Pages

Sabtu, 23 Juli 2016

Resensi: The Architecture of Love Karya Ika Natassa

Judul buku: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Desain sampul: Ika Natassa
Ilustrasi isi: Ika Natassa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-2926-0
Cetakan pertama, 10 Juni 2016
304 halaman
Titip @DhaniRamadhani di MIWF 2016
New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai dari Nora Ephron's You've Got Mail hingga Martin Scorsese's Taxi Driver, New York bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai "karakter" yang menghidupkan cerita.

Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.

Raia menjadikan setiap sudut New York "kantor"-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.

Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.
The Arcitecture of Love bercerita tentang Raia, seorang penulis bestseller Indonesia yang kehilangan muse setelah bercerai dari suaminya, dia pergi ke New York dengan harapan bisa menulis lagi, menemukan muse yang baru, tapi dua bulan di sana tak kunjung mengakhiri writer's block, belum bisa memecah kebuntuan. Sampai suatu ketika sahabatnya, Erin, mengajak Raia untuk merayakan tahun baru di apartemen temannya, Aga. Di sana dia bertemu dengan lelaki misterius bernama River, lelaki pendiam, lebih suka sibuk dengan buku gambarnya, selalu memakai sneakers cokelat, beanie abu-abu gelap dan kaus kaki berwarna hijau. Dia menarik diri dari keramaian, sama halnya dengan Raia yang lebih suka melewatkan keriuhan pesta.

Pertemuan tak sengaja kali kedua antara Raia dan River terjadi di Wollan Skating Rink, ketika Raia berkeliling untuk mencari inspirasi, sedangkan River berkeliling untuk menggambar. Awalnya pertemuan tersebut sedikit kaku, tapi selanjutnya hubungan mereka mencair, terlebih setelah Raia memberanikan diri meminta ijin untuk mengikuti River berkeliling kota New York esoknya, bersama-sama mencari inspirasi. Sejak itu, River akan menjemput Raia pukul sembilan pagi, kemudian menapaki bagian-bagian kota New York seperti Flatiron Building, menikmati burger Shake Shack di Madison Square Park, Grand Central, Paley Park, sampai mampir ke bioskop hanya untuk membeli popcorn-nya.

River mengenalkan kota New York dengan cara berbeda, bahwa setiap bangunan memiliki cerita, membuat Raia bersemangat setiap harinya untuk mencari inspirasi. Obrolan sederhana di tengah-tengah acara berkeliling juga menghidupkan kebahagiaan Raia yang sempat hilang, serta menyadarkan bahwa mereka sebenarnya sama-sama tersesat akan masa lalu, di kota yang tak pernah tidur tersebut mereka tidak seharusnya merasa sendirian.
Bagi seorang penulis, buku yang dia hasilkan ibarat anak, yang akhirnya lahir setelah proses "mengandung"-menulis-yang penuh perjuangan, tidak mudah, dan tidak sebentar. Dan menyerahkan karya kepada produser untuk diadaptasi menjadi film ibarat menyerahkan anak kepada orang lain untuk "diutak-atik". Butuh kepercayaan dan mungkin sedikit kepasrahan, walaupun tetap digelayuti ekspektasi.
Writing is one of the loneliest professions in the world. Ketika sedang menulis, hanya ada sang penulis dengan kertas atau mesin tik atau laptop di depannya, hubungan yang tidak pernah menerima orang ketiga.
Architecture is sort of a combination of love, mind, and reason. Merancang bangunan itu nggak sekadar urusan teknis, nggak sekadar bikin bangunan yang aman dan nyaman, tapi juga mengakomodasi sentimental values pemiliknya.
Arsitektur bukan sekadar tentang matematika, seni, dan konstruksi. Arsitektur juga perkara perasaan. Bagi River, keberhasilannya tidak dinilai dari desain dan estetika bangunan. A structure also has to invoke a certain kind of feelings
Saya salah satu pembaca yang menantikan dengan setia #PollStory dari The Architecture of Love setiap minggunya ketika rilis awal tahun sampai pertengahan Februari kemarin. Bukan kali ini saja Ika Natassa menggunakan Twitter sebagai media bercerita, sebelumnya dia sukses mengawali dengan Twivortiare, bedanya, lewat buku kedelapan-nya ini dia melibatkan pembaca untuk menentukan apa yang akan terjadi di episode selanjutnya melalui fitur poll di Twitter. Sentuhan personal tersebut tentu membuat saya, atau para pembaca lain sangat antusias dengan ceritanya sendiri, tidak sabar dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan tentu saja para tokohnya sangat melekat bagi kami. Itulah kenapa saya tidak ingin cerita Bapak Sungai dan Ibu Hari Raya berhenti di #PollStory saja, tapi lebih ke versi panjangnya atau dalam bentuk buku.

Masih terasa ciri khas tulisan penulis, dengan bahasa yang campur aduk serta narasi panjang, di dalamnya terselip berbagai informasi yang mendukung jalannya cerita, bukannya bosan saya serasa mendapatkan pengetahuan baru. Misalkan saja saat Ika Natassa mengawali bab dengan bercerita tentang Frank Warren -pemilik PostSecret, bahwa separuh warga kota New York kebanyakan pendatang atau pindahan negara lain, cara unik beberapa penulis terkenal dalam menghasilkan karya, fakta-fakta tersebut dengan lihai penulis masukkan kedalam cerita sehingga membuat semakin menarik. Belum lagi deskripsi tempat dan para tokohnya, membuat cerita terasa nyata. Penulis juga sangat ahli dalam menciptakan book boyfriend, dalam buku ini kita dibuat kesemsem dengan si misterius River Jusuf.

Untuk ceritanya sendiri, tentu ada tambahan dalam versi bukunya, hampir setengah halaman akan ada lanjutan dari cerita bersambung #PollStory di Twitter. Tema ceritanya sendiri sebenarnya cukup sederhana, dua orang yang sama-sama terluka akan masa lalu berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan kembali. Pasca bercerai, Raia kehilangan sumber inspirasi dan hidupnya bagaikan tak berarti, pun dengan River yang memiliki masa lalu tak terduga, luka yang dia alami sangat membekas dan sangat susah dihilangkan. Konfliknya sendiri bukan sesuatu yang baru juga, tentang perasaan bersalah, tentang takut melangkah karena dibayangi masa lalu. New York menjadi tempat mereka menemukan semangat dalam menghadapi hidup, saksi bahwa kebahagiaan baru akan selalu bisa tercipta.
"Tahu masalah utama perempuan? Bukan berat badan, bukan makeup, bukan jerawat, fuck any of those shit, semua ada obatnya. Tapi tahu yang nggak ada obatnya? Semua perempuan selalu jadi gampangan di depan laki-laki yang sudah terlanjur dia sayang. Bukan gampangan dalam hal seks ya maksud gue, tapi jadi gampang memaafkan, gampang menerima, gampang menerima ajakan, bahkan kadang jadi gampang percaya."
Mungkin ini satu lagi kutukan perempuan. Tetap melakukan sesuatu yang dia tahu dan sadar akan berujung menyakiti, hanya karena itulah yang diinginkan seseorang yang disayanginya.
Salah satu ciri khas lainnya dan selalu saya sukai dari tulisan Ika Natassa adalah deskripsi akan pekerjaan para tokoh utama yang cukup detail. Mungkin banyak yang berpendapat kalau Raia adalah jelmaan penulis sendiri, atau bahkan hal yang dirasakan Raia juga dialami penulis yang lain. Misalkan saja tentang susahnya menemukan muse, ide, menaklukan writer's block, menghadapi pertanyaan kapan buku berikutnya terbit, negative review akan karya-karyanya, event yang tak pernah sepi kehadiran pembaca setia, bahkan buku yang terjual cepat melalui pre-order. Hal tersebut malah membuat karakter Raia menjadi hidup, terasa sangat realistis. Pun dengan profesi arsitek yang disandang River, terlihat sangat seksi, bahkan ternyata profesi tersebut melibatkan perasaan juga. Bagain favorit yang bercerita tentang arsitektuk adalah ketika River dan Raia ada di whispering gallery, cerita awal mula River ingin menjadi seorang arsitek.

Banyak sekali adegan favorit di buku ini, dan seperti biasanya, tulisan Ika Natassa sangat quoteable, banyak kalimat yang saya tandai saking bagusnya. Adegan sepele seperti ketika River selalu mematikan rokok kalau Raia datang, ketika River bercerita sudah menjelajah berbagai bioskop untuk mendapatkan rasa popcorn favoritnya, adegan River yang sibuk menggambar sedangkan Raia malah menonton Tom & Jerry alih-alih menulis, dan tentu saja acara jalan-jalan mereka mengarungi kota New York. Obrolan yang mereka lakukan pun sangat terasa mengalir. Ada ilustrasi yang dibuat penulis sendiri agar kita para pembaca bisa membayangkan tempat-tempat yang dikunjungi Raia dan River, ilustrasinya sangat indah dan dicetak sebagai postcard, bonus ketika kita membeli bukunya, pembatasnya sendiri berupa panduan dari River tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi kalau kita ke New York. Dan tentu saja covernya tidak pernah mengecewakan.
"You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distracts you from what's in front of you, Ya. Your future."
Laughing is always liberating. And laughing with someone is always healing, somehow.
Banyak masalah hidup, terlalu banyak malah, yang tidak dapat diselesaikan secepat membuat mi instan, sama seperti banyak kebahagiaan yang mustahil dikejar seringkas memasak mi seharga dua ribuan rupiah ini. 
Kata orang, di saat yang tidak kita duga-duga, terkadang muncul seseorang dalam hidup kita lewat pertemuan acak, mungkin di jalan, di acara, di restoran, stasiun, kereta, dan entah bagaimana, orang ini lantas menjadi orang yang kita rasakan paling dekat, paling membuat kita nyaman, lebih dari orang-orang yang selama ini kita kenal lebih lama dan lebih dalam. 
Orang-orang bilang, siapa pun yang kita ingat pertama kali ketika ingin berbagi berita bahagia, bisa jadi sesungguhnya adalah orang yang paling penting dalam hidup kita tanpa kita sadari.
Masa lalu yang dialami tokohnya sesekali diselipkan penulis di masa sekarang sehingga menambah rasa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, khususnya pada River. Sedangkan sudut pandang yang dipilih adalah orang ketiga di bagian awal dan orang pertama pada sisanya. Sebenarnya saya tidak mengalami masalah dalam pergantian sudut pandang ini, malah kita bisa menilik pemikiran Raia maupun River, lewat cara ini kita akan lebih mengenal keduanya, khususnya River yang cukup misterius. Walau ketika River berbicara, karakternya lebih kelihatan bahwa dia paling rapuh dari semua karakter lelaki yang Ika Natassa ciptakan, cukup sesuai dengan beban berat masa lalu yang dia tanggung. Berkebalikan dengan karakter Raia yang cukup kuat dan berkeinginan untuk move on.

Hanya saja ketika hal tersebut dilakukan, saya merasakan adegan yang repetitif dari masing-masing kedua tokoh, misalkan saja waktu adegan keduanya menghadiri acara pernikahan, rasanya dibuat bertele-tele, membuat kelanjutan cerita selepas episode #PollStory sangat singkat, terlalu cepat. Padahal saya sangat berharap chemistry mereka terbangun kuat selepas cerita yang saya dapat di Twitter, saya ingin berlama-lama dengan Raia dan River, lebih banyak mengupas akan kehilangan yang mereka rasakan, bagaimana perasaan mereka mulai tumbuh. Entahlah, apakah karena penulis merampungkan buku ini dalam kurun waktu tiga bulan saja, sedangkan bukunya yang sebelumnya (Antologi Rasa dan Critical Eleven) membutuhkan waktu 2-3 tahun sehingga terasa buru-buru?

Yang jelas, saya akan selalu menantikan karya Ika Natassa selanjutnya, tulisannya sangat nagih, dia sanggup mengangkat tema domestic drama yang sering kali terjadi di kehidupan nyata menjadi menarik untuk diikuti, dengan ciri khas tulisan yang dimiliki. Oh ya, di The Architecture of Love ini juga kedatangan cameo tokoh di buku sebelumnya, Ale dan Harris, jadi tidak boleh dilewatkan :D.

4 sayap untuk Bapak Sungai dan Ibu Hari Raya :D.

7 komentar:

  1. udah beli niiiih cuma belum baca ajaaa... semoga sebaik buku ika yang lainnya XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo dibacaaaa, masih bagus kok, Ika Natassa mah nggak usah diragukan lagi :)

      Hapus
  2. Waaahh ada cameo dari CE juga? Hmmm jadi makin gasabar buat baca TAOL :D

    BalasHapus
  3. Aku baru baca buku ini dan excited banget soalnya pernah baca karya Ika Natassa sebelumnya, dan ternyata settingnya kota New York, buku ini menceritakan hal yang klasik sih, tentang dua orang yang berusaha move on dari masa lalunya... Dan aku cukup suka sama kisah Raia dan River...

    BalasHapus
  4. lenkap bener resensinya kak :)

    https://jagatebookpdf.blogspot.co.id

    salam kenal :)

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*