Pages

Selasa, 30 Juni 2015

A Royal Pain by Megan Mulry | Book Review

A Royal Pain - Pacar Si Darah Biru
Penulis: Megan Mulry
Alih bahasa: Linda Boentaran
Editor: Rini Nurul Badariah
Desain sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-1762-5
Cetakan pertama, Juni 2015
384 halaman
Buntelan dari Linda Boentaran
Bagi Bronte Talbott remaja, semua hal yang menyangkut keluarga bangsawan Inggris, terlebih romansanya, selalu menarik diikuti. Namun dalam kehidupan dewasanya, tak usah berharap hubungan cintanya seromantis itu. Putus dari cowok yang ia kira Mr. Right membuatnya terpuruk dan tak percaya lagi pada komitmen.



Namun kemudian Max Heyworth datang ke kehidupan Bronte dengan gayanya yang sangat... yah, sempurna. Dan terlihat jelas Max berhasil menaklukkan Bronte... sampai Bronte mengetahui satu hal: Max seorang duke! Pria itu bangsawan Inggris! Bukannya gembira, Bronte malah ragu. Ia bertanya-tanya, kenapa Max tidak jujur sejak awal? Karena, jujur saja, menjadi seorang duchess tidak akan mudah...

Bronte menyebutnya Mr. Texas, pria yang membuat seorang Bronte Talbott tidak mengenali dirinya sendiri, seorang wanita yang mandiri dan penuh percaya diri, seorang pria-yang-namanya-tidak-boleh-disebut. Pria tersebut sanggup membuat Bronte meninggalkan impiannya dan kehidupan di New York, dia meninggalkan pekerjaannya yang sudah mapan dan memilih pindah ke Chicago agar lebih dekat dengan Mr. Texas, tak perlu lagi hubungan jarak jauh, setiap hari bisa selalu bertemu, bukannya hanya akhir pekan saja, membuatnya mengabaikan semua saran dari para sahabatnya kalau Mr. Texas bukanlah orang yang tepat bagi dirinya. Setibanya di sana, Bronte melihat kesalahan terbesar yang pernah dia ambil dalam hidupnya, yang sudah diprediksi sahabat bahkan ibunya sendiri, dia salah menilai kalau Mr. Texas adalah Mr. Right-nya.

Baru kali ini Bronte benar-benar merasa jatuh cinta dan memberikan segalanya, namun bukannya mendapatkan kebahagiaan yang dia harapkan, malah mendapatkan luka yang dalam, dia tidak lagi percaya pada komitmen. Patah hati membuat Bronte tengelam dalam pekerjaan di siang hari dan depresi parah pada malam hari dan akhir pekan. Bronte harus mengulang semuanya dari awal, terlebih pekerjaannya dan kehidupan baru di Chicago, sendirian. Bronte bisa memperbaiki kariernya di kota baru tersebut, namun apakah berlaku juga untuk hubungan asmaranya?
Bronte memutuskan tidak pernah menyebut namanya, dan dengan demikian -setidaknya secara retroaktif- mengasingkan pria itu ke bagian otaknya yang dikhususkan bagi Kenangan yang Sengaja Dilupakan: gadis jalang dari kelas 1 SMA yang memfitnah Bronte meniduri para cowok, pria di Cal yang mengejarnya berbulan-bulan, akhirnya berhasil merayunya, dan tidak pernah muncul lagi. Orang-orang seperti itu, menurut Bronte, layak tak bernama selamanya. Julukan main-mainnya, Mr. Texas, kini menjadi sebutan permanen Bronte untuknya.
Lalu datanglah waktu ketika Bronte bertemu dengan si cowok Hyperion di sebuah toko buku, pertemuan tersebut sangat membekas di antara keduanya, membuat Bronte selalu mengunjungi toko buku tersebut setiap Sabtu, berharap bertemu lagi dengannya, membuat si pria penasaran apa saja yang dibeli oleh si wanita dalam pembebasan bersyarat, julukan yang mereka buat untuk satu sama lain. Setelah beberapa kali saling mengamati diam-diam, kemudian berbincang akan diri masing-masing, mereka langsung dekat. Bronte bercerita kalau dia baru saja dicampakan dan tidak lagi mencari pasangan hidup, sekarang dia hanya ingin mencari 'Pria Transisi' yang sempurna, yang benar-benar Bronte butuhkan untuk melupakan hubungan berantakan sebelumnya.

Kali ini Bronte memang blak-blakan, karena dia tidak ingin memanfaatkan Max Heyworth. Max sendiri sedang menyelesaikan studi PhD di jurusan ekonomi Universitas Chicago dan tidak lama lagi akan kembali ke Inggris, tidak banyak waktu yang dia bisa habiskan dengan Bronte, maka begitu Bronte berkata dia hanya ingin mencari "Pria Transisi', Max langsung bersedia. Mereka pun memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik-baiknya sebelum berpisah, selalu bersama-sama, berusaha tidak ada rahasia. Berbeda dengan Bronte, Max sangat berharap hubungan mereka akan terus berlanjut, sedangkan Bronte sendiri dia sangat nyaman bersama dengan Max, berbeda ketika bersama dengan Mr. Texas yang penuh tekanan, kini dia merasa bebas dan bahagia bersama dengan Max.

Namun kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama, Max mendapatkan telepon yang mengabarkan kalau ayahnya dalam keadaan sekarat, Max harus segera kembali dan mengurus semuanya, terlebih menjadi pewaris utama. Ada satu rahasia yang tidak dikatakan Max kepada Bronte akan identitas dirinya yang asli. Max mengajak Bronte ikut bersamanya dan ingin mengenalkan kepada ayahnya. Walau sangat ingin, Bronte tidak ingin mengulangi kesalahannya yang dulu, tujuannya mencari 'Pria Transisi' agar tidak ada sakit hati, atau malah dia telah melakukan kesalahan terbesar lagi dalam hidupnya ketika melepaskan Max? Bronte tidak pernah memperkirakan kenyataannya. Well, ceritanya tidak berhenti sampai di sini saja :D
Jadi begitulah, Bronte berbelok ke bagian fiksi sains dengan kibasan kepala angkuh ke arah si Cowok Gotik yang lebih kuat daripada niatnya, dan hanya membuktikan kita seharusnya tidak membuang terlalu banyak waktu mengejek si kasir bergaya Marilyn Manson, karena wajah kita bisa tampak getir dan  judes seperti saat berbelok ke lorong fiksi sains yang sempit dan menabrak orang yang justru layak disenyumi. Itu artinya orang dengan senyum lambat dan mata ramah, kelabu-kebiruan yang mendongak dari posisi jongkok di dekat rak terbawah, dengan novel Hyperion terbuka di satu tangan kuat.
Saya sukaaaaaaaa dengan buku ini, bisa dibilang saya jarang baca chick lit dan kali ini sangat menikmatinya. Saya suka dengan chemistry yang dibangun penulis, terlebih ketika kedua tokoh utamanya bertemu. Alurnya bisa dibilang cepat, menjelaskan singkat kejadian tidak mengenakan yang menimpa Bronte di awal kemudian langsung fokus akan hubungan Bronte dan Max, pasang surutnya, tidak ada bagian yang sia-sia. Saya juga suka bagian ketika sebenarnya Bronte dan Max nyaris bertemu ketika menghadiri pesta perpisahan teman mereka, pesta yang menjadi awal mula Bronte memiliki hubungan dengan Mr. Texas, kalau saja Max tidak datang terlambat, cerita ini tidak akan terjadi :D.

Dari segi pengkarakteran tokohnya, saya langsung jatuh cinta dengan Max, suka penampilannya terlebih ketika sedang membaca, hehehehe, cintanya pada Bronte juga benar-benar tulus, dia sangat memahami Bronte bahkan mau aja jadi pelarian, terlebih dia sangat tidak mempedulikan gelar bangsawannya, meyakinkan Bronte bahwa semua tetek bengek kerajaan jaman dulu itu tidak berpengaruh lagi sekarang, sedikit menuntut. Sedangkan Bronte adalah tipe wanita yang feminis, sejak remaja dia berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, jadi wajar kalau dia sangat berhati-hati pasca pengalaman buruk yang dia alami. Ketika bertemu dengan Max, Bronte tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama karena jatuhnya akan lebih keras lagi. Tapi kepercayaan diri yang selalu dia punya goyah juga ketika tahu kalau Max adalah seorang duke, gelar bangsawan tertinggi (DMEVB -duke, marquis, earl, viscount, baron). Terlebih ibu Max adalah seorang wanita yang sangat menjunjung tinggi tradisi, Max harus menikah dengan wanita yang berdarah biru juga, membuat Bronte mengkaji ulang apakah hubungannya dengan Max akan bisa berjalan dengan lancar.

Salah satu alasan saya tertarik membaca buku ini adalah kisah pangeran dan rakyat jelata yang diusung penulis. Well, agak pasaran memang, namun yang membuat berbeda adalah kisah kerajaannya tidak ditonjolkan, hanya sejarah singkat serta silsilah keluarga Heyworth, figur orang yang berdarah biru dan kehidupan mewah mereka yang diperlihatkan lewat bibi Max dan ibunya sendiri, selain itu lebih bersifat modern, bahwa sekarang gelar bangsawan hanya status sosial, walau saya sangat berharap bagian kerajaan memiliki porsi yang lebih tetap saja bagian yang sedikit tersebut cukup menarik untuk disimak. Setidaknya sedikit menjawab pertanyaan saya selama ini tentang pengaruh kehidupan modern yang mengikis tradisi orang kerajaan atau berdarah biru sekarang ini, bagaimana mereka mempertahankannya.

Kata penerjemahnya bahasa penulis tidak translator-friendly, sebenarnya tidak menjadi masalah, saya cukup menikmati terjemahannya, bagus malah, humornya dapat, bahkan perasaan kedua tokoh utama dan chemistry-nya kerasa, kok, dan itu yang paling penting. Memang saya tidak bisa membaca cepat seperti biasanya, entah emang karena bahasanya yang susah dicerna atau gaya penulisan, yang jelas harus dibaca pelan-pelan, mungkin dengan cara inilah kita jauh bisa menikmati buku ini, toh rasanya ingin berlama-lama dengan Max :D. Pemeran pembantu di buku ini cukup berperan penting di buku selanjutnya, semua tokoh nggak sia-sia deh, nggak sabar baca dan semoga seri Unruly Royal ini diterjemahkan semua oleh Gramedia, karena ceritanya bikin nagih, recommended banget bagi pecinta chick lit!

Sebenarnya cukup banyak adegan favorit saya, baik itu perpisahan atau pertemuan kembali, semua membekas. Selain pertemuan tak sengaja di toko buku, ketika Bronte bertemu dengan Max kembali di jalan kota New York menjadi adegan favorit saya selanjutnya :D. Buku ini adalah novel dewasa, walau nggak eksplisit banget, adegan guling-gulingnya saya kasih 2.5 kipas XD.
Bronte berhenti dan berbalik ke jendela Barneys, sambil mengangkat sebelah lutut untuk menopang tas. Ia berusaha merogoh lebih dalam ke tas sebesar tong sampahnya, sambil terus menggumam "sial-sial-sial-sial-sial" sementara ponsel terus berbunyi dan ia masih belum selesai menariknya dari isi tas yang mirip rawa-rawa.
Saat mengibaskan tirai panjang rambut mengilatnya dengan tidak sabar, ia mengangkat pandangan ke jendela kaca toserba itu dan melihat bayangan MAx yang menatap punggungnya. Bronte berhenti mencari ponselnya dan perlahan-lahan berbalik.
 4 sayap untuk Duke Northrop kesembilan belas.

6 komentar:

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*