Pages

Jumat, 02 Maret 2018

Forgetting Not Forgotten by Wiwi Suyanti | Book Review

Judul buku: Forgetting Not Forgotten
Penulis: Wiwi Suyanti
Editor: Dion Rahman
Desainer cover: Ulayya Nasution
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
ISBN: 978-602-04-5315-6
Cetakan pertama, 22 Februari 2018
410 halaman
Buntelan dari penulis.
Seb Januardi nyaris memiliki segalanya. Tampan, mapan, berkuasa. Hanya dengan menyebut nama belakangnya saja, ia bisa mendapatkan apa pun yang ia mau. Kemudian hidupnya berubah drastis ketika takdir mempertemukannya dengan sosok gadis berusia sepuluh tahun lebih muda darinya di dalam sebuah bus tua. Cantik, misterius, dan seolah tahu cara melumpuhkannya dengan telak. 

Bersama gadis itu, jatuh cinta sedalam-dalamnya adalah hal termudah yang bisa Sebastian rasakan. Dan melupakannya, adalah hal tersulit yang takkan pernah bisa ia lakukan. Lalu, ketika sosok itu benar-benar pergi, mampukan ia menjalani kehidupannya seperti semula?

***

“Aku punya firasat kita akan menjadi akrab.”
“Hati-hati,” gadis itu tersenyum tipis. “Kalau terlalu akrab, elo bisa ketagihan.”
Muak karena hidupnya selalu diatur oleh sang ayah, Sebastian Januardi melakukan hal yang tidak pernah dia bayangkan sama sekali. Di luar kebiasaanya, naik kendaraan umum secara acak selepas memutuskan pergi dari rumah sakit, tempat tunangannya dirawat pasca kecelakaan yang mereka alami. Sebastian tidak akan pernah menyangka kalau kehidupan baru dimulai setelah malam itu.

Di kendaraan umum yang tanpa tahu arah tujuan, Sebastian berusaha mengusir perasaan jenuhnya, dia amat lelah dan ingin tidur dengan nyenyak, dia butuh waktu tenang untuk menyendiri. Dengan masih menggunakan tuksedo, tentu dia menjadi bahan perhatian penumpang lain, terlebih dia tidak membolehkan seorang pun duduk di sampingnya. Lalu ketenagannya mulai terusik ketika ada anak SMU yang tidak melihat peringatan yang dibuat Seb.

Sebastian mencoba mengabaikan keberadaan anak SMU di sampingnya, tapi justru dia membuat penasaran. Dia tidak seperti remaja kebanyakan, pulang di jam yang sudah sangat larut dan mendengarkan Etta James. Tanpa Sebastian sadari dia malah memerhatikan dengan intens sampai anak SMU tersebut risi dan mempertanyakan kenapa pemuda dengan penampilan rapi seperti dirinya malah menaiki kendaraan umum untuk orang miskin.

Obrolan pun tercipta dengan sendirinya, entah kenapa Sebastian malah merasa nyaman dan berani mencurahkan perasaan kepada orang asing tersebut. Tentang tunangan Sebastian yang dengan sengaja menambrakkan mobil mereka karena Sebastian tidak ingin menikah dengannya karena dia tidak memiliki perasaan apa pun padanya, hubungan mereka diatur oleh orangtua hanya untuk kepentingan bisnis semata. Sebastian bahkan tidak sedih sama sekali ketika tunagannya terluka cukup parah dan dia hanya mendapatkan beberapa jahitan.

Tanggapan remaja tujuh belas tahun tersebut di luar perkiraan Sebastian, bukannya menghakimi dia malah mengatakan kalau bukan dia saja orang berengsek yang pantas mati di dunia ini. Gadis tersebut tidak lah berbeda dengan Seb, dia merupakan pacar dari lelaki yang sudah beristri, bahkan dia tinggal di apartemen yang dibelikan pacarnya agar leluasa bertemu, dia tidak butuh cinta, melainkan uang.

Hingga gadis tersebut turun dari bus yang mereka tumpangi, Sebastian tidak yakin apakah bisa bertemu lagi dengan dirinya, tanpa tahu nama dan identitas lain. Seb merasa dialah satu-satunya orang yang sangat mengerti dirinya, tentang luka-lukannya.
"Kamu pernah merasa lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja, semuanya sempurna, sementara dada ini rasanya ingin meledak? Orang menganggapku manusia paling nggak tahu diri dan nggak bisa bersyukur, tapi mereka nggak tahu gimana rasanya menjalani hidup sepertiku."
Jujur saja, awalnya saya mau menolak tawaran penulis ketika ditawari membaca karyanya ini, bukan karena tidak suka, tapi saya nggak bisa berjanji segera menyelesaikan dan mereviewnya, karena saya dalam kondisi nggak bisa ngeblog saat itu. Lalu saya mencoba mencari tahu tentang buku ini di goodreads, belum banyak yang mereview bahkan hampir tidak ada, mungkin karena buku baru. Lalu saya membaca review buku lain dari penulis, ternyata cukup banyak yang suka, bahkan rata-rata memberikan rating 4 bintang. Saya pun bilang apa adanya akan kondisi saya tersebut dan untungnya dengan baik hati penulis mau menunggu, dia mengantongi satu poin positif dari saya, hehehe.

Saya memang membutuhkan waktu lama untuk menulis review, tapi lain cerita ketika saya menyelesaikan buku ini. Begitu buku ada di tangan, awalnya saya iseng baca sinopsis dan beberapa halaman awal, tapi tanpa terasa malah keterusan dan selesai tidak lebih dari dua hari saja. Secara keseluruhan, saya cukup menikmati gaya bercerita Wiwi, tulisannya enak dan tanpa berbelit-belit, sangat mengalir sekali. Bila kalian suka jenis tulisan yang tidak puitis dan berbunga-bunga, lebih ke blak-blakan apa adanya, maka kalian mungkin akan cocok dengan tulisan Wiwi Suyanti.

Untuk perhatian dan digaris bawahi, buku ini memiliki label dewasa, jadi sudah pasti ada adegan atau perbuatan yang tidak boleh dikonsumsi anak di bawah umur. Konflik yang diusung penulis pun tidak semua orang bisa menerima, apalagi ada jarak usia yang terpaut sepuluh tahun antara kedua tokoh utamanya. Bahkan kalau saya boleh membandingkan, konflik yang diangkat penulis menjamur di cerita dewasa yang ada di platform wattpad, ada elemen Fifty Shades of Grey hanya saja tanpa versi cambuk mencambuk.

Walau tergolong mainstream, tapi Wiwi memberikan rasa akan ceritanya. Kelebihan utama adalah karakter, dia cukup kuat membangunnya sehingga cerita enak untuk dinikmati. Saya suka ketika Wiwi mengupas latar belakang kehidupan Sebastian, terlebih akan luka-lukanya, sehingga bisa menjawab kenapa dia seperti itu sejak awal, memberikan kesan gelap yang cukup melekat pada dirinya. Sedangkan untuk Serra, walau dia masih remaja tapi pemikirannya sudah dewasa, dia tipe gadis yang kuat dan berpendirian, dia bukan tipe gadis lemah yang menunggu untuk ditolong.

Adegan favorit saya adalah ketika Sebastian berinteraksi dengan Serra, terasa lepas bagi mereka berdua. Lewat obrolan yang terjadi mereka berusaha menyembuhkan luka masing-masing. Untuk adegan dewasanya, sebenarnya nggak eksplisit banget, kok. Hanya saja dari segi moral mungkin tindakan mereka tidak mudah diterima, tapi yah, di luar sana memang ada yang seperti itu. Nggak semua cerita harus yang manis-manis.

Walau ada beberapa adegan klise dan mudah ditebak, misalkan ketika Seb tahu siapa Serra sebenarnya, saya tidak keberatan. Konfliknya jelas dan ada penyelesaian, itu yang saya suka, jadi tidak nanggung. Mungkin ini juga alasan kenapa buku ini cukup tebal, karena masing-masing tokoh memeliki masalah tersendiri yang nantinya akan bersinggungan dan penulis mengurainya satu persatu dengan alur yang cukup cepat, sehingga tidak terkesan membosankan. Bahkan ada plot twist yang tidak saya antisipasi sebelumnya, cukup membuat kaget, padahal kalau jeli membaca dari awal mungkin bisa saja ketahuan, hahaha.

Satu hal yang saya tidak suka dari buku ini selain hal klise tadi, covernya. Saya suka warnanya tapi entah kenapa untuk ilustrasinya tidak terlihat indah. Mungkin untuk mengambarkan Serra yang cukup misterius kali ya, tapi saya jauh lebih suka cover buku pertama penulis, manis, hehehe. Terlepas dari kekurangan, Forgetting Not Forgotten menjadi pengenalan yang cukup baik dari tulisan Wiwi Suyanti, saya cukup tertarik dengan buku dia yang lain, mungkin nanti cek di wattpad, deh, semoga ada cerita utuh yang tidak dihapus :p.

Untuk kalian yang sudah dewasa, yang ingin membaca cerita romantis dengan bumbu gelap dan penuh luka serta sedikit misteri, Forgetting Not Forgotten boleh dibaca untuk melepas penat.

6 komentar:

  1. Lini CityLite memang kadang membawa cerita yang nggak umum. Tapi juga punya aura yang segar. Wah, saya mesti sempatkan baca buku lini ini. Kalo gak salah mirip metropop gitu.

    Untuk kover, saya setuju, tak suka. Terlalu absurd. Ditambah font-nya yang tidak indah. Sayang, padahal perihal kover, penerbit bisa ambil opsi jajak pendapat ke pembaca, kayak penerbit tetangga. Hrhehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, setema dengan metropop :D

      Sebenarnya udah ada jejak pendapat, sih, cuma hanya beda warna aja. Semoga nantinya lebih baik lagi :D

      Hapus
  2. Covernya kok ngeri ya kak. Seperti ada aura horornya begitu. Padahal cover itu salah satu yang menambah semengat untukku membaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fokus ke ceritanya aja, hihihi, abaikan covernya

      Hapus
  3. Walaupun covernya begitu, tapi ceritanya bagus ya mbak? Aku belum pernah baca dari line citylite ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayan kok, baca aja :)
      Kalau suka cerita kayak Metropop, nah CityLite ini sama aja, beda penerbit makanya nama lini-nya juga beda, tapi dari segi cerita sama :)

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*