya rekomendasikan untuk para remaja, siapa pun bisa menikmati, entah itu orangtua, orang dewasa, para guru, dsb. Banyak pesan yang ingin disampaikan penulis lewat buku ini, salah satu teenlit yang tidak boleh dilewatkan dan wajib dibaca.

4.5 sayap untuk ilmu astronominya.


NB:
Terima kasih kepada Scoop dan penerbit Gramedia yang telah memberi kesempatan kepada saya dalam pengalaman membaca melalui format digital. Buku Starlight bisa pembaca lain dapatkan di Scoop dengan harga yang terjangkau, selain itu membaca melalui format digital ternyata seru dan tidak seribet yang saya perkirakan. Kalian bisa mendapatkan aplikasi Scoop di ponsel pintar kalian, tidak hanya buku tapi banyak juga majalah dan koran yang bisa dinikmati. Selamat mencoba :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*