Pages

Selasa, 17 September 2019

Frankly in Love by David Yoon | Book Review

Judul buku: Frankly in Love
Penulis: David Yoon
Penerjemah: Daniel Santosa
Editor: Tri Saputra Sakti
Ilustrasi sampul: Staven Andersen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020631691
Cetakan pertama, September 2019
464 halaman
Buntelan dari @tsaputrasakti
Pada tahun terakhirnya di SMA, Frank Li, seorang Limbo—istilah yang dia pakai untuk menyebut anak-anak Korea-Amerika—terjebak di antara ekspektasi orangtua yang tradisional dan kehidupan modern California Selatan. Orangtuanya punya satu aturan dalam pacaran—“Hanya boleh dengan orang Korea”—yang menjadi rumit ketika Frank menaksir Brit Means, yang cerdas, cantik—dan berkulit putih.

Sebagai sesama Limbo, Joy Song juga terjebak dalam masalah yang sama dan mereka membuat perjanjian: mereka akan pura-pura pacaran supaya bisa mendapat sedikit kebebasan. Frank merasa rencananya sempurna, tapi pada akhirnya, taktik pura-pura pacaran ini membuat Frank bertanya-tanya apakah dia benar-benar mengerti apa itu cinta—atau siapa dirinya. 
Dewasa ini, selain mental illness, genre Young Adult banyak 'disusupi' tema Diverse Books, tema yang cukup riskan tapi penting untuk dibahas, misalkan saja isu SARA (suku, ras dan agama). Tokoh utamanya tidak melulu sempurna dan berkulit putih, tapi bisa dari berbagai negara atau keturunan, lintas etnis dan budaya, kadang bisa sangat spesifik, menyinggung juga soal identitas seksual. Tentang keberagaman dan toleransi, dan tentu saja dalam bentuk negatif, rasis. 

Itulah kenapa saya pernah membuat rekomendasi Buku Remaja Yang Boleh Dibaca Siapa Saja, karena di buku remaja atau young adult ini kita bisa menemukan berbagi macam cerita yang sangat berhubungan dengan keseharian kita, salah satu genre yang menurut saya timeless. Kita bisa mendapatkan berbagai pesan moral lewat buku remaja, seringnya memiliki pesan yang dalam.

David Yoon bukan orang pertama yang mengangkat tema ini, bahkan istrinya lebih dulu bersuara lewat Everything Everything. Dari pengalaman saya yang nggak seberapa ini soal Diverse books, ada beberapa yang pernah saya cicipi, misalkan saja yag cukup terkenal: Eleanor & Park, To All the Boys I've Loved Before, The Hate U Give, dsb. Keturunan Korea dan berkulit hitam bisa dibilang mendominasi, tapi ada pula When Dimple Met Rishi (India) dan American Panda (Taiwan) bisa menjadi alternatif lain, mulai banyak buku bertema Diverse yang diterjemahkan.
Seperti itulah pengusiran terjadi. Tidak seperti hukuman final yang dijatuhkan dalam pengadilan keluarga. Pengusiran merupakan pengabaian yang dilakukan secara bertahap.
Dulu aku mengira dia begitu berani, tapi sekarang aku bertanya-tanya apakah bersikap berani sepadan dengan risikonya. Orang berani yang pertama kali maju perang. Namun, itu juga yang membuat mereka gugur pertama kali.
Karena orangtuaku adalah kartu yang kudapatkan, kartu yang tak dapat kutukar. 
Frankly in Love dari segi judul kita bisa menebak cerita bakalan tentang kisah cinta, memang benar, tapi lebih dari itu. Frank adalah anak dari orangtua imigran Korea, dia 100% Korea tapi tidak begitu mengenal Korea, dia tidak fasih berbahasa Korea, dia tidak hafal berbagai macam makanan dan tradisi. Yang dia tahu seumur hidupnya dia tinggal di California, memiliki dua nama -barat dan Korea- yang keduanya berjumlah 7 dan 9, yang konon membawa keberuntungan. Sebulan sekali dia harus mendatangi Pertemuan, sebuah acara menjalin silahturahmi dengan warga Korea di Amerika. Dan yang paling penting, dia harus pacaran bahkan menikah dengan sesama orang Korea.

Orangtuanya begitu rasis, contoh nyata adalah Hanna, kakaknya. Bisa dibilang dia sudah dicoret dari silsilah keluarga karena menikah dengan pria berkulit hitam. Berargumen dengan kedua orangtua Frank sama sekali tidak berguna, bagi mereka orang Korea lah yang paling istimewa, dan apabila sudah mengarah ke rasis yang keterlaluan atau berupa hinaan, mereka akan mengelak dan bilang kalau hanya bercanda. Makanya dia begitu frustasi ketika jatuh cinta dengan Brit Means, gadis berkulit putih. Frank ingin seperti kakaknya yang berani dan tegas, tapi sekarang dia satu-satunya tumpuan keluarga, dia tidak ingin membuat orangtuanya sedih.

Merasa memiliki masalah yang sama, Frank mencetuskan ide untuk pacaran pura-pura dengan Joy Song, teman sekolah sekaligus sesama Limbo, anak-anak Korea-Amerika. Joy memiliki hubungan cukup lama dengan Wu Tang, peranakan Tiongkok, Wu sangat ingin berkenalan dengan orangtua Joy tapi dia selalu menghindar. Hubungan pura-pura ini diharapkan akan lebih mempermudah mereka untuk bertemu di luar sekolah, kencan misalnya. Namun, bukankah satu kebohongan akan membawa kebohongan lainnya? 
Orang-orang yang mau mengakui kalau mereka belajar sesuatu yang baru adalah orang-orang terbaik.
Kalau punya tekad untuk melakukan sesuatu, terus berjuang untuk mendapatkannya, dan tidak putus asa, kau bisa melakukan apa saja. Dan tidak ada tekad yang lebih hebat daripada tekad untuk mencintai siapa pun yang kau mau.
Paruh pertama kita akan mendapatkan realitas bagaimana orang Korea di Amerika memandang selain etnis mereka, tentang kerasisan mereka yang cukup kental. Misalkan saja orang Meksiko yang gemar mencuri, orang berkulit hitam yang selalu identik dengan kriminal (bahkan Q dalam sebuah adegan, pernah ketakutan ketika menunggu Frank dan Joy, karena kalau orang berkulit hitam ditemukan sendirian, lebih mudah ditembak polisi). Sinisme mereka kepada orang Tiongkok yang mulai 'merebut' pasar mereka, memelesetkan bahasa mereka dengan ching-chong-chang-chang.

Buku ini bukan murni tentang kisah cinta, memang ada porsi yang cukup kuat walau tidak terlalu eksplisit, tapi kalau dari awal berharap kisah cinta beda ras menjadi poin utama, kalian harus menekan ekpektasi. Untuk kisah cintanya, sejak awal saya sudah merasakan kalau tidak ada perasaan cinta yang begitu dalam dari Frank untuk Brit, rasanya terlalu dipaksakan, tidak ada chemistry. Makanya butuh kesabaran kalau kalian membaca bagian awal, karena penulis fokus menunjukkan kerasisan orangtua Frank. Dan semakin ke belakang tebakan saya benar, ada alasan kenapa hal tersebut terjadi.

Buku ini lebih menekankan bagaimana seorang anak menghadapi orangtuanya yang rasis, yang mendekte apa yang paling bagus untuk masa depan mereka. Tentang pilihan hidup yang harus diambil. Apa yang menurut mereka bagus, belum tentu sempurna, karena bukan mereka yang menjalani. Frank lahir dan hidup di Amerika, yang terdiri banyak ras, dan dia bisa berkompromi, dia tidak masalah dengan perbedaan, bahkan sahabatnya, Q, berkulit hitam dan sangat pandai. Hanya saja membuat pikiran orangtuanya terbuka bukanlah hal yang mudah.

Selain aspek keluarga yang cukup kental, kita juga akan disuguhi kisah persahabatan yang seru antara Frank dan Q. Membahas mereka saya jadi menyetujui kalau gaya bercerita David Yoon ini sedikit mirip dengan John Green, yang suka membuat karakter GGS (Geek, Genius, Sarcasm). Frank dan Q, serta teman-temannya yang lain bisa dibilang anak-anak pandai, bahkan ada guru yang terkesan dengan nilai SAT mereka. Namun, yang seru penulis membuat mereka seperti remaja pada umumnya, bukan seorang kutu buku yang tidak gaul. Saya suka bila Frank dan Q membahas gim yang mereka mainkan, saya suka bagaimana Q sangat memahami dan selalu ada bagi Frank. Dan saya suka juga dengan plot twist di antara mereka, ada sisi penerimaan diri yang juga diselipkan penulis.

Ada satu adegan yang cukup emosial bagi saya, ketika ayah Frank berkata, "Kau jadi ayah terbaik nomor satu sedunia untuk Sunny." Pada akhirnya keluarga tetaplah keluarga, akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Bagi kalian yang mencari buku YA yang bertema diverse, Frankly in Love bisa menjadi pilihan, kita akan melihat bagaimana pandangan rasis itu bisa sangat menyakitkan dan melukai. Bukankah lebih enak kalau kita hidup damai sesama manusia dengan berbagai keragaman? Entah kalian dari etnis mana dan apa warna kulit kalian, kita tetaplah manusia yang memiliki hak yang sama, hidup di dunia ini.

4 komentar:

  1. Menarik ceritanya. Emang rasisme nggak pernah ada habisnya sih di Amerika, meskipun katanya melting pot.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih tepatnya ada di mana-mana, di Indonesia pun rasisme masih kental. Makanya sekarang banyak penulis, khususnya penulis luar yang nulis diverse books, salah satu tujuannya ya biar banyak yangt melek kalau rasisme itu suatu yang jahat.

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*