Pages

Selasa, 01 Desember 2015

Perfect Pain by Anggun Prameswari | Book Review

Perfect Pain
Penulis: Anggun Prameswari
Editor: Jie Effendie
Desainer sampul: Levina Lesmana
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-840-8
Cetakan pertama, November 2015
316 halaman
Buntelan dari @mbakanggun
Bisa dibeli di @bukupediacom
Sayang, menurutmu apa itu cinta? Mungkin beragam jawab akan kau dapati. Bisa jadi itu tentang laki-laki yang melindungi. Atau malah tentang bekas luka dalam hati-hati yang berani mencintai.

Maukah kau menyimak, Sayang? Kuceritakan kepadamu perihal luka-luka yang mudah tersembuhkan. Namun, kau akan jumpai pula luka yang selamanya terpatri. Menjadi pengingat bahwa dalam mencintai, juga ada melukai.

Jika bahagia yang kau cari, kau perlu tahu. Sudahkah kau mencintai dirimu sendiri, sebelum melabuhkan hati? Memaafkan tak pernah mudah, Sayang. Karena sejatinya cinta tidak menyakiti.
Menikah untuk bahagia, kan?
Lelaki itu melindungi.

Kedua kalimat itu yang diharapkan Bidari dapatkan dari suaminya, Bramawira Aksana. Sebuah pernikahan yang bahagia, selalu dicintai dan terlindungi. Namun, yang Bi dapatkan adalah banyak luka, pukulan di tubuhnya, memar di wajahnya, dia dituntut untuk selalu sempurna dan bila melakukan kesalahan sekecil apa pun, dia tidak akan selamat. Keesokan harinya setelah melakukan perbuatan tersebut, Bram akan mengemis minta maaf, dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dia berkata sangat mencintai Bi dan tidak bisa hidup tanpanya. Nyatanya, ketika Bi melakukan sesuatu yang dianggap salah, kejadian tersebut akan berulang terus, memukul-minta maaf-memukul lagi. Hanya satu yang membuatnya bertahan dan kuat, anak lelaki satu-satunya dari pernikahan mereka, Karel yang kini menginjak kelas 6 SD.

Suatu hari Bi mendapatkan telepon dari wali kelas Karel, Miss Elena yang menanyakan apakah Karel sudah sampai rumah karena dia absen mengikuti ekskul painting di sekolah. Tahu benar anaknya tidak ada di rumah, tanpa berpikir panjang lagi Bi langsung datang ke sekolah, tidak ada yang tahu dia kemana, sambil mencari, Miss Elena bercerita tentang kebiasaan Karel menggambar ibunya, tidak ada objek lain di buku sketsanya, tidak ada gambar ayahnya. Miss Elena juga bercerita tentang kejadian sehari sebelumnya ketika mereka menggambar bersama, guru tersebut menggambar sepasang pengantin dan mengalirlah cerita kalau pacar Miss Elena adalah seorang pengacara, Karel pun memberondong gurunya tentang apa saja yang dilakukan oleh pengacara. Dari sana Miss Elena mendapatkan pencerahan kemana Karel menghilang.

Dan benar saja, Karel mengunjungi Budiman and Sudiro Law Firm sendirian. Bi melihat Karel dan Sindhu, pacar Miss Elena sangat akrab, Bi langsung memaksa Karel pulang besamanya dan ditolak. Karel tidak mau pulang kalau masih ada papanya, mereka bisa mati. Mengetahui ada sesuatu yang salah, insting pengacaranya langsung muncul, Sindhu meminta Bi untuk membicarakannya baik-baik, tapi sama saja, Bi tidak ingin ada orang lain mencampuri urusan rumah tangganya. Pencarian Karel membuat Bi telat pulang ke rumah dan dia belum menyiapkan makan malam untuk Bram. Emosi Bram memuncak, amarahnya meluap, kali ini tidak hanya pukulan dan hantaman, Bi pun tersiram air panas yang sedang dimasaknya, tidak hanya itu, Bram juga mencekik leher Karel yang ingin menolong ibunya. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Bi ingin keluar dari penderitaan, dia tidak ingin Karel mengalami hal yang sama dengannya, hanya anaknya lah yang mampu membuatnya bertahan selama ini, tidak akan pernah dia biarkan terluka.
Konon, senyuman yang tulus akan menerbitkan senyum tulus lainnya.
"Bahagia datangnya dari diri sendiri. Setiap orang harus bahagia, dengan atau tanpa siapa pun dan apa pun."
"Lakukan ini untuk dirimu sendiri. Supaya kamu bahagia. Karena setiap anak berhak dibesarkan oleh ibu yang bahagia." 
Buatku, ada dua macam luka. Satu, luka yang bisa sembuh. Bekasnya hilang seakan tak pernah terjadi apa-apa. Seperti memar-memar di tubuhku. Begitu warna ungu kebiruannya berubah menjadi kuning menyerupai warna kulit, memar itu siap lenyap.
Namun, ada pula jenis luka kedua, yang semahir apa pun pengobatannya, takkan pernah hilang. Seperti memar-memar di hatiku. Di jiwaku.
"Orang lain akan mencintaimu persis seperti caramu mencintai diri sendiri, Bi."
Ada yang dahsyat dari sebuah maaf. Meluruhkan kemarahan. Membasuh habis kesedihan.
"Setiap orang punya masa lalu, Bi. Hati manusia itu persis koper besar. Terus-terusan dijejali kenangan buruk, emosi negatif, rasa marah, semuanya. Makanya jadi berat. Sudah dibawa kemana-mana, jadinya teronggok begitu saja. Biar enteng, Bi, kita harus membuang semua yang memberatkan. Itu proses yang terus berjalan, nggak boleh berhenti." 
Entah berapa kali membacanya, buku ini tetap meninggalkan kesan yang dalam bagi saya. Tidak banyak buku tentang KDRT yang pernah saya baca, tapi buku ini begitu menguras emosi, ikut merasakan sakit yang dialami Bi, ingin dia juga merasakan apa itu kebahagiaan. Tulisan mbak Anggun tidak perlu diragukan lagi, selain sebagai penulis cerpen yang handal, di buku ini semoga saja memantapkan dirinya bahwa dia juga piawai dalam menulis novel, dia bisa menguasai keduanya dengan baik, dia bisa terjun di dunia sastra lewat cerpen dan mencicipi asiknya novel populer lewat karya keduanya ini. Bukankah dulu masih bingung ingin terjun di dunia sastra atau novel populer? Teruslah menulis, dan ciptakan roman depresi yang lain :D

Penulis tidak hanya menyuguhkan gambaran korban KDRT, tapi dia juga menceritakan masa lalu Bi, siklus seorang pelaku, dan bagaimana cara lepas dari siksaan tersebut. Lewat masa lalu Bi yang tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari ayahnya, Bi menjadi sosok yang lemah, yang tidak percaya pada dirinya sendiri, merasa dirinya tidak berharga. Sehingga ketika Bram melamarnya, dia menawarkan kebebasan, merasa hanya Bram lah satu-satunya jalan agar lepas dari hinaan ayahnya yang tidak pernah puas dengan apa pun yang dilakukannya. Lewat gambaran orangtuanya juga, Bi tidak ingin Karel mengalami hal yang sama, dia ingin Karel memiliki orangtua yang kuat, yang mendukung apa pun pilihan anaknya.

Ketika Sindhu membawa Bi dan Karel ke Rumah Puan, tempat penampungan korban KDRT dan di sana para korban akan diberikan bekal untuk mandiri dan lepas dari penderitaan, digambarkan juga kalau banyak orang yang mengalami hal sama seperti Bi. Dengan alasan cinta, mereka akan kembali kepada suami, ingin memberi kesempatan mungkin saja bisa berubah, namun hal yang sama terulang lagi, tidak akan ada kesempatan kedua bagi para pelaku KDRT. Masa lalu Sindhu yang pernah mengalami hal sama, ibunya meninggal karena menjadi korban KDRT, membuatnya sangat tegas dan meminta Bi jangan menemui Bram lagi karena perbuatannya akan menjadi lebih parah dan mengancam nyawa. Di Rumah Puan, selain mendapatkan perlindungan, dia mendapatkan teman, selama ini Bi selalu sendirian, tidak memiliki teman untuk berbagi.
"Kebanyakan kasus KDRT terjadi karena perempuannya dibuat lemah, ketergantungan, dan merasa sendiri. Dengan begitu, korban akan merasa tergantung pada pelaku. Ketergantungan secara ekonomi adalah salah satu yang dominan. Begitu korbannya tidak bisa mandiri, pelaku akan memperoleh kekuasaan lebih besar untuk terus mendominasi. Semakin korban lemah, maka pelaku semakin kuat. Kekerasan semakin nggak bisa dihindari. Salah satu cara untuk lebih percaya diri adalah dengan mandiri."
Buku ini tidak akan berarti tanpa hadirnya Karel, tokoh kedua favorit saya, yang pertama tetap Sindhu dong :p. Kalian akan ikut jatuh cinta padanya, betapa dia sangat peduli dan menyayangi ibunya, bahkan yang memaksa agar mereka pergi dari rumah, yang membuat ayahnya mengalihkan perhatian ketika ingin menyakiti Bi, anak kecil yang dengan berani menemui seorang pengacara untuk menolong ibunya, perhatiannya benar-benar meremukkan hati, seorang anak yang dipaksa dewasa sebelum waktunya. Sedangkan Sindhu sendiri, alasan kenapa dia bertekad ingin menolong Bi adalah ketika dia melihat Karel, dia seperti bercermin, Karel seperti sosoknya waktu kecil, hanya saja Karel lebih kuat, dia lebih bisa melindungi ibunya, sehingga Sindhu tidak akan membiarkan usaha Karel sia-sia. Saya juga suka penulis meramu romansa di buku ini, secara perlahan, tidak memaksa dan terburu-buru, mengalir apa adanya, biarkan waktu yang menjawab.

Buku ini tidak sempurna, sama seperti Bi, selain ada beberapa typo, masih meninggalkan beberapa pertanyaan yang sama ketika saya menjadi first reader-nya dulu, yaitu latar belakang Bram menjadi pelaku KDRT, buku ini fokus pada cara Bi lepas darinya, tapi saya juga penasaran kenapa Bram memiliki perilaku seperti itu, sama seperti Bi yang tidak percaya diri karena perlakuan ayahnya yang membentuknya sampai dewasa, ada sebab akibat. Mungkin sulit menyelami pikiran Bram, mungkin memang sebuah penyakit yang tidak ada obatnya, setidaknya penulis sukses membentuk karakternya yang kadang kejam, kadang rapuh. Bukan dia tokoh yang saya benci, melainkan ayahnya Bi. Semoga tidak ada orangtua seperti dirinya.

Banyak adegan yang memorable dan bikin mrebes mili, berikut yang menyayat hati:
Ketika Bi dipukuli karena masakannya dianggap tidak enak, begitu ayahnya pergi Karel langsung memakan masakan ibunya.
Karel berjalan memutar, mengambil duduk di sampingku. dalam diam, dia menyendok nasi, lalu mengambil apa saja yang terhidang di meja. Aku mengamatinya. Sungguh, aku kehilangan cara menebak apa yang dirasakan anak lelakiku ini. Raut wajahnya begitu datar.
"Enak Ma," ujar Karel dengan mulut masih penuh.
Aku hendak membuka mulut, tapi pipiku masih berdenyut-denyut bekas pukulan Bram.
"Enak banget."
Aku mengangguk sekali. Entah tenggelam ke mana suaraku. Mungkin ikut hilang bersama hati yang mencelus kehilangan nyali. Kami pun duduk berdampingan dan meneruskan makan malam.
Setelah suapan terakhir masuk ke mulut Karel, bocah itu meletakkan kembali sendoknya. Dia menoleh ke arahku yang masih sulit mengunyah. Matanya mengerjap beberapa kali, membuat aku memiringkan kepala penuh tanda tanya.
"Ma." Nada bicara Karel meragu. Setelah sorot mataku melunak, barulah dia melanjutkan. "Karel bisa bantu apa?" Mama bilang aja."
Tangisku pecah T.T
Adegan yang sangat-sangat emosional bagi saya, nggak bisa dikatakan deh rasanya.
Terus ada lagi adegan sepulang dari kantor Sindhu,
"Karel, maafin Mama." Aku berlutut. Dengan telunjuk, aku menaikkan dagunya sehingga mata kami bertautan. "Mama sudah kasar sama kamu."
Karel masih terisak, tapi ritmenya melambat.
"Mama akan jagain kamu, Nak. Tenang saja."
Tapi...," susah payah ia berbicara di tengah isakannya. "Karel... Karel juga... pingin jagain Mama."
Ya ampun. Ya ampun, masih aja nyesek bacanya.
Terus, adegan paling romantis di buku ini,
Mataku panas. Hatiku panas. Sedikit lagi tubuh ini meledak, hancur berkeping-keping.
Dari suara di belakang punggungku, aku menebak Sindhu ikut duduk di belakangku. Disandarkannya punggung ke pintu lemari, tanpa kata-kata.
Sekuat mungkin aku menahan isakan. Desakannya tak bisa lagi kutahan. Bahkan benteng hati yang kukira paling kukuh, akhirnya roboh juga. Deru AC. Suara napas Karel yang tak pernah seteratur itu. Tangisku. Dan, kalau ketenangan itu memiliki suara, ama itulah yang kudengar tari Sindhu malam ini.
Dia menemaniku. Tanpa kata. Cukup dengan keberadaannya saja. Sebuah kesendirian yang tak sendiri. 
Ada satu adegan lagi ketika Sindhu, Bi dan Karel membeli es krim, tapi lebih baik kalian baca sendiri. Sudah terlalu banyak saya bercerita.

Bacalah, buku ini recommended untuk siapa saja, untuk semua orang yang percaya bahwa cinta tidak menyakiti.

5 sayap untuk Sindhu Sudiro.

3 komentar:

  1. Menikah untuk bahagia, kan?
    Lelaki itu melindungi.

    Aku suka kata-kata itu, aku merindui sosok laki-laki itu #tears

    thanks mak dah sharing

    BalasHapus
  2. Ah penasaran... langsung masukin rak wishlist ini kak :D

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*