Hai hallo, jumpa lagi di postingan Let's Talk, tempat di mana saya mengemukakan pendapat akan isu atau sebuah topik kepada pembaca untuk didiskusikan bersama. Topik kali ini masih berhungan dengan dunia buku, pastinya, hanya saja saya akan merambah ke platform sosial media yang biasa digunakan untuk berpromosi, sebuah media yang mungkin saja bisa menggeser media lainnya, khususnya blog, yaitu youtube dan instagram. Saya akan membahas pilih jadi book blogger, booktuber atau bookstagrammer? Let's Talk.
Mungkin banyak yang merasakan hal sama dengan saya, sekarang ini eksistensi para blogger buku mulai berkurang, banyak blogger buku yang hiatus, tidak seramai dulu, bahkan di dalam komunitas yang saya ikuti bisa dibilang sudah tidak ada interaksi aktif, mati suri. Tentu banyak berbagai alasan, mulai dari tidak ada 'feel' untuk ngeblog, ada prioritas lain, tidak punya waktu lagi, dsb. Di sisi lain, setelah era Blog muncul platform lain untuk mengekspresikan kecintaan tehadap buku di Indonesia, pengguna Youtube dan Instagram yang mengkhususkan akunnya untuk membahas dunia buku, biasa disebut booktuber dan bookstagrammer.
Sabtu minggu lalu saya berkesempatan membajak akun instagram @penerbit_haru guna membagi pengalaman meresensi buku lewat blog, selain saya ada teman lain yang juga membagi pengalamannya lewat media Youtube dan Instagram. Berhubung saya pernah atau saat ini menggunakan ketiga media tersebut, saya akan membahas media mana yang lebih cocok digunakan untuk berpromosi.
Book Blog
Blog tentu cocok untuk seseorang yang menyukai kegiatan menulis, yang suka mengekspresikan perasaanya lewat kata-kata. Kelebihannya adalah kita tidak dibatasi durasi dan jumlah kata yang diperbolehkan, kita bisa menuliskan apa saja yang ingin dituangkan. Selain itu, blog bisa dibilang timeless, ketika kita mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan buku, maka google akan dengan mudah menyimpan apa yang kita tulis, langsung ketahuan, dan pembaca dengan mudah bisa menikmati. Kekurangannya adalah kadang malas untuk membaca, terlebih kalau tulisannya terlalu panjang dan membosankan.
Booktube
Bila kalian lebih suka berbicara secara langsung, maka melalui media visual yang bergerak ini sangat cocok. Booktube membuat penonton tahu ekspresi kita secara langsung akan topik yang diangkat, terlebih kebanyakan orang lebih suka menonton daripada membaca karena biasanya lebih praktis. Tantangannya tersendiri adalah kita harus pintar mengemas bahasan agar tidak terlalu panjang karena poin penting di media ini adalah durasi, editing, dan tentu saja percaya diri.
Durasi berhubungan dengan kuota internet, ya, tidak semua orang bisa mengakses wifi gratis dan menonton sebuah video bisa menyedot habis kuota bagaikan lintah darat, biasanya orang lebih suka untuk sosial media lain seperti aplikasi chat. Selain itu, booktube di Indonesia belum sebesar di luar sana, banyak yang lebih suka menonton vlog sehari-hari daripada ulasan buku.
Booktube juga penuh tantangan karena melibatkan editing yang tidak mudah sehingga kadang memakan waktu untuk menampilkannya. Editing berpengaruh agar video menjadi rapi, menarik dan tidak membuang waktu. Selain itu peralatan untuk merekam video yang berkualitas biasanya memiliki budget yang mahal.
Percaya diri membuat tampilan kita lebih lantang dan tidak terbata-bata, kalau penampilan kita lemas dan tidak semangat, tentu orang malas untuk melihatnya, sehingga dibutukan keberanian.
Baca juga: 10 Bookstagram Indonesia yang Wajib Kamu Pantengin
Bookstagram
Media ini tentu cocok bagi yang menyukai gambar dan dunia fotografi, kekurangannya adalah tidak semua orang bisa menampilkan foto yang bagus dan membuat kita eyegasm, selain itu ada batas jumlah kata yang bisa kita gunakan di caption, sehingga kita tidak bisa bebas ketika ingin mengulas. Bookstagram memang cocok bagi yang malas baca panjang-panjang, dan paling penting karena termasuk media visual, orang cenderung menyukai tampilan yang indah-indah, sehingga performa foto menjadi yang utama, baru melirik tulisan. Bahkan, sekarang ini bisa dibilang bookstagrammer mulai merajalela.
Foto tidak bagus bukan berarti tidak bisa kreatif, kita bisa mengakalinya dengan menggunakan properti foto, menggunakan bookish items seperti candle, funko, bunga bahkan makanan dan kopi/teh agar terlihat menarik. Dalam hal ini yang paling penting bagi saya adalah fotonya enak dilihat, selanjutkan dilengkapi dengan ulasan yang singkat dan menarik. Tidak perlu juga menggunakan kamera DSLR, hanya berbekal gawai dan keahlian mengedit foto bisa membuat tampilan feed kita menarik.
Berhubung terbatas, kita harus bisa memembuat resensi yang padat dan jelas, kadang dibutuhkan beberapa foto atau daily review. Biasanya dibutuhkan 3-5 foto untuk merangkum bacaan, agar buku yang sedang dipromosikan sering muncul di feed. Kalau bukan merupakan instatour, saya lebih suka dengan 3 foto saja, tidak terlalu banyak dan bisa merangkum secara garis besar apa yang ingin saya bagi ke pembaca yang lain, kadang hanya satu foto yang berupa resensi final, ringkasan secara garis besar dan apa yang saya rasakan terhadap buku tersebut. Bahkan sekarang ini instagram bisa saya pakai untuk menulis resensi sementara ketika saya tidak sempat ngeblog, baru ketika luang saya memindahkan dan membuat versi panjangnya di blog.
Iya. Orang kita cenderung lebih suka liat gambar duluan sebelum baca teks. Jadi IG memang cocok buat sounding buku + ulasan singkat.— Rido Arbain (@ridoarbain) June 20, 2017
Tapi utk tulisan, posting di blog akan abadi juga mudah dicari sm Google. Lebih tahan lama 😂— Aya Hans (@JeruknipisAnget) June 20, 2017
Kalau ditanya dari ketiganya mana yang paling saya suka? Saya tetap memilih blog karena saya suka menulis, lebih bebas, bisa menulis sepanjang apa pun yang saya inginkan. Menulis bisa menjadi terapi bagi saya, menulis lebih mudah daripada mengambil foto atau merekam video, menulis lebih sederhana.
Saya sering memanfaatkan ketiganya, menggunakan yang memang cocok untuk topik yang ingin saya bagikan ke pembaca lain. Misalkan lewat instastory, saya akan membagikan tulisan terbaru di blog sehingga biar banyak yang tahu, tidak hanya melalui twitter dan facebook. Ketika menampilkan resensi di caption foto, saya akan menggiring pembaca yang penasaran akan kelanjutannya ke blog untuk membaca versi lengkapnya. Saya juga bisa menampilkan foto di instagram ke blog untuk pelengkap sehingga postingan kita terasa orisinil, baik tulisan dan foto hasil tangan kita sendiri. Melalui media booktube, kita bisa membuat viedo unboxing, challenge atau booktag yang lebih seru ditampilkan lewat visual, karena pada bagian ini ekspresi lah yang terpenting.
Dari ketiganya mana yang lebih bagus untuk berpromosi? Tentu ketiganya saling melengkapi, ketiganya merupakan media yang berbeda; tulisan, foto, video. Lewat media tersebut kita bisa menjaring pembaca dari berbagai platform, karena saya melihat tidak semua booktuber atau bookstagrammer menjadi book blogger, pun sebaliknya. Jadi ya, benar kata mbak
Nah, menurut kalian media apa yang cocok bagi kalian dan sebutkan juga alasannya? Apa kekurangan dan kelebihan dari ketiga media di atas versi kalian? Kalian ingin jadi seorang book blogger, booktuber atau bookstagrammer? Let's Talk! Silakan komentar di bawah ya :D
Ah bener bgt 😂😂 setuju.. Hana masih paling suka blog meski skrg hana jrg ngeblog dan blog walking juga.. Jadi berasa sepi di blog.. Tahun lalu waktu rajin blog walking, blog rame. Soalnya temen2 book blogger hana yg luar negeri hana liat komen2 mereka msh banyak.. Tp hana liat di twitter dan ig, mereka aktif promoin blog mereka
BalasHapusMengurus blog memang perlu waktu, beda dengan instagram yang lebih simple dan aksesnya mudah :D
Hapuslebih suka baca review buku di blog, kalao di ig kurang puas bacanya,,
BalasHapusKarena terlalu pendek ya? Hehehe
Hapustetap prefer ke blog sih kak, karena seperti kak sulis, saya juga suka nulis dan curhat (jiahh), jadi masih lebih suka ngetik pake keyboard dari pada pake keytouch... :D
BalasHapusHihihihi, emang nyaman ngetik di keyboard, sih, aku juga gitu :D
Hapusmantaap kak
BalasHapus