Pages

Selasa, 15 Januari 2013

Montase



Ada lima pahlawan bertopeng  pembela kebenaran, Goggle V. Sube sang Goggle Red, sang pemimpin. Rayyi sang Goggle Black, si begundal.  Andre sang Goggle Blue si pendiam. Bev si Goggle Pink si cantik, mereka kekurangan satu Goggle, Goggle Yellow, si badut, yang akhirnya disabet Haru setelah berhasil mengalahkan si Goggle Black dalam pertempuran membuat film dokumenter.

Nggak salah nih ceritanya? Ehehehe, goggle-goggle ini salah satu yang membuat saya ketawa ketika membaca buku ini.

Bercerita tentang apa buku ini? Meraih mimpi, dibumbui dengan kisah persahabatan dan cinta. Sejak mendiang ibunya mengenalkan Rayyi pada film dokumenter The Man with A Movie Camera garapan Dziga Vertov, film bisu dan hitam putih, film yang tidak ada teks yang hanya berisi potongan gambar bergerak yang direkam dengan kamera analog, Rayyi langsung jatuh cinta dengan film dokumenter, sejak itu dia ingin seperti mamanya, pembuat film dokumenter. Sayangnya keinginannya itu pupus kala ayahnya, seorang produser dan pemilik rumah produksi terkenal yang konsisten di jalur mainstream menginginkan anaknya mengikuti jejaknya, membuat film box office dan mendapatkan nilai sempurna di Peminatan Produksi, padahal Rayyi pengen banget mengambil Peminatan Dokumenter. Perjuangan Rayyi meraih impiannya atau menjadi anak yang berbakti.
Rayyi nggak nyerah begitu aja, malah tanpa sepengetahuan ayahnya dia rajin ikut festival film, salah satunya festival film dokumenter garapan Greenpeace, yang harus kecewa karena usaha kerasnya dikalahkan oleh film yang bercerita tentang sakura, film garapan mahasiswa pertukaran pelajar dari Jepang, seorang gadis liliput yang mirip boneka kokeshi yang lehernya patah, Haru Enomoto.

Sejak saat itu, Rayyi atau biasa dipanggil teman-temannya dengan sebutan Bao-Bao, sangat jengkel dengan kehadiran Haru, dia merasa nggak terima kalau film garapan Haru bisa menang, dikalahkan oleh gadis yang ceroboh. Kejengkelan Rayyi bertambah ketika dia dan teman-temannya menyusup di kelas Dokumenter -dimana sang dosen tamunya adalah Samuel Hardi, salah satu produser sekaligus sutradara  film dokumenter terbaik Asia, Rayyi tidak ingin membuang kesempatan emas itu, dia ingin menyerap semua ilmunya-  yang menyebabkan Rayyi sering bertemu dengan Haru. Tapi, justru Haru lah yang menjadi inspirasi Rayyi untuk membuat tugas film dokumenter pertama yang diberikan Samuel Hardi bertema observasi, dia ingin membuat film The Man with A Movie Camera versinya, merekam Haru seharian, di mana tingkah polah gadis itu malah membuat Rayyi tertegun, terpesona akan kepolosannya, sejak itu pendapat dan hati Rayyi pada Haru mulai berubah.

Samuel Hardi menemukan bakat terpendam di dalam diri Rayyi, dia ingin Rayyi serius mengeluti  film documenter, bahkan dia menawarinya belajar membuat film dokumenter dan magang di rumah produksinya, yang sayangnya ditolak mentah-mentah oleh Rayyi karena ayahnya. Kesempatan kedua diberikan Samuel Hardi ketika menawari Rayyi dan Haru untuk mengikuti IDFA (International Documentary Film Festival Amsterdam), Rayyi tidak ingin kalah lagi dari Haru.
“Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain, kan?”
“Bagiku, tiga persen adalah harapan, sesuatu yang kugenggam erat-erat dan tidak akan kulepaskan.”
***

Dulu judulnya Sakura Haru, saya banyak menemukan potongan-potongan bab di buku ini di cerpen yang dimuat kak Windry di kemudian.com dalam akunnya yang bernama miss worm, jauh lebih banyak dari pada Home (yang sekarang terbit dengan judul Memori) bahkan saya kira membaca endingnya juga, yang ternyata setelah selesai membaca buku ini masih banyak lanjutannya, mengejutkan dan menyenangkan sekali :D. Membaca buku ini tidak semengebu-ngebu ketika membaca Memori, padahal waktu saya membaca potongan cerita di situs tersebut saya jauh lebih menyukai Sakura Haru daripada Home, entah karena saya sudah tahu garis besar ceritanya atau karena ada perubahan cerita. Dulu pas baca di kemudian.com saya mendapati Rayyi sangat  mencintai dunia fotografi, dulu saya sudah jatuh cinta sama Rayyi dengan fotografinya. Di buku yang dipoles ulang ini, saya dapati bukan dunia fotografi malainkan dunia sinematografi, lebih tepatnya tentang film dokumenter.

Bagus, sangat bagus malah idenya, saya belum pernah membaca buku yang bercerita tentang seluk beluk dunia perfilm-an. Apalagi kak Windry menyorot tentang film dokumenter yang aslinya aja emang jarang orang tonton, nggak banyak orang tahu, yah walau nggak secara rinci dijelasin, lebih ke dasar-dasarnya, misalnya kamera apa aja yang di pake dan teknik penggambilan gambar. Toh tentang fotografi udah dibicarakan kak Windry di novel pertamanya, Orange. Hanya saja ketika saya membaca versi baru ini saya selalu membandingkan dengan versi lama, dulu kayaknya nggak gini deh, dulu Samuel Hardi ini perannya diisi sama Erod (lupa namanya) yang pernah muncul di Orange, seperti itulah, saya gagal move on dari versi lama.

Tapi, seiring berlalunya halaman saya sedikit demi sedikit bisa menerimanya, walau berharap akan ada perubahan yang drastis akan nasip Rayyi dan Haru.

Ada dua hal yang mengganjal di buku ini menurut saya, membuat saya kurang puas, pengen tahu kenapa film Haru yang menang padahal dia hanya memakai kamera biasa (film yang pertama kali mempertemukan Rayyi dan Haru, film tentang sakura itu, apa jawabannya yang Haru bilang ke Rayyi dalam bahasa jepang yang artinya hidup itu indah? Itu aja?) sama kompetisi film di Belanda yang awalnya saya kira penulis lupa ternyata di sampaikan di akhir-akhir, padahal saya sangat menanti-nantikan sepak terjang Rayyi yang sayangnya dijelaskan secara singkat, banget.

Penulis pernah berkata kalau pembaca itu tidak bisa dibohongi, maka sangat penting adanya riset, entah penulis kecolongan atau mengindahkan penyakit Haru sehingga terkesan klise, sinetron banget. Yah, namanya juga fiksi, menjadikan mustahil menjadi bisa :D. Kalau di Memori ada sosok nyata Frank O. Gehry dan Rem Koolhaas, di buku ini kak Windry memperkenalkan kita dengan sutradara asal Rusia, Dziga Vertov dengan film yang dibuatnya pada tahun 1929, The Man with A Movie Camera.

Untuk karakternya, Rayyi emang agak cemen, kadang dia bisa kuat, bebas, menyusup mengikuti mata kuliah sesuka hatinya tapi ketika berhadapan dengan ayahnya dia tak berkutik. Saya mengganggap sikap Rayyi itu menghormati ayahnya, keluarga satu-satunya, yang tidak ingin melukai perasaan ayahnya walaupun dia harus mengorbankan perasaannya sendiri, impiannya sendiri, dilemanya. Untuk Samuel Hadi, dia mengginggatkan saya akan Simon Marganda di Memori, sang perfeksionis dan sinis, tapi ada tambahan predikat penjahat kelamin :D. Untuk google-google lainnya, mereka penyedap novel ini. Sedangkan untuk Haru, dia memang menempati porsi di hati Rayyi tapi tidak banyak untuk buku ini sendiri, buku ini lebih bercerita tentang bagaimana Rayyi meraih impiannya, sedangkan Haru ada dalam prosesnya.

Bagian favorit saya ketika Rayyi mulai berani meraih impiannya, menjadi kacung di rumah produksi Samuel Hardi, saya bersemangat sekali mengikuti apa yang akan dilakukan lagi oleh Rayyi demi menggapai impiannya.

Montase, diambil dari montage, istilah sinematografi yang berarti kumpulan gambar bergerak yang membentuk film. Saya rasa pengambilan judulnya tepat sekali berhubung novel ini bercerita tentang dunia sinematrografi. Untuk sampulnya, yang berupa sketsa pita seluloid tanpa warna, keren banget, lain daripada yang lain, baru kali ini saya nemuin cover model begini (sumber: windryramadhina.com). Kayaknya gagas menemukan desain sampul yang kece banget selain Jeffri Fernando dan Dwi Anissa Anindhika :D.

Sejauh ini, Memori masih buku kak Windry yang paling the best bagi saya, tapi saya akan selalu menunggu tulisan-tulisan kak Windry yang khas, mengalir apa adanya, bercerita tentang sesuatu yang baru lagi. Saya akan setia menunggu novel barunya lagi dan berharap bisa menemukan buku yang lebih dasyat dari Memori :D

4 sayap untuk Papaver somniferum.


Penulis: Windry Ramadhina
Editor: Ayuning & Gita Romadhona
Desain sampul: Lany Sekar
Penerbit: Gagasmedia
ISBN: 979-780-605-7
Cetakan pertama, 2012
360 halaman
Harga: 42k (pre order di kak Windry Ramadhina :p)

13 komentar:

  1. belum pernah baca bukunya Windry
    tapi penasaran

    BalasHapus
  2. yang google2 itu apa toh mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu sebutan temen Rayyi, Sube, untuk menggambarkan persahabatan mereka :D

      Hapus
  3. skip isi postingan, coz bukunya udah punya tapi belum sempat baca.
    btw. judulnya kurang huruf, lis

    BalasHapus
    Balasan
    1. ehehehe, udah tak edit mbak, tadi malam udah ngantuk :D

      Hapus
  4. Google ato Goggle, lis? Klo diambil dari serial tokusatsu jaman dulu itu sih mestinya Goggle yg bener

    BalasHapus
    Balasan
    1. jiakakaka, mulai rabun nih mataku, coba nanti aku cek lagi di buku yang bener yang mana :D

      Hapus
  5. Covernya gagas biar cuma hitam putih macam sketsa kasar gitu tetep oke yaaa *kagum dg kualitas desainnya*

    Aku blm baca yg memory nih, saling berhubungan kah keduanya?

    BalasHapus
  6. kayaknya menarik, tapi belum nemu di toko buku terdekatku sampai sekarang :(

    BalasHapus
  7. wah masak belum ada? coba ke olshop aja pasti ada :)

    BalasHapus
  8. aku juga suka dg bukunya kak windry :)

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*