Pernah nggak membaca review tentang buku favorit kalian di mana isinya menjelek-jelekkan dan dikasih rating seuprit? Buku bagi mereka yang tidak ada artinya dan lebih baik dilempar saja saking MEH ceritanya, padahal kalian sangat memujanya? Buku yang menjadi favorit sepanjang masa eh bagi orang lain buku terjelek yang pernah ada? Buku yang tulisannya ampun-ampunan jelek setengah mati kok ya bisa diterbitkan. Saya sering banget, apa yang harus kita lakukan ketika seolah-olah semesta ikut mengecam buku favoritmu? Let's talk :D
Sebenarnya sah-sah saja tiap pembaca ingin mengeluarkan pendapat akan buku yang dibacanya, tidak ada yang mengatur atau melarang toh itu kebebasan tiap orang, setiap buku pasti berdampak lain bagi pembaca satu dengan pembaca lainnya. Cara menyampaikannya pun bisa beda-beda, yang namanya manusia tentu memiliki cara pandang dan sifat yang berbeda. Ada yang lugas dan apa adanya, ada yang sopan tapi ujung-ujungnya nylekit, ada yang penyampaiannya halus kayak putri keraton. Dan yang paling penting dan utama adalah soal selera, itu harga mati, tidak bisa diganggu gugat.
Genre romance memang sering dipandang sebelah mata, bacaan yang receh, dan dari genre itulah saya mendapati beberapa buku favorit saja dihujat banyak orang, wakakaka. Misalkan saja yang sering saya temui, buku-bukunya Ika Natassa. Banyak yang tidak suka cara Ika menulis dengan memakai bahasa campuran, sok nginggris, belum lagi karakternya yang cenggeng dan masalah sepele saja dibesar-besarkan. Sitta Karina dengan kaum hedon dan barang branded, tokoh yang miskin saja tetap terlihat lebih mampu, masih bisa ke kafe-kafe mahal dan melek dengan fashion terkini. Christian Simamora dengan bahasa alay dan ceritanya yang sering bikin kipas-kipas. Tidak ketinggalan buku fantasi yang fenomenal, Twilight, LOL.
Kenapa saya menyukai cerita-cerita receh yang sering dihujat, misalkan saja dari penulis di atas? Mudah saja jawabannya, karena cerita mereka begitu membekas bagi saya. Dari segi kualitas tentu nama mereka tidak perlu diragukan lagi, Ika Natassa bisa disebut dengan predikat dewi-nya metropop, secara teknis dia tahu bagaimana caranya menulis. Sitta Karina kerap kali menjadi mentor penulisan, sedangkan Christian Simamora adalah editor senior yang sudah membimbing banyak penulis hebat lainnya. Yah, mereka orang-orang yang memang tahu bagaimana caranya menulis dengan baik dan benar.
Ketika membaca buku yang sebelumnya saya tahu bukan cangkir kopi saya, saya selalu mencoba untuk objektif. Ada beberapa bagian yang tidak boleh saya campuri, misalkan saja gaya menulis. Tiap penulis pasti punya gayanya sendiri, yang menjadikan mereka memiliki ciri khas. Misalkan saja Prisca Primasari selalu menulis dengan aura gloomy dan dark, ya bukan hak kita menyuruh dia menulis cerita yang ceria. Morra Quatro selalu membuat sad ending, membuat saya ingin menendang bukunya tapi ya mau bagaimana lagi, memang itu kisah yang diciptakan penulis. Kemudian tentang karakter, kita tidak bisa mendikte karakter di buku ini harus bla bla bla, itu bukan urusan kita. Bisa saja penulis dengan sengaja membuat karakter yang memang akan dibenci pembaca. Kalau kita menginginkan karakter seperti keinginan kita, ya tulis sendiri. Kita sebagai pembaca juga harus tahu posisinya.
Saya pernah bertanya kepada Cristian Simamora tentang bagaimana tanggapannya ketika ada pembaca yang tidak menyukai karyanya. Dengan mudah dia menjawab tidak terlalu dipikirkan karena dia tahu mereka bukan pembaca buku-bukunya. Hal ini saya terapkan juga ketika membaca genre yang tidak saya sukai, misalkan saja klasik atau yang bertema sejarah. Dari pokok bahasan tentu kita tahu kedua genre tersebut membahas tentang apa, biasanya yang berhubungan dengan masa lampau dan disajikan secara berbelit-belit, kita tahu konsekuensinya, ya memang begitu dan jangan salahkan bukunya kalau terasa jadul dan gampang membuat bosan. Kemudian membaca teenlit di mana sebenarnya kita bukan target pasarnya, ya jangan salahkan kalau isinya tentang remaja galau. Buku-buku Christian Simamora bermuatan dewasa semua, ya memang begitu adanya, kalau sudah tahu dari awal ya harusnya tahu apa yang akan dihadapi.
Sebagai pembaca dan penikmat, saya lebih mementingkan apa dampak yang bisa dilakukan buku yang sedang saya baca. Apakah ikut senang, sedih atau misuh-misuh dengan ceritanya. Iya, saya orangnya suka baper. Saya jarang sekali mempermasalahkan secara teknis karena saya tahu betul itu bukan kemampuan saya untuk menilai. Misalkan saja soal terjemahan, asal saya mendapatkan feel-nya dan mudah saya mengerti, tidak menjadi soal. Kemudian soal typo, saya sadar saya bukan pembaca yang jeli, asal tidak mengganggu tidak menjadi masalah. Ide cerita apa saja sebenarnya bisa dinikmati kalau cara penyampaiannya asik, tidak ada yang baru di dunia ini asal diramu dengan baik akan mudah diterima pembaca. Menciptakan karakter-karakter yang bisa menggerakkan cerita dan terasa hidup bagi pembaca, itu yang lebih penting menurut saya. Bagi saya, entah penulis bestseller atau penulis amatir asal bisa membawa saya ikut merasakan apa yang dialami tokohnya, itu sudah sangat memuaskan.
Saya menulis ini bukan untuk pembelaan, saya juga pernah di posisi banyak orang menyukai tapi saya sebaliknya. Misalkan series The Bartimaeus Trilogy, saya selalu ketiduran ketika membaca sampai akhirnya DNF. Saya ingin menampilkan sisi yang berbeda, pandangan dari orang yang memuja-muja, apa alasan yang membuat orang-orang di kubu pro menyukai, apa yang harus dilakukan ketika membaca pendapat yang kontra dengan pemikiran kita. Saya selalu mencoba objektif karena dengan begitu saya bisa menikmati berbagai macam genre bacaan. Saya juga masih berpedoman pada cangkir favorit, tapi ketika mencoba beralih ke cangkir yang lain saya sudah tahu apa yang akan dihadapi, kadang menemukan rasa pahit, kemanisan bahkan tanpa rasa. Perlu dicamkan, lidah orang itu berbeda-beda. Kita bisa langsung membuangnya saking tidak suka dengan rasanya, atau kembali dengan minuman favorit kita saja yang lebih aman.
Sudah saya tekankan dari awal, bahwa selera tidak bisa diatur, ini soal suka dan tidak suka. Dan cara mudah untuk mengatasi perbedaan pendapat sebenarnya sederhana saja, diam, iya, diam kamu! Hahahaha. Serius deh, nggak perlu dipikirkan banget kalau buku favorit kita dihujat, sampai ngetroll di goodreads, nggak ada manfaatnya. Biarkan saja mereka berkata apa, namanya juga selera. Jadilah pembaca yang bijak.
Ketika membaca buku yang sebelumnya saya tahu bukan cangkir kopi saya, saya selalu mencoba untuk objektif. Ada beberapa bagian yang tidak boleh saya campuri, misalkan saja gaya menulis. Tiap penulis pasti punya gayanya sendiri, yang menjadikan mereka memiliki ciri khas. Misalkan saja Prisca Primasari selalu menulis dengan aura gloomy dan dark, ya bukan hak kita menyuruh dia menulis cerita yang ceria. Morra Quatro selalu membuat sad ending, membuat saya ingin menendang bukunya tapi ya mau bagaimana lagi, memang itu kisah yang diciptakan penulis. Kemudian tentang karakter, kita tidak bisa mendikte karakter di buku ini harus bla bla bla, itu bukan urusan kita. Bisa saja penulis dengan sengaja membuat karakter yang memang akan dibenci pembaca. Kalau kita menginginkan karakter seperti keinginan kita, ya tulis sendiri. Kita sebagai pembaca juga harus tahu posisinya.
Saya pernah bertanya kepada Cristian Simamora tentang bagaimana tanggapannya ketika ada pembaca yang tidak menyukai karyanya. Dengan mudah dia menjawab tidak terlalu dipikirkan karena dia tahu mereka bukan pembaca buku-bukunya. Hal ini saya terapkan juga ketika membaca genre yang tidak saya sukai, misalkan saja klasik atau yang bertema sejarah. Dari pokok bahasan tentu kita tahu kedua genre tersebut membahas tentang apa, biasanya yang berhubungan dengan masa lampau dan disajikan secara berbelit-belit, kita tahu konsekuensinya, ya memang begitu dan jangan salahkan bukunya kalau terasa jadul dan gampang membuat bosan. Kemudian membaca teenlit di mana sebenarnya kita bukan target pasarnya, ya jangan salahkan kalau isinya tentang remaja galau. Buku-buku Christian Simamora bermuatan dewasa semua, ya memang begitu adanya, kalau sudah tahu dari awal ya harusnya tahu apa yang akan dihadapi.
Sebagai pembaca dan penikmat, saya lebih mementingkan apa dampak yang bisa dilakukan buku yang sedang saya baca. Apakah ikut senang, sedih atau misuh-misuh dengan ceritanya. Iya, saya orangnya suka baper. Saya jarang sekali mempermasalahkan secara teknis karena saya tahu betul itu bukan kemampuan saya untuk menilai. Misalkan saja soal terjemahan, asal saya mendapatkan feel-nya dan mudah saya mengerti, tidak menjadi soal. Kemudian soal typo, saya sadar saya bukan pembaca yang jeli, asal tidak mengganggu tidak menjadi masalah. Ide cerita apa saja sebenarnya bisa dinikmati kalau cara penyampaiannya asik, tidak ada yang baru di dunia ini asal diramu dengan baik akan mudah diterima pembaca. Menciptakan karakter-karakter yang bisa menggerakkan cerita dan terasa hidup bagi pembaca, itu yang lebih penting menurut saya. Bagi saya, entah penulis bestseller atau penulis amatir asal bisa membawa saya ikut merasakan apa yang dialami tokohnya, itu sudah sangat memuaskan.
Saya menulis ini bukan untuk pembelaan, saya juga pernah di posisi banyak orang menyukai tapi saya sebaliknya. Misalkan series The Bartimaeus Trilogy, saya selalu ketiduran ketika membaca sampai akhirnya DNF. Saya ingin menampilkan sisi yang berbeda, pandangan dari orang yang memuja-muja, apa alasan yang membuat orang-orang di kubu pro menyukai, apa yang harus dilakukan ketika membaca pendapat yang kontra dengan pemikiran kita. Saya selalu mencoba objektif karena dengan begitu saya bisa menikmati berbagai macam genre bacaan. Saya juga masih berpedoman pada cangkir favorit, tapi ketika mencoba beralih ke cangkir yang lain saya sudah tahu apa yang akan dihadapi, kadang menemukan rasa pahit, kemanisan bahkan tanpa rasa. Perlu dicamkan, lidah orang itu berbeda-beda. Kita bisa langsung membuangnya saking tidak suka dengan rasanya, atau kembali dengan minuman favorit kita saja yang lebih aman.
Sudah saya tekankan dari awal, bahwa selera tidak bisa diatur, ini soal suka dan tidak suka. Dan cara mudah untuk mengatasi perbedaan pendapat sebenarnya sederhana saja, diam, iya, diam kamu! Hahahaha. Serius deh, nggak perlu dipikirkan banget kalau buku favorit kita dihujat, sampai ngetroll di goodreads, nggak ada manfaatnya. Biarkan saja mereka berkata apa, namanya juga selera. Jadilah pembaca yang bijak.
Nah, kalau kalian sendiri apakah pernah merasakan hal yang sama seperti saya? Merasa buku favorit dikecam semesta? Buku apa saja dan bagaimana kalian menyikapinya? Let's Talk :D
Saya pernah berada dalam posisi pengecam Twilight. Hypenya gila-gilaan, adik saya langsung membeli bukunya saat tiba di toko buku kota kami. Saya yang sangat penasaran dan berekspektasi tinggi, ternyata sangat kecewa setelah mambacanya. Menurut saya Twilight terlalu overrated, dibandingkan katakanlah buku bergenre fantasi yang juga ngehits : Harry Potter. Saya tidak suka karakter utama wanitanya, Bella yang (menurut saya) terlalu dimabuk asmara dan labil juga kesalahpahaman yang selalu terjadi antara tokoh utamanya. Akhirnya saya sering "ribut" karena selalu kontra dengan pendapat adik dan teman-teman cewek lain yang ngefans berat dengan Twilight.
BalasHapusTapi, suatu kejutan tak kala saya menyaksikan adaptasi filmnya. Atas dasar solidaritas, saya menyaksikannya di bioskop bersama teman-teman cewek. Mereka puas karena Edwardnya ganteng, saya puas sekali karena adaptasi filmnya malah jauh lebih bagus dari bukunya. Aslinya saya sudah lama menyukai Kristen Stewart dan menurut saya Bella yang diperankan olehnya lebih berkarakter dibanding yang di buku (nah, lho? Gimana ya menjelaskannya... saya jadi bingung sendiri hoahahahaaa).
Two Moon, buku keduanya yang lagi-lagi saya pinjam dari adik, untungnya jauh lebih baik dari buku pertamanya. Begitu pula buku ketiga dan keempat, meski tetap agak membosankan menurut standar saya.
Hahahaha, aku malah nggak suka filmnya gara-gara pemainnya. Nah, yang kayak gini nih contohnya, perbedaan pendapat sah-sah aja. Kadang aku juga ikut menertawakan kok kalau ada yang menghujat, yah sebagai hiburan aja, dibuat asik aja :D
HapusIya, balik lagi ke masalah selera, sih. Tujuan membaca (terutama fiksi) juga kan beda-beda, ada yang murni maunya mendapat hiburan jadinya ga mau mikir, ada yang malah pusing kalau habis baca buku yang terlalu banyak plot hole, dsb.
BalasHapusYap, bener banget :D
HapusPernah ngalamin waktu lagi suka banget sama The Mortal Instruments dan ternyata golongan yang menghujat karya-karyanya Cassandra Clare enggak sedikit. Bahkan waktu Lady Midnight baru mau rilis pun udah banyak yang menghujat dengan asumsi ceritanya ga akan beda dari seri-seri sebelumnya. Agak sedih sih tahu kalau bacaan yang kita suka banget kok ternyata menurut orang lain jelek banget. Tapi yah memang betul, yang namanya selera kan enggak bisa dipaksakan. Cuma kadang agak nyess aja kalau lihat komentar yang jahat banget, even ke karya yang aku enggak suka juga, aku suka merasa enggak tega kalau baca komen yang terlalu menghujat.
BalasHapusSama, aku juga sedih kalo buku fav dihina dina tapi lama2 terbiasa, hahaha.
Hapus*ngebayangin Kak Sulis nendang buku. Wkwk.
BalasHapusAku ngerasa gitu sih. Kadang selera bacaanku dianggap receh sama sebagian orang.
“Dih Intan bacaannya novel cinta-cintaan mulu, pantas gampang baper. Baca buku sejarah kek, bisnis kek.”
Wakss!
Aku baca untuk penyegaran sih Kak Sulis. Karena udah capek kerja, capek baper sama dunia nyata *lah haha. Kalo aku dipaksa baca buku genre yang bukan cangkir kopiku, aku nggak yakin kalo baca buku akan semenyenangkan sekarang. Yap! Masalah selera emang gak bisa diganggu gugat. :)
Aku membaca juga untuk hiburan jadi nggak ingin menjadi beban kalo ada yang berbeda penilaian 😁
Hapushaha, aku juga pernah kak baper karena komentar pedas orang tentang buku yang aku suka... tapi ya itu, tiap orang punya lidahnya sendiri dalam merasa, begitu juga dengan selera bacaan... sekarang sih klo baca komen pedas tentang buku yang kita rate tinggi cuma bisa bilang "sakarep mu lah nak"... hehe
BalasHapusIya, lama kelamaan akan kebal 😁
HapusJujur, kemungkinan kalau buku favorit saya dihujat adalah... biasa saja. Karena saya sadar, orang bisa punya pendapatnya sendiri, dan benar yang mbak katakan soal selera. Semua orang punya selera atau genre yang beda-beda, saya pun nggak bisa memaksakan mereka harus menyukai genre yang saya suka, atau menyukai buku dari penulis yang saya suka. Masa bodoh, mereka mau baca apa, menghujat apa, bahkan memujinya sekalipun itu hak mereka. Saya tak bisa memaksa. Sebab juga kembali pada, "Karya dari seorang penulis apabila sudah diterbitkan, maka itu menjadi hak pembaca untuk menilai." Kalo gak salah gitu sih kalimatnya. hahaha :D
BalasHapusThankyou sudah memberi pencerahan lewat tulisan ini :)
Sama-sama mbak. Aku juga selalu ingat kata penulis Leila S. Chudori, bahwa ketika sebuah buku sudah diterbitkan maka sepenuhnya milik pembaca. Jadi, kebebasan untuk menilai 😀
HapusIya banget mbak sulis. Kalau buku udah terbit, bebas pembaca mau komentar apa aja. Kalau memang ada yg gak suka, ya udah, mungkin seleranya nggak cocok. Aku suka Ika Natassa, walaupun menurutku kadang cheesy banget dan shallow banget kayak tokohnya tuh sukses nyaris sempurna kecuali cinta hahahaha. Tapi aku tetep suka sih, soalnya gayanya Ika itu khas banget. Aku menikmati tulisannya bukan ceritanya aja. Aku nggak baca Christian Simamora karena yaa memang bukan seleraku aja. Tapi bukan berarti CS nggak bagus juga. Semua memang masalah selera, nggak ada yg bisa dipaksakan hehehe.
BalasHapusIya, tulisannya Ika khas banget, tanpa baca nama penulisnya akan langsung tahu itu tulisan Ika :D
HapusKurasa setiap orang pasti mengalami ini. Kenapa? Karena selera orang itu berbeda-beda termasuk selera bacaan. Sama aja kayak aku nggak suka matcha tapi lihat saja, di dunia ini siapa sih yang nggak suka matcha? Jadinya, kalau aku mau misuh-misuh gimana juga nggak bakal mengubah kesukaanku atau kesukaan orang terhadap sesuatu. Hahaha. Akhirnya, memang diam aja sih, setuju sama Kak Sulis. Kecuali, kalau memang pihak yang nggak satu selera itu mengemukakan ketidaksukaannya terlalu berlebihan, dan tidak sopan. Mungkin kalau aku, akan menasihati dengan bahasa yang sopan. Kalau malah ditentang juga, ya, sudah :D cuekin, hahaha :D
BalasHapusHahaha, iya cuekin aja. Btw aku juga g terlalu suka matcha, aku kira dari kacang hijau soalnya rasanya sama ternyata dari teh hijau kan ya? Padahal kalo minuman aku suka *salah fokus* 😂
HapusKurasa setiap orang pasti mengalami ini. Kenapa? Karena selera orang itu berbeda-beda termasuk selera bacaan. Sama aja kayak aku nggak suka matcha tapi lihat saja, di dunia ini siapa sih yang nggak suka matcha? Jadinya, kalau aku mau misuh-misuh gimana juga nggak bakal mengubah kesukaanku atau kesukaan orang terhadap sesuatu. Hahaha. Akhirnya, memang diam aja sih, setuju sama Kak Sulis. Kecuali, kalau memang pihak yang nggak satu selera itu mengemukakan ketidaksukaannya terlalu berlebihan, dan tidak sopan. Mungkin kalau aku, akan menasihati dengan bahasa yang sopan. Kalau malah ditentang juga, ya, sudah :D cuekin, hahaha :D
BalasHapusJadi sekeren apapun bukunya selalu aja ada yang menghujat, emang kembali lagi ke masalah selera sih kalo ini.
BalasHapusSetiap buku pasti punya pembacanya sendiri 😀
HapusAku suka baca buku Hush Hush tapi ketika kulihat review banyak orang - orang yang mencibir buku tersebut gara - gara karakter si Nora ( pemeran yang ada dibukunya ) orang yang plin plan. Tapi, menurut aku emank bagus kok. Namanya juga Nora masih remaja bingung antara menunjukkan suka sama Patch atau malah sok - sok cuek. Sayangnya susah cari crescendo nya. Bete sih. Trus bukunya Tere Liye yang dibilang orang bagus tapi menurut aku bukunya rada gak mendidik ( Daun yang tidak membenci angin ).Intinya sekarang aku mau beli buku bukan melihat dari pendapat orang tetapi dari pemikiran aku sendiri. Toh, pendapat aku sama orang tentang buku khan gak selalu sama.
BalasHapusAku juga suka Hush Hush! Dan kaget juga banyak yg g suka, hahaha
Hapusaku pernah ada di posisi penghujat dan dihujat, sepertinya. misalnya waktu diajak nonton Two Moon, aku ketiduran di bioskop (hahaa, peace ^^) dan pas mau dipinjemin bukunya aku mengurungkan niat, udah yakin bakal nggak suka. tapi terserah sih kalau banyak yang suka, toh kalau bukan seleraku ya aku nggak maksa.. hehehee..
BalasHapuskalau dihujat pernah juga karena orang-orang di sekitarku selera bukunya beda. mereka lebih suka fiksi kontemporer atau fiksi sejarah, sedangkan aku lebih suka thriller dan fantasi. mulai dibilang cetek lah, psycho lah, hahaa jadi kalau ngobrol nggak nyambung. tapi masalah selera memang nggak bisa diganggu gugat, sih, sepakat sama mbak Sulis. walaupun begitu, kadang aku juga sering penasaran sama genre yang bukan favorit, kalau belum pernah baca, kan, jadi nggak bisa berpendapat objektif? Hehehee...
Nice sharing, Mbak :D
Hahaha iya, kalau mau objektif harus benar-benar bisa ngrasain dan buktiin sendiri :D
HapusAku pernah di posisi menghujat dan dihujat Mba. *banyak pengalaman wkwk*. Aku suka tulisan2 Tere Liye, tapi banyak anak-anak sok berperilaku cool kids bilang kalo tulisan Tere Liye itu nggak banget. Kadang kesel, tapi yaudahlah, mereka yg sok cool kids emang bacaannya lebih dewa yang nyastra-nyastrawi tingkat tinggi gitu. Untuk aspek pernah menghujat, aku suka meremehkan penggemar Ilana Tan wkwk.
BalasHapusAku termasuk tim yg nggak suka Tere Liye, wakakaka. Bukan karena tulisannya, tapi lebih ke atitude penulisnya *peace* :D
HapusAku pernah di posisi menghujat dan dihujat Mba. *banyak pengalaman wkwk*. Aku suka tulisan2 Tere Liye, tapi banyak anak-anak sok berperilaku cool kids bilang kalo tulisan Tere Liye itu nggak banget. Kadang kesel, tapi yaudahlah, mereka yg sok cool kids emang bacaannya lebih dewa yang nyastra-nyastrawi tingkat tinggi gitu. Untuk aspek pernah menghujat, aku suka meremehkan penggemar Ilana Tan wkwk.
BalasHapus