Pages

Kamis, 11 September 2014

[Book Review] Stasiun by Cynthia Febrina

Stasiun: Dua Kisah Satu Jalur
Penulis: Cynthia Febrina
Penyunting: Gina S Noer, Ninus D Andarnuswari
Ilustrasi sampul: Diani Apsari
Penerbit: Plot Point
ISBN: 978-602-9481-36-5
Cetakan pertama, Mei 2013
188 halaman
Harga: Rp 9. 520 (Beli di BukaBuku, off 72%)

Adinda putus dengan pacarnya. Kini tak ada lagi Rangga yang biasa mengantarjemput. Tiap pagi Adinda harus naik kereta dari Bogor ke kantornya di Jakarta. Harinya berawal dengan teriakan pedagang asongan, sampah yang bertebaran di peron, para penumpang yang berkeringat dan tergesa, bahkan aksi copet. Masa lalu pun kerap memberatkan langkah. 


Ryan "anak kereta" sejati, bersahabat dengan para pedagang kios di sepanjang peron. Bertahun-tahun dia pulang-pergi Bogor-Jakarta naik kereta. Di balik beban kerja yang menyibukkan, ada kesepian yang sulit terobati, apalagi ketika seorang sahabat meninggal. 

Tiap pagi mereka menunggu kereta di peron yang kadang berbeda. Tapi jalur yang sama memungkinkan langkah dan hati mereka bertautan. Stasiun jadi saksinya.

Ketika saya rehat sejenak dari dua bab pertama novel ini kemudian mengupdate di goodreads, saya sempat nggak percaya kalau ternyata ratingnya cukup jelek, saya membaca review teman rata-rata memberikan rating satu dan dua bintang, padahal saya cukup menikmati di awal cerita. Ini apa mood saya yang lagi baik hati atau selera saya yang mulai aneh? Entah lah, pandangan orang beda-beda, tergantung cara melihatnya darimana.Yang membuat saya menyukai buku ini adalah konsep ceritanya, menurut saya cukup unik dan keren dengan premis utama stasiun melingkupi apa saja yang ada di sekitarnya.

Ada dua tokoh utama, Adinda dan Ryan, mereka adalah pribadi yang sangat bertolak belakang. Adinda dengan terpaksa beralih menggunakan kereta sebagai transportasi utama karena tidak ada lagi yang mengantar jemput. Adinda patah hati dengan Rangga, pacarnya yang sudah lima tahun ini menjalin hubungan bahkan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Sekarang, setiap hari Adinda menjadi pelanggan Commuter Line. Sedangkan Ryan hampir sepanjang usianya di habiskan di stasiun, dia laki-laki yang santai, seorang seniman yang selalu menggunakan kereta ekonomi sebagai transportasi sehari-hari. Kesamaan keduanya adalah mereka sama-sama mempunyai destinasi Bogor-Jakarta.

Dengan kacamata masing-masing, mereka menemukan realita kehidupan yang terjadi baik di stasiun maupun sekitarnya. Adinda yang cenderung manja, egois, menganggap remeh kereta ekonomi lama kelamaan dia menyadari ada hal yang bisa menjadi pelajaran hidup dari orang-orang yang bergantung pada transportasi yang terkenal semrawut itu. Pun dengan Ryan, dia supel, kenal banyak orang, pedagang-pedagang di kios dekat stasiun akrab dengannya, lewat mereka, dia menginggat perjuangan yang sudah dia lakukan.
"Terkadang lebih baik menyalahkan orang lain ketimbang menerima diri kita sendiri yang menjadi penyebab setiap kesedihan."
"Buku lama itu ibarat baju bekas di pasar. Dipandang sebelah mata. Orang akan lebih senang beli buku mahal ketimbang buku usang." 
Banyak yang menanyakan ini omnibook atau novel sih? Saya pun nggak bisa memastikan juga. Kalau di lihat dari cerpen, yang menjadi favorit adalah bab yang berjudul; "Herman...", kita bisa melihat seseorang yang bisa mencintai sangat dalam, sampai-sampai membuat hilang akal; Pagi Bersama Pak Ustad, dari luarnya saja bersahaja tetapi dalamnya siapa tahu? Buku-Buku Usang Pak Rudy, lebih memilih menjual buku usang yang tidak menghasilkan daripada menjual buku bajakan, yang ingin buku sastra diapresiasi. Kereta Ekonomi, seorang anak yang sangat sayang kepada ibunya dan rela membantu mencari nafkah. Berbicara Kematian, lakukanlah hal yang membuatmu bahagia, sebelum terlambat. Pesan moral di bab-bab tersebut cukup menyentuh.

Saya setuju beberapa kritik yang dilontarkan untuk novel ini, misalnya saja tidak konsisten-nya pekerjaan Ryan. Oke, dia punya banyak pekerjaan, trus kenapa? Sebagai seniman, wartawan, pekerja kantoran, waktu kecil pernah menjadi penyemir sepatu, penagih hutang, punya studio lukis, katanya penggemar kereta ekonomi kelas berat tapi kenapa punya mobil? Melihat banyaknya pekerjaan Ryan nggak mustahil juga sih dia bisa punya mobil. Hampir setiap bab profesi Ryan berganti. Bagi saya itu terlalu berlebihan, Ryan seorang seniman yang punya sifat serampangan, berambut gondrong, kayaknya kok agak janggal dengan semua kerja rodi yang dia lakukan, bisanya kan mereka asal-asalan. Sebenarnya satu pekerjaan saja sudah cukup kok, nggak perlu berlih kemana-mana untuk mendukung cerita yang sedang diangkat. Cover buku ini, bukannya jelek, bagus banget malah, ditambah pembatas-nya yang unyu, hanya saja nggak tepat untuk karakter tokoh utama. Ryan gondrong, tampilannya khas seorang seniman, bukannya berambut cepak dan berpakaian rapi. Adinda kesannya juga kayak ibu-ibu.

Terakhir adalah apa sih hubungannya Adinda dan Ryan? Memang bagian akhirnya mereka bertemu terlalu lama, di bab-bab terakhir, ketika sampai pada bagian tersebut malah terlalu cepat alurnya. Seperti yang saya bilang di awal tadi, saya menyukai konsep cerita ini, saya pun cukup menikmati gaya bahasa yang penulis pakai, agak formal di narasi tapi santai di dialog. Sayangnya, penulis membuat cerita seakan berdiri sendiri dan memaksa mempunyai benang merah di akhir cerita, yang menyebabkan pembaca bingung ini omnibook atau novel? Konsep cerita ini adalah memandang realita kehidupan yang ada di stasiun lewat kacamata dua orang yang berbeda. Andai saja setiap bab mempunyai benang merah, tidak hanya stasiun tetapi ada bagian yang menghubungkan Adinda dan Ryan, misalnya saja waktu bab pertama, Adinda melihat seorang perempuan yang setiap hari menunggu suaminya di stasiun, di sisi yang lain Ryan juga melihat perempuan tersebut. Saya yakin akan jauh lebih bagus dan singkron sehingga kesannya tidak berdiri sendiri. Pada bab Bunga Rampai Rasa penulis sudah mengunakan teknik seperti ini, loh, tapi kenapa baru di akhir cerita? Dampaknya adalah tidak ada chemistry antara Adinda dan Ryan. Itu saja sih yang menurut saya paling mengganggu.

Untuk karakter favorit, saya malah lebih suka Sasha, dia pengertian dan punya tenggang rasa yang besar, agak mirip dengan Ryan tapi versi cewek, minus tampilan yang asal-asalan. Berbeda dengan Adinda yang kalau tidak mendapatkan tempat duduk saja kesal setengah mati. Tapi saya suka dengan perkembangan karakternya, dia bisa belajar dari keseharian yang dia dapatkan dari mencoba kereta ekonomi, bertemu orang-orang yang menyadarkan dia pentingnya tolong menolong dan mengalah kepada yang lebih membutuhkan., misalnya saja memberikan tempat duduk kepada wanita tua dan yang sedang hamil :p

Saya berharap untuk buku selanjutnya lebih baik lagi, walau buku pertama banyak kekurangan saya yakin modal yang penulis punya bisa menghasilkan karya yang bisa dikenang oleh pembaca, seperti beberapa cerpen bab yang saya suka di buku ini, cukup membekas :D.

Bagi yang ingin mendapatkan cerita yang berhubungan dengan stasiun dan lika liku kehidupan di sekitarnya, baca deh buku ini.

3.5 sayap untuk pembatas bukunya yang kece badai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*