Pages

Jumat, 12 Februari 2016

Resensi: Forgiven Karya Morra Quatro

Judul buku: Forgiven
Penulis: Morra Quatro
Editor: Kinanti Atmarandy
Desainer cover: Jeffri Fernando
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-432-1
Cetakan kedua, 2010
266 halaman, hardcover
Buntelan dari @GagasMedia
DIALAH YANG PERTAMA.

Maniak Fisika. Pengagum Albert Einstein. Setia kawan. Si iseng dan suka usil, kalau sisi kekanak-kanakannya sedang kumat. Karla bisa menyebutkan sederet lagi hal unik tentang Will. Betapa tidak, selama bertahun-tahun, laki-laki itu adalah sahabat terbaiknya. Dan bagi Will, dia adalah tempat berbagi rahasia dan mimpi-mimpi yang tak sembarang orang tahu. Namun, siapa sangka, ternyata itu tak cukup untuk membuatnya merasa mengenal laki-laki itu.

DIALAH SATU-SATUNYA.

Takada yang bisa menggantikan Will. Ke mana pun dia pergi, dengan siapa pun diaakrab, Will tetap yang paling spesial. Seperti bintang Polaris yang selalu berada di utara Bumi, demikianlah keberadaan Will di hati Karla. Selamanya.

DIA, YANG TAK TERLUPAKAN.

Kepergian Will tak ubahnya bagaikan El Nino—memporakporandakan hati Karla habis-habisan.Jarak membuat rindu Karla merajalela. Dia kehilangan bagian terbaik dalam hidupnya. Tapi perasaan kehilangan itu tak seberapa dibanding rasa kaget saat mendengar berita buruk tentang Will. Karla mendengarkan suara hatinya sekali ini—dia tak akan membiarkan Will menghadapi semua itu seorang diri....

FORGIVEN, sebuah kisah tentang lelaki pemuja Champagne Supernova dan perempuan yang selalu menanti bintang itu.
Saya membaca Forgiven pertamakali pada tahun 2011, entah pastinya kapan, yang jelas saat itulah saya membaca karya debut dari Morra Quatro ini, karya perdana yang membuat saya selalu menantikan buku terbarunya, yang menjadikan dia ada di deretan author autobuy. Di tahun 2016 ini, masih saja saya merasakan perasaan yang sama ketika pertamakali membaca, kembang kempis, bikin sesak napas, bikin nangis megep-megep, book hangover selama beberapa hari. Buku di mana memiliki tokoh yang tidak akan terlupakan, sosok jenius, pecinta fisika, memiliki impian tentang nuklir, William Hakim.

Cerita diawali ketika Karla mengunjungi Will di sebuah penjara yang terletak di Massachusetts, Boston. Karla dan Will bersahabat selama SMA, Will menjadi satu-satunya orang yang mengerti Karla, tapi ada masa ketika mereka tidak lagi akur, masa di mana Karla membenci Will, di kesempatan tersebut Karla bertemu kembali dengan Will setelah memiliki kehidupan masing-masing. Kemudian cerita berputar ulang ke masa sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, masa di mana mereka semua bahagia.
"Listrik arus lemah menghasilkan energi panas pada benda dengan kandungan air. Seperti tubuh kita. Aku pernah memikirkan besar energinya kalau itu gelombang arus kuat. Mungkin, rasanya, a little like -jantungmu menghentak keras ke kepala. Seluruh ion dalam tubuhmu bertubrukan sedemikian rupa hingga kamu merasa tercekik, sesak, karena tidak bisa bernapas. Mungkin ini akan berlangsung selama sepuluh menit, saat asam-asam dalam tubuhmu bereaksi keluar. Selama proses ini kamu masih mampu berpikir apakah kamu masih hidup. Kamu pernah benar-benar melihat orang yang mati di arus kursi listrik itu, La?"
Karla bukan anak terpandai di sekolah, dia selalu dipercaya menjadi ketua kelas dan beberapa kali menjuarai PORSENI dalam bidang sprint, begitu pula dengan Will, dia cerdas tapi tidak pernah menjadi juara kelas. Will sangat mengagumi kakaknya, Nicolas Hakim, di mana menjadi legenda di sekolah karena pernah menjuarai olimpiade fisika dan sekarang mendapat beasiswa di MIT, salah satu kampus di Amerika yang sangat terkenal dengan orang-orang berotak kiri. Walau perempuan, Karla tidak pernah mempunyai sahabat sesama jenis, dia malah menjadi salah satu anggota geng yang beranggotakan enam orang, selain Karla ada Alfan pacarnya, kemudian Will, Laut, Wahyu dan Robby. Alasan mereka bersahabat sangat sederhana, rumah mereka berdekatan dan satu arah, mereka selalu bersepeda bersama ke sekolah.

Menjadi salah satu perempuan kadang membuat posisi Karla tersisih, ada beberapa rahasia antar lelaki yang tidak boleh dia ketahui, salah satunya menjadi masalah besar di sekolah, dan mau tidak mau Karla harus ikut andil membereskannya. Waktu itu Robby ketahuan melakukan perbuatan yang dilarang keras di sekolah, menyebabkan dia dipukul oleh salah satu guru. Teman satu geng tidak terima dan berniat membalas dendam, segala rencana telah dibuat, Will yang mengusulkan ide tersebut. Namun, sewaktu menjalankan aksi balas dendam, ada salah satu yang berkhianat, membuat perbuatan mereka gagal dan ketahuan. Demi melindungi yang lain, khususnya Will yang akan dikirim ke olimpiade Fisika internasional di Brussel, Karla menelan semua hukuman, dia kena skors selama lima belas hari, ditambah tidak boleh keluar rumah dan bertemu dengan siapa pun, terlebih teman satu geng oleh ibunya. Sejak insiden tersebut, persahabatan antara mereka mulai merenggang.

Orangtua Karla sudah bercerai, insiden kena skors membuat ibu Karla berbicara dengan mantan suaminya dan memutuskan selepas SMA Karla akan ikut ayahnya beberapa saat di Singapura sebelum melanjutkan kuliah di Amerika. Kenyataan tersebut tentu membuat Karla bersedih harus berpisah dengan sahabatnya tapi dia tidak mempunyai pilihan lain, setidaknya dia akan bertemu dengan Will karena lelaki tersebut berniat mencari beasiswa dan ingin mengikuti jejak kakaknya, mereka akan sama-sama berada di Amerika. Namun, keadaan sedikit di luar rencana, ketika Karla menemui Will sesuai dengan janji yang pernah mereka buat sebelumnya, Will menjadi pribadi yang sangat berbeda, dia terkesan tidak ingin bertemu dengan Karla lagi, Will tidak ingin memiliki hubungan lagi dengan Karla.
"Everyone makes mistake," desis Mama beberapa saat kemudian, membuatku tersadar. "But only a few could forgive. Padahal ada banyak kesalahan yang hanya perlu dimaafkan, bukan dihukum. An eye for an eye will make us blind."
"It is, K. It's fair. Kamu tau, Tuhan nggak menentukan nasib. Tuhan cuma memberi orang beberapa karakteristik, seperti elektron dan proton dan neutron dalam atom. Sisanya berjalan seperti hukum alam. Semua orang punya pilihan untuk menarik garis hidup mereka masing-masing."
"Tapi," katanya lagi, "Kita cuma dapat beberapa kesempatan seumur hidup -hanya beberapa kesempatan saja- yang bisa mengubah seluruh hidup kita. Sometimes we make bad choice."
Nyesek banget bacanya, yah, kadang hidup memang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, begitulah yang saya lihat dari kisah Karla dan Will ini. Saya menyukai semua adegan yang melibatkan Karla dan Will, tanpa kata-kata, hanya dengan perbuatan yang dapat kira rasakan di bagian narasi atau teknik show yang selalu Morra Quatro terapkan dalam tulisannya, saya dapat merasakan perasaan besar antara Karla dan Will. Saya bisa memahami kenapa Will memilih pergi dari kehidupan Karla, saya dapat memahami kenapa dia memilih menjalani hidup dengan orang lain yang tidak dia cintai, hatinya hanya untuk Karla, akan selalu untuknya. Hidup benar-benar tidak adil, huhuhu. Dan adegan di penjara adalah adegan yang sangat mengiris hati, terlebih ketika Karla membawa anak semata wayangnya, Troy. Will menggambar dan mengoceh tentang fisika terhadap Troy, benar-benar bikin hati remuk.

Penulis agak berlama-lama di bagian flashback, ketika Karla dan Will masih SMA, mungkin untuk membangun chemistry dan mengenalkan beberapa tokoh pendamping. Saya berharapnya cerita akan lebih banyak di Amerika, ketika mereka berpisah, ketika mereka saling merindu. Banyak karakter yang hanya disinggung sebentar, tapi setidaknya peran mereka jelas, terlebih Nicolas. Membaca buku ini pembaca akan disuguhkan dengan teori yang sering berseliweran di pelajaran eksak khususnya fisika, jadi kalau merasa sebagai anak jurusan IPA yang murtad kayak saya ini alias sama sekali nggak ngerti, iyain aja teorinya, hahaha. Setidaknya fisika sangat melekat pada pribadi Will, setiap dia membahas pelajaran yang menyerap nutrisi di otak kiri kita ini, dia terlihat sangat menyukai, sangat memahami, bahwa fisika memang benar-benar passionnya.

Membaca buku ini juga mengenalkan kepada pembaca akan kehidupan orang-orang yang berkuliah di luar negeri khususnya yang mengambil jurusan yang sama sekali tidak menarik bagi saya. Bagaimana orang-orang pintar membahas sesuatu yang mustahil saya kuasai. Menarik, saya yakin risetnya tidak sembarangan, bahkan di lembar persembahan penulis mengemukakan kalau profesor yang mengajar fisika dan mahasiswa yang mendapatkan nilai straight A's di kampus Amerika sungguh-sungguh ada. Selain itu ceritanya benar-benar tidak bisa ditebak, yang mulanya hanya sebatas sahabat jadi cinta yang diberi bumbu sains, siapa yang menyangka cerita akan bersinggungan dengan tragedi World Trade Center.

Buku ini menjadi salah satu karya debut yang cukup diperhitungkan, tidak semua penulis bisa menulis sebaik Morra Quatro di karya perdananya. Karyanya selalu unik, sangat oldies, dan saya berharap tidak ada tokoh yang mati di buku selanjutnya, plissss, bikin sesuatu yang pembaca bahagia ketika menutup lembar terakhir, hahahaha.

4.5 sayap untuk William Hakim, pengagum Einstein dan pemuja Champagne Supernova.

4 komentar:

  1. Saya sudah baca buku ini, bertahun2 yang silam :-) sekarang juga lagi mengumpulkan karya Morra yang lain :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeay, semoga tahun ini akan ada buku barunya lagi ya :)

      Hapus
  2. Aku baru baca dan baru tahu. Aihhhh ... sepertinya aku akan mencoba membaca salah satu buku Morra. Doakan semoha ketemu ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aminnnn, coba yang What If dulu aja kalau lainnya susah, bukunya masih terbilang baru dan mungkin masih banyak di toko buku atau online shop :D

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*