Pages

Sabtu, 08 November 2014

[Book Review] Baby Proof by Emily Giffin

Baby Proof: Bebas Tangisan Bayi
Penulis: Emily Giffin
Penerjemah: Isthi Rahayu
Editor: Tutut M. Lestari, Yuki Anggia Putri
Cover: Foetry Novianti
Penerbit: Esensi
ISBN: 978-979-075-834-6
Cetakan pertama, Mei 2011
547 halaman
Buntelan dari @BukuErlangga

Jatuh cinta, menikah, kemudian punya bayi. Itukah yang diinginkan setiap wanita? Tidak bagi Claudia Parr. Ia tak pernah ingin menjadi ibu dan sudah lama melepaskan harapannya untuk bertemu dengan pria yang merasakan hal serupa. Sampai ia bertemu Ben, pria menawan yang ternyata juga berpendapat sama. Mereka saling jatuh cinta dan sepakat untukmembangun rumah tangga yang 'bebas tangisan bayi.' Kemudian, yang tak diharapkan pun terjadi: salah satu dari mereka berubah pikiran dan ingin punya keturunan.


Inilah kisah lucu dan memikat tentang pasangan sempurna yang menginginkan hal yang berbeda. TEntang seseorang yang menyadari bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai dengan rencana--dan seringkali tak mengenal kompromi. Tentang memutuskan apa yang penting dalam hidup dan mengambil kesempatan untuk meraihnya. Namun yang lebih penting, tentang hal-hal yang bersedia--dan tak bersedia kita lakukan--demi cinta.

Karena trauma masa kecilnya, Claudia Parr berkomitmen untuk tidak mempunyai anak, tidak akan ada anak di dalam pernikahannya nanti. Kisah percintaannya pun awalnya baik-baik saja tetapi ketika sang pasangan membahas anak dan semua mundur teratur. Dengan Benjamin Davenport lah Claudia merasa cocok, pertemuan mereka dirancang oleh teman mereka sendiri, sebuah kencan buta dan mereka berprinsip sama, sama-sama tidak ingin memiliki anak. Mereka pacaran, menikah dan bahagia. The End? Tentu saja tidak.

Semua berubah ketika Ben dan Claudia menghadiri kelahiran anak Annie dan Ray, teman yang mengenalkan mereka berdua. Semenjak itu Ben menjadi berubah. Ben tertarik dengan anak kecil, setiap hari dia membicarakan betapa menggemaskannya mereka. Ya, Ben berubah pikiran, dia ingin mempunyai anak dan Claudia tetap pada pendiriannya. Setiap hari hubungan mereka semakin merenggang, pertengkaran kecil lama-lama menjadi besar. Ben mengalah, tidak membahasnya lagi tetapi keinginannya yang amat besar ingin mempunyai keturunan lama-lama tidak bisa dibendung lagi. Akhirnya Claudia meminta cerai.

Mereka berpisah baik-baik. Claudia tidak perlu pusing memikirkan akan kehilangan pekerjaannya sebagai editor, tinggal di kota besar di mana tidak akan bisa dia dapatkan kalau memiliki anak. Sering dia merasakan kesepian setelah tidak ada Ben, pernah sekali dia pergi mengunjungi apartemen mereka dan melihat bagaimana keadaan Ben sekarang. Tak disangka ada seorang perempuan bernama Tucker Janssen yang menjadi pasangan Ben dalam lari maraton. Claudia kecewa karena Ben begitu mudahnya menggantikan dan melupakan dirinya.

Tak ingin kalah dengan Ben, Claudia mulai mencari pengganti dirinya. Richard Margo, atasannya di penerbitan yang masuk ke dalam cowok terseksi ternyata juga melirik dirinya. Hubungan mereka tidak sulit terjalin karena mereka punya prinsip yang sama. Richard tidak hanya anti terhadap bayi tetapi dia juga anti terhadap komitmen. Sosok lelaki yang sangat cocok untuk Claudia. Tetapi apakah semua kecocokan itu membuat Claudia bahagia? Kenapa dia malah merasa kesepian? Kenapa dia ingin membuat Ben cemburu ketika pembabtisan anak temannya? Apa yang sebenarnya diinginkan Claudia dalam hidupannya?

Kadang kita perlu berkorban untuk mendapatkan apa yang kita cintai.
Aku tidak ingin menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh seseorang. Lagipula, kurasa semua orang akan setuju bahwa menjadi ibu yang gagal jauh lebih buruk daripada memiliki ibu yang gagal.
Berbeda dengan cerita Emily Giffin sebelum-sebelumnya di mana lebih sering membahas hubungan orang dewasa, seperti yang kita tahu kalau Emily Giffin ini masternya cerita selingkuhan, hehehehe. Kali ini dia menyorot masalah yang lebih pokok di dalam sebuah keluarga yaitu kesiapan memiliki seorang anak. Sepertinya memiliki seorang anak ini salah satu masalah besar yang dihadapi oleh orang-orang yang hidup di metropolitan, tidak sedikit yang mengganggap kehadiran anak akan mengganggu rutinitas atau kesenangan mereka. Entah itu akan berdampak buruk pada kariernya, bentuk tubuh yang akan menghancurkan penampilan sempurna sampai harus pindah rumah karena apartemen tidak bersahabat untuk tempat tinggal keluarga yang besar, butuh taman untuk tempat bermain.

Hanya alasan klise sebenarnya, itulah yang saya lihat dari sosok Claudia. Dia memiliki trauma masa kecil di mana dia takut menjadi seorang ibu, dia takut kalau dia tidak bisa menjadi seorang ibu yang bisa dibanggakan anaknya, ketakutan-ketakutan tersebut membuatnya berkomitmen untuk tidak mempunyai anak selamanya, tetapi bagaimana kalau orang yang sangat dicintainya berpikir sebaliknya? Mana yang akan dipilih?

Alur buku ini cepat sekali, bahkan penulis sepertinya tidak fokus akan hubungan Claudia dan Ben tetapi lebih memusatkan pilihan-pilihan apa yang akan diambil oleh Claudia di dalam hidupnya. Cukup disayangkan memang karena saya menyukai tokoh Ben yang begitu pengertian. Penulis lebih banyak menceritakan realita kehidupan beberapa potret keluarga. Mulai dari keluarganya sendiri di mana ibunya sering selingkuh, dua kakak perempuannya di mana yang satu setengah mati berusaha mendapatkan seorang anak yang satu pusing mengurus beberapa anaknya. Juga sahabat Claudia yang menjadi selingkuhan lelaki yang sudah mempunyai istri. Cukup kompleks memang, tapi begitulah kenyataanya, kita harus benar-benar bisa memutuskan potret keluarga mana yang akan membuat diri kita sendiri bahagia.

Cover buku ini cukup unik, terlihat seorang perempuan yang langsing, tetapi begitu kita menyibak sampul terdepan, di bagian belakang adalah gambar seorang perempuan yang hamil. Pas banget dengan cerita buku ini. Membaca beberapa kali terbitan Esensi saya cukup suka dengan terjemahannya, saya tidak kehilangan feel buku tersebut dan tidak banyak typo. Permasalahannya hanya kalau bisa ukuran bukunya diperbesar, saya tidak suka dengan ukuran buku chick lit yang mayoritas kecil dari biasanya, emang masalah selera sih :)

Saya sangat menikmati kisah-kisah yang disuguhkan oleh Emily Giffin, bagi penggemar chick lit jangan sampai melewatkan karyanya, dia punya kekhasan di dalam tulisannya yang akan membuat dirimu ketagihan, yang akan membuatmu percaya kalau komitmen itu penting di dalam sebuah hubungan :D

3 sayap untuk Ben si arsitek nan seksi :p


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*