Pages

Senin, 30 Juni 2014

[Book Review] White Fang by Jack London

White Fang
Penulis: Jack London
Penerjemah: Harisa Permatasari
Penyunting: Jia Effendie
Desain sampul: Amanta Nathania
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-700-2
Cetakan pertama, 2014
330 halaman
Buntelan dari @GagasMedia

Ia adalah anjing separuh serigala. Ia menghirup udara kali pertama dalam sebuah gua di antartika yang membeku, di tengah-tengah bencana kelaparan yang mengambil nyawa semua saudara sekandungnya. Di dunianya yang sunyi, ia harus mengikuti aturan keras di Utara—membunuh, atau terbunuh.

Kemudian, manusia menangkap ia dan ibunya. Manusia mengajari White Fang untuk membenci. Ia dipukuli, disiksa, dan diserang. Ia dibeli, dijual lagi, lalu dilatih membunuh dalam permainan berdarah. Ia tidak pernah bersentuhan dengan kebaikan. Ia menjadi makhluk berbahaya yang dikuasai amarah. Hingga, seorang pria melihat hal lain dalam diri White Fang. Satu-satunya orang yang cukup berani untuk menawari White Fang kehidupan baru. Namun, apakah seekor serigala tahu arti kata "harapan"? Dapatkah makhluk yang penuh kebencian mengenal kata "cinta"?

Butuh perjuangan membaca buku ini, hehe. Awalnya sih cukup seru ya tapi gara-gara kepotong baca buku lain (yang genrenya 'aku banget') rasanya jadi beda, jadinya malah membosankan. Baru setelah memasuki bab empat saya bisa menikmati ceritanya. Alur ceritanya bisa dibilang lambat, bahkan bagian satu sampai tiga malah lambat banget, butuh waktu yang lama bagi saya untuk mencoba menikmati cerita klasik ini, bener nih kata mbak Bzee, untung banget dia kebagian klasik, coba dapat cerita romance pop saya yakin kedudukan kita berbalik, nggak heran saya paling telat selesai bacanya, selain kesibukan saya sendiri :p.

Bagian satu dan dua bercerita sebelum White Fang lahir, lebih banyak membahas pertemuan kedua orang tua White Fang dan juga menggambarkan keadaan alam saat itu, di mana yang kuat lah yang bertahan hidup. One Eye bisa dibilang adalah serigala terkuat diantara sekawanannya, bahkan manusia pun tidak bisa melawannya. Kekuatannya ditunjukkan ketika ingin mengambil hati seekor serigala betina yang paling menarik, adu duel sesama pesaing pun tak terelakan.

One Eye juaranya, bersama serigala betina, ia mempunyai beberapa anak. Awalnya sang serigala betina menyembunyikan kemunculan bayi-bayi tersebut di gua karena takut dimakan ayahnya, One Eye tidak sebodoh itu, selain insting bertarungnya yang tajam, dia bisa mengetahui kalau bayi-bayi tersebut adalah anaknya, yang harus dilindungi sebagaimana dia melindungi serigala betina. Mereka adalah binatang karnivora, bertahan hidup hanya dengan daging dan tugas One Eye lah yang memenuhi kebutuhan keluarganya. Dari semua anak mereka, hanya satu yang kuat, yang mampu bertahan hidup, yang sangat tertarik dengan cahaya karena dari lahir dia tidak diperbolehkan sang ibu keluar dari gua, kelak dia mewarisi kehebatan ayahnya.
Dengan cara inilah si bayi abu-abu mengetahui sifat-sifat ibunya selain lidah yang lembut dan menenangkan. Dalam kegigihannya merangkak menuju cahaya, ia mengenal hidung ibunya yang menyodok tajam menandakan teguran. Setelah itu, telapak kaki ibunya menahan dan terus menggulingkannya dengan kibasan gesit dan penuh perhitunggan. Sehingga ia mengenal rasa sakit, dan yang paling penting, ia belajar cara menghindari rasa sakit, pertama-tama, dengan tidak mengambil risiko, dengan mengelak dan mundur. Semua itu tindakan sadar, dan hasil pemahaman umum pertamanya terhadap dunia.
Alam liar menantang mereka untuk bertahan hidup, pasokan daging kian menipis, belum lagi menghadapi persaingan dengan hewan lain yang sesama karnivora. Serigala betina tahu kenapa One Eye tidak pernah kembali lagi, sekarang gilirannya menghidupi satu-satunya anak yang tersisa, White Fang.
Namun Alam Liar tetaplah Alam Liar, dan ibu adalah ibu, selalu sangat protektif, entah di Alam Liar, dan bukan. Dan akan tiba saatnya ketika serigala betina, demi bayi abu-abunya, harus pergi ke cabang sungai kiri, sarang di tengah bebatuan, dan amarah sang lynx.
Bagian ketiga bercerita tentang White Fang mengenal manusia untuk pertama kalinya, mengenal kekejamannya, dia adalah budah yang harus tunduk kepada manusia agar bisa bertahan hidup, manusia adalah alam liar kedua. Kitche -sang serigala betina- adalah perpaduan dari darah serigala yang dia dapat dari ayahnya dan anjing dari sang ibu. Dulunya ia hidup di perkemahan orang Indian, karena masa paceklik, tidak ada daging untuk anjing-anjing, ia melarikan diri, hiduplah di Alam Liar sampai akhirnya bertemu dengan One Eye, tidak heran ia selalu memandang lama ke sebuah perkemahan. White Fang sebenarnya lebih suka hidup di Alam Liar tapi kebalikan dengan ibunya sehingga dia hanya tunduk dan menurut, di sana lah ia mendapatkan ketakutan terbesarnya.
Ibunya jelas-jelas Kitche. Tapi ayahnya seekor serigala. Jadi di dalam dirinya ada sedikit keturunan anjing dan banyak serigala. Taringnya putih, dan ia kita beri nama White Fang - Taring Putih.
Ini rasa sakit yang paling hebat yang pernah dirasakan White Fang. Baik hidung dan tulangnya terbakar makhluk hidup, sewarna matahari, yang tumbuh di bawah tangan Grey Beaver. White Fang menangis dan terus menangis, dan setiap lolongannya disambut oleh ledakan tawa para hewan-manusia. White Fang berusaha mengobati hidungnya dengan lidah, tapi lidahnya juga terbakar, dan kedua rasa sakit yang digabungkan itu menghasilkan rasa sakit yang lebih besar, sehingga ia menangis semakin putus asa dan tak berdaya. 
Singkatnya, White Fang menjadi budak Grey Beaver, sang Indian. Perlakuan kasarnya membuat White Fang takut, mengangggapnya sebagai dewa, dia lah yang berkuasa, mempunyai kekuatan menyakiti, menggunakan pukulan tangan, tongkat, batu yang melayang, dan lecutan cambuk yang perih . Belum lagi dia harus bersaing dengan anjing-anjing yang iri dengannya, White Fang harus menunjukkan kekuatan kepada para anjing siapa yang berkuasa, siapa yang harus ditakuti, babak belur adalah manan sehari-hari White Fang. Seperti ibunya yang sudah mengabdi pada mereka, White Fang pun tidak mempunyai pilihan, ia ingin selalu bersama ibunya dan bertahan dari penyiksaan.
White Fang adalah milik mereka seperti halnya semua anjing adalah milik mereka. Tindakannya dikendalikan oleh perintah mereka. Tubuhnya bebas mereka siksa, injak, dan terima. Pelajaran itu cepat dipahami White Fang. Itu tidak mudah, karena bertolak belakang dengan begitu banyak sifat alaminya yang kuat dan dominan. Dan, walaupun ia tidak senang mempelajari semua itu, tanpa sadar ia belajar untuk menyukainya. Ini sama dengan menyerahkan nasibnya di tangan orang lain, pergantian tanggung jawab atas keberadaanya. Sebenarnya ini merupakan sebuah kompensasi, karena selalu lebih mudah untuk bergantung pada orang lain daripada berdiri sendiri.
White Fang tidak langsung melupakan sifat liar yang sudah mendarah daging di dirinya dan pengalamannya hidup di alam liar, sempat dia mengajak ibunya untuk lari dari perkemahan tapi ditolak, ibunya lebih nyaman tinggal di perkemahan karena tidak perlu susah payah mencari makan. Kemalangan White Fang tidak berhenti begitu saja, ada masanya dia harus berpisah dengan ibunya karena Grey Beaver punya hutang dan membayarnya dengan menjual Kitche. Tidak ada yang tersisa lagi dari White Fang, dia mencoba akur dengan Grey Beaver, mencoba patuh agar pukulan tidak terlalu sering diterimanya.
Dibenci oleh kaumnya dan kaum manusia, tidak terkalahkan, selalu diserang dan menyerang, perkembangan Wihe Fang sangat cepat dan tidak seimbang. Ini bukan lahan tempat berseminya kebaikan dan kasih sayang. Ia sama sekali tidak memiliki sifat seperti itu. Kode yang dipelajarinya adalah mematuhi yang kuat dan menindas yang lemah. Grey Beaver adalah seorang dewa, dan kuat. White Fang mematuhinya. Namun, anjing yang lebih muda dan kecil darinya adalah sesuatu yang lemah dan harus dihancurkan. Perkembangannya mengarah pada kekuatan. Untuk menghadapi bahaya sakit dan bahkan kehancuran yang terus muncul, sifat-sifat predator dan protektifnya berkembang tanpa terduga. Gerakan White Fang lebih cepat dari anjing lain. Kakinya lebih gesit, lebih lihai, lebih mematikan, lebih luwes, lebih ramping dengan otot dan urat bagaikan besi, lebih kuat bertahan, lebih kejam, lebih ganas, dan lebih pintar. White Fang harus seperti itu. Kalau tidak, ia tidak akan bisa membela diri ataupun selamat dari lingkungan kejam tempatnya berada.
Puncak kemalangan White Fang adalah ketika Grey Beaver menjualnya kepada Beauty Smith hanya untuk ditukarkan dengan whisky, akhir nasib White Fang tidak jauh dengan nasib ibunya. Bedanya, Beauty Smith yang buruk rupa lebih kejam dari Grey Beaver, jauh lebih menakutkan dan tak berperi kemanusiaan. Beauty Smith jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap White Fang, dia tahu potensi apa yang dimiliki anjing berdarah serigala tersebut, di mana dia akan mendapatkan untung besar ketika White Fang menjadi Serigala Petarung. Perasaan yang tersisa di diri White Fang hanya tinggal kemurkaan, rasa benci, rasa sayang yang pernah diajarkan ibunya lama-lama kabur, tidak berbekas. Harapannya hanya ketika dia bertemu dengan Weedon Scott, ahli tambang, orang hebat dan orang penting, yang akan mengenalkan White Fang apa itu arti cinta.

Bagian favorit saya adalah bagian empat, karena harapan kebahagiaan untuk White Fang yang terus menerus tersiksa mulai menemui ujungnya. Saya suka sekali bagaimana Weedon Scott memperlakukan White Fang, mengganti pukulan dengan belaian sayang, menghilangkan rasa takut yang selama ini mengendap di diri White Fang. Dibutuhkan kesabaran ektra untuk mendapatkan akhir cerita yang indah :D.

Kekurangan buku ini hanya terletak pada alurnya yang super lambat, coba bagian empat yang dibanyakin saya yakin akan lebih menikmati cerita White Fang ini, bagian empat terlalu singkat dan alurnya malah cepat, padahal lagi seru-serunya, saya ingin membaca cerita White Fang dan Weedon Scott lebih banyak lagi karena bagian tersebut yang paling asik. Oh ya, covernya kece banget.

Bagian yang paling sedih, banyak. Ketika ayah White Fang berkorban demi memenuhi kebutuhan keluarganya, ketika Kitche menolak ajakan White Fang untuk kabur, ketika mereka dipisahkan, ketika White Fang dipukuli, ketika menjadi anjing petarung, semuanya bikin trenyuh. Bagian di mana White Fang mulai kehilangan sisi belas kasihnya karena hanya ingin bertahan hidup bikin terharu. Saya yang sebenarnya tidak suka dengan binatang (lebih tepatnya fobia terhadap mereka) bisa ikut merasakan penderitaan yang mereka alami.

Buku ini berpesan kepada pembaca kalau binatang pun sebenarnya punya hati juga, mereka punya perasaan seperti halnya manusia yang bisa terluka apabila disakiti, mereka punya hak untuk hidup.

Recommended buat siapa saja, terlebih yang menyukai binatang.

3 sayap untuk Weedon Scott, you rock!



6 komentar:

  1. Covernya bagus banget!
    Aku selama ini lebih milih menghindari buku-buku yg bercerita tentang (atau ada) binatangnya, abis pasti kebanyakan akunya bakal mbrebes mili :'))

    BalasHapus
    Balasan
    1. kebanyakan emang mengharukan, kayak Haciko, dulu pas nonton mata berkaca-kaca, kadang pengen juga sih bisa dekat dengan binatang tapi takut :(

      Hapus
  2. reviewnya keren :D aku jadi ingin baca bukunya hihi tapi kayaknya bakal nangis-nangis, deh ketika baca ;( pas bagian yang White Fang dipukuli tadi aja udah berasa sakit hati T^T

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih :)
      emang cukup mengharukan apalagi yang sayang sama binatang, harus siap-siap tissue :)

      Hapus
  3. Saya juga udah baca ini novelnya.. Awalnya emang berbelit tapi perjalanan hidup white fang selalu minta di baca terus.. "Ketika makhluk kebencian mengenal cinta" white fang selalu belajar dari apa yang dia lihat.. Keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan kita bisa juga belajar dari hidup White Fang :)

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*