Pages

Senin, 28 September 2015

What If by Morra Quatro | Book Review

Penulis: Morra Quatro
Editor: Idha Umamah
Desainer sampul: Amanta Nathania
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-833-5
Cetakan pertama, 2015
280 halaman
Harga: IDR 50.400 (off 10% PO di @miss_morra)
Kamila.

Si Anal. Pengagum Sigmund Freud. Asisten dosen ilmu sosial yang sangat detail, yang selalu menjawab tiap pertanyaan di kelas. Menurut Kamila, orang-orang, terutama pada usia muda mereka, sesungguhnya punya kehausan alami akan ilmu. Baginya, hubungannya dengan Jupiter kemarin terasa seperti mimpi, sisanya tak benar-benar nyata. 



Jupiter.
Mahasiswa tingkat dua. Penyuka basket, pemain gitar, perayu ulung. Ia telah menghadirkan Kamila di dalam hatinya sejak kali pertama pertemuan mereka di bawah langit siang. Baginya, ada sekelumit cerita yang harus ia ungkap. Tentang gadis yang ingin selalu ia antar pulang; tentang kisah yang datang bersamanya. Namun, ketika mereka tak lagi berjarak, ia menyadari ada sesuatu yang membuat segala hal di bawah langit siang itu terasa tak sama. 

WHAT IF, tentang harapan yang terhalang. Tentang kenyataan yang tak mungkin dimungkiri. Tentang hidup yang tak selalu berpihak—hingga memaksa Jupiter dan Kamila menjadi lebih kuat daripada yang mereka sadari.
Saya akan melewati bagian prolog, langsung ke bagian di mana Finnigan melihat pertama kali Kamila Rasyid, mahasiswi semester atas yang tidak banyak punya teman namun sangat berprestasi, salah satu tulisannya pernah masuk di jurnal kampus, membuat gebrakan nekat ketika berjualan di acara Pekan Raya Badan Eksekutif Mahasiswa, membuat semua orang tertuju pada 'dagangannya'. Finn kemudian ingin mencomblangkan Kamila dengan Steven, salah satu sahabatnya yang masih jomlo, sebelum diembat Jupiter atau biasa dipanggil Piter, sahabat satunya lagi yang playboy. Kamila sangat cute, pintar, menyenangkan dan cantik, terlalu sayang kalau dilewatkan. Namun Steven berkata kalau mereka tidak akan bisa bersama, suatu hari Finn akan mengetahui alasannya.

Tanpa sepengetahuan kedua sahabatnya, Piter sudah bertemu dengan Kamila, bukan di kuliah Pengantar Ilmu Sosial yang Piter lewatkan di mana ada Kamila di sana, tetapi di tepi lapangan basket, sehabis Kamila meninggalkan sebuah forum diskusi karena pendapatnya sama sekali tidak digubris. Percakapan singkat yang terjadi langsung membuat Piter tertarik pada Kamila, tanpa membuang kesempatan dia langsung menggodanya, tapi sayangnya gagal. Kamila tidak seperti kebanyakan wanita yang selama ini dia kencani, dia susah ditaklukan, dia si Anal.
"Anal itu istilah psikoanalisis Freud, artinya orang yang sangat detail. Ingat segala hal, menganalisis segala hal. Orang umumnya nggak suka sama orang dengan kebiasaan ini. Annoying. Aku dijuluki begitu sejak ospek gara-gara selalu tunjuk tangan tiap ada pertanyaan. Habisnya, kalau nggak tunjuk tangan, pasti nggak ada yang jawab, sampai lamaaa... Suatu kali ada senior yang langsung bilang ke semua orang pas di auditorium. Si Anal. Semua orang tertawa."
Hingga hari itu, ia masih beranggapan ruang kuliah adalah area yang dikuasai orang-orang seperti Steven, yang catatannya selalu lengkap dan aman tiap ada kuis. Juga Finn yang manis, tampan, dan santun. Daya ingat Finn tak setajam Steven atau sekritis dia kalau sedang berpendapat. Namun, bila tampan dan santun tak cukup untuk bisa jadi kesayangan dosen seperti Bu Miranda, Finn cukup rajin dan penuh perhatian.
Piter tidak rajin.
Ia tak bisa jadi penuh perhatian.
Piter tidak menyerah begitu saja, pada pertemuan ketiga kuliah Ilmu Sosial, dia mendapati Kamila yang ternyata akan mengajarnya, dia menggantikan Ali Akbar, asisten dosen sebelumnya. Mengetahui Kamila lah yang menjadi asisten dosen, Piter tidak pernah membolos lagi, dia menjadi sangat rajin di kuliah Ilmu Sosial semester pertama dan bertekat akan mendapatkan nomor telepon Kamila. Kamila sendiri cukup terganggu dengan kegigihan Piter, dia pun memberi syarat kalau Piter bisa mendapatkan nilai A dalam tugas esai yang dia berikan, maka Piter akan mendapatkan nomor teleponnya.

Sejak itu hubungan mereka menjadi lebih dekat, namun ada ketakutan yang selalu dirasakan oleh Kamila bahwa hubungan mereka tidak akan mudah, perlu kerja keras dan menekan ego masing-masing, seperti hubungan Finn dan Anjani, selalu ada lubang yang akan membuatnya tidak sempurna, selalu ada batu sandungan. Terlebih ketika Piter mengenalkan Kamila kepada ibunya, mengajaknya ke rumah di mana sangat kental dengan unsur perbedaan antara Piter dan Kamila, Kamila tidak diterima di rumah Piter, dia sangat menyadarinya. Namun, Kamila juga ingin mempertahankan Piter, satu-satunya orang yang menyayanginya tanpa syarat, dengan penuh ketulusan. Seseorang yang tidak pernah niat dalam hal akademis namun mampu membuat esai tentang pluralisme di Indonesia, kenapa agama yang diakui hanya ada lima dan menjadi pengaruh dalam Pemilihan Umum Mahasiswa di kampus yang bermuatan politik.
Mengenal orang itu seperti mengupas bawang, selapis demi selapis, dan kadang-kadang membuat kita menangis.
Orang-orang, saat mereka bertanya tentang hidupmu, tidak selalu berarti mereka peduli. Seringnya mereka hanya ingin tahu. Sekadar agar tahu, sekadar agar puas. Sebab kalau memang benar-benar peduli, mereka justru tak akan banyak bertanya. Mereka akan menunggumu bercerita dengan sendirinya.
Orang mencintai dengan cara masing-masing. Sebagian tak tahu bagaimana cara mencintai, tetapi bila mereka gagal melakukannya, bila cinta mereka gagal memperlihatkan diri, tak berarti mereka tak punya. Sesuatu yang tampak bukan berarti tak ada.
Manusia tak terbuat dari angka-angka, tetapi kebanyakan mereka lupa. Itu sebabnya hidup kita melelahkan dan kita begitu mudah merasa miskin.
Membaca What If ini sangat bermuatan curcol (curhat colongan) sehingga sangat emosional sekali ketika melahapnya, saya menanti-nantikan apakah suatu saat ada seorang penulis yang mengambil tema kisah cinta berbeda agama? Syukurlah tema yang saya nantikan tersebut diambil oleh Morra Quatro setelah dua tahun tidak menerbitkan buku baru, yang sangat piawai membuat realistic ending, katanya, kalau kata saya mah sad ending :p. Dengan teknik show yang selalu penulis gunakan dan diksi yang menentramkan hati, terasa oldies, selalu menggunakan bahasa baku yang nggak kaku, kita akan meraba-raba konflik apa yang sebenarnya ingin penulis tuturkan, tidak langsung menunjukkan pada bagian awal, membuat pembaca tidak sabar ingin mengetahuinya.

Sama halnya kisah cinta LDR yang penulis pernah angkat dalam Believe, dan dalam nuansa kampus seperti di Notasi, Morra Quatro mengeksekusi kisah cinta beda agama dengan cara yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, memadupadankan dengan unsur politik dalam pemilihan presiden kampus, menunjukkan lapis demi lapis apa yang menjadikan perbedaan Piter dan Kamila lewat hubungan Finn dan Anjani, semua terasa nyata dan memang hubungan seperti ini tidaklah mudah, akan banyak rintangan dari berbagai sisi, mulai dari keluarga yang paling utama, sampai ke hal pribadi, keraguan untuk meneruskannya. Ngomongin soal agama sampai tujuh turunan juga nggak akan ada habisnya, dan penulis sendiri bilang dia ekstra hati-hati ketika memilih tema ini.

Mungkin itulah sebabnya ada bagian yang kurang membuat saya puas, yang menjadi salah satu kekurangannya, yaitu kurang tebal, terlalu tipis dan singkat kisah antara Piter dan Kamila. Banyak yang ingin saya tahu lebih dalam lagi, seperti kisah persahabatan antara Finn, Steven dan Piter, masa-masa ketengilan mereka. Tentang masa lalu keluarga Kamila, latar belakangnya masih digambarkan dengan samar, masalah yang dihadapi Kamila akan keluarganya sendiri cukup kompleks sebenarnya. Pun dengan latar belakang keluarga Piter, tidak terlalu banyak pembahasan soal ayahnya. Ingin lebih banyak lagi kebersamaan antara Kamila dan Piter, mengenal mereka lebih detail lagi, mengetahui apa yang mereka suka dan tidak. Dalam hal karakter para tokohnya penulis tidak membahas sampai ke akar-akarnya, padahal saya sangat menyukai Piter dan Finn, sejak membaca bab satu, saya sudah merasakan kalau Finn akan mempunyai perasaan kepada Kamila, penulis hanya detail sampai di tengah, belum sampai ujungnya. Tentang masalah politik yang berhubungan dengan esai Piter, sedikit mirip dengan Notasi yang melibatkan BEM atau orang-orang penting di kampus, walau esai tersebut juga membahas tentang agama, entah kenapa saya malah ingin penulis fokus pada perbedaan antara Kamila dan Piter, memperdalam lagi hubungan mereka, dengan melibatkan Finn juga.

Secara singkat penulis sukses akan apa yang ingin dia sampaikan ke pembaca, bagaimana Kamila yang ragu namun Piter percaya bahwa mereka bisa melampaui salah satu rintangan hidup, selalu ada salah satu pihak yang yakin akan perbedaan agama, tidak masalah dengan hal tersebut dan yakin akan tetap harmonis dengan kepercayaan masing-masing, namun ada juga yang meragukannya. Bagaimana ketidaksukaan Helena, ibu Piter akan hubungan anaknya, walau dia sangat menyukai kepribadian Kamila, tetap ingin satu keluarga punya keyakinan yang sama. Penulis cukup baik menggambarkan masalah yang tidak akan pernah akan ada jawabannya tersebut, sangat terasa realistis.

Saya sangat bisa merasakan kegalauan Kamila dan kekhawatiran Helena, bukan karena pernah mempunyai kisah cinta beda agama, namun ada di dalam lingkaran tersebut. Percaya deh, bohong banget kalau tidak akan pernah ada masalah dalam satu keluarga yang berbeda agama, bakal harmonis sampai tua. Memang ada kalanya saling berkompromi, tenggang rasa, saling menginggatkan akan kewajiban masing-masing, tetapi tetap saja akan ada lubang yang sangat besar yang bernama kesendirian, yang menjadi celah ketidakbahagiaan. Misalkan saja, kalau kita sholat tidak ada yang mengimami, kalau pas bulan ramadhan kita sahur sendirian, atau sholat idul fitri. Hal-hal seperti inilah yang nggak akan bisa dilalui secara bersama, dirasakan bersama.

Overall, saya sangat menikmati cerita yang disuguhkan penulis, jenis cerita yang habis sekali baca. Untuk endingnya, khas Morra Quatro banget, mempersilahkan para pembaca untuk menentukan sendiri baiknya bagaimana. Bagian favorit saya adalah ketika Piter tetap ngotot membawakan barang-barang Kamila yang kemudian dia jatuh pingsan. Dan bagian Piter menyambung kata-kata Kamila dengan sebuah lagu, itu romantis dan memorable banget. Untuk karakter favorit, agak sulit memilih antara Piter dan Finn. Nama-namanya kok bagus banget sih :p
"Yang paling menyakitkan dari semua perbedaan ini: bila sesuatu terjadi, misalnya pertengkaran, pembelaan itu selalu muncul; ah, nanti juga nggak bisa sama-sama, ngapain capek-capek sekarang, ini juga nggak pasti. Padahal, pikiran itulah yang sebenarnya menghentikan kita untuk berkorban banyak ke orang yang kita sayang karena kita takut terlalu sakit nanti. Karena kita pikir, kita nggak akan bisa sama-sama juga. Padahal, tentang itu, siapa yang tahu? Lalu, kita memilih orang lain dengan alasan-alasan cemen karena nggak berbeda sehingga bisa saling mengerti. Cinta macam apa itu? Cemen. Cuma karena kita nggak mau rugi. Kalau cinta ya cinta saja, kenapa nggak ambil risiko perasaan sakit yang datang bersamanya? Kenapa orang-orang begitu takut berbeda?"
Sejak awal, mereka perlu berbeda. Mereka memang seharusnya berbeda. Sebab ada kalanya itulah yang dibutuhkan manusia untuk menyadari seluas apa hati mereka. Itulah yang mereka butuhkan untuk tahu; sebesar apa hati sanggup mencintai.
Buku ini bercerita tentang bagaimana perbedaan akan selalu ada dalam kisah cinta, bahwa kadang hidup tidak selalu sesuai dengan harapan kita, akan ada jalan berkelok yang harus ditempuh, dengan perjalanan panjang untuk menemukan pemberhentian terakhir. Bagaimana kita berkompromi dengan perbedaan yang ada.

Buku ini recommended banget bagi yang punya kisah seperti Kamila dan Piter. Bagi yang ingin membaca kisah 'cinta terlarang'.

4 sayap untuk Jupiter Europa.

14 komentar:

  1. suka sama quote, mengenal orang seperti mengupas bawang

    BalasHapus
  2. Tokoh di novel pertamanya juga beda agama kan? Tapi tentang agamanya nggak terlalu dibahas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku agak lupa, udah lama banget bacanya dan belum dibuat reviewnya, hehehe, ingetku cuma William Hakim :p

      Hapus
  3. Diksinya Morra memang nyess banget. Suka dengan pemilihan setiap katanya. Sub judulnya What if aja udah nyes, gimana ceritanya :3

    BalasHapus
  4. Jangankan untuk si penulis, aku aja yang cuma jadi pembaca aja kadang hati-hati banget buat milih bacaan tentang beda agama. Cuma nggak mau sampai ada pikiran aneh yang muncul di kepalaku haha. Tapi kalau ada yang bilang bagus ya jadi kepo juga. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak kental banget kok soal agama, nanti malah jadi buku agama XD. Penulis mencoba mengangkat isu yang kadang terjadi di kehidupan nyata, dan ngena banget di aku :)

      Hapus
  5. Anal anal itu mengingatkan pada Summer di film 500 Days of Summer :D kocak2nya juga mirip2 :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku nggak suka 500 Days of Summer, udah lupa T.T

      Hapus
  6. Suka banget sama novel ini. Forgiven apalagi. Gilak! Aku sampai patah hati waktu baca forgiven.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Endingnya emang bikin ngremes-ngremes bukunya :(

      Hapus
  7. Sedikit kecewa dengan buku ini, saya sudah membaca Forgiven dan Notasi, keduanya menggambarkan latar setting cerita yang kuat, tapi pd What If saya bahkan baru tau ceritanya berlatar di Jakarta Timur disebuah Universitas swasta pada halaman ke 87. Entah mengapa buku ini tidak membuat saya tertarik membacanya ulang, tidak seperti buku buku Morra yang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau aku lihat bukan setting yang ingin ditekankan penulis tapi bagaimana membuat hubungan kedua orang yang berbeda keyakinan bisa bersatu, memperlihatkan apa mungkin kedua tokoh utamanya bisa bersama dengan perbedaan yang besar diantara mereka :)

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*