Pages

Senin, 18 April 2016

Resensi: My Wedding Dress Karya Dy Lunaly

Judul buku: My Wedding Dress
Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Starin Sani
Perancang sampul: Titin Apri Liastuti
Ilustrasi isi: Dy Lunaly
Penerbit: Bentang
ISBN: 978-602-291-106-7
Cetakan pertama, November 2015
270 halaman
IDR 59.000 (Beli di Gramedia Slamet Riyadi)
Apa yang lebih mengerikan selain ditinggalkan calon suamimu tepat ketika sudah akan naik altar? Abby pernah merasakannya. Dia paham betul sakitnya.

Abby memutuskan untuk berputar haluan hidup setelah itu. Berhenti bekerja, menutup diri, mengabaikan dunia yang seolah menertawakannya. Ia berusaha menyembuhkan luka. Namun, setahun yang terasa berabad-abad ternyata belum cukup untuk mengobatinya. Sakit itu masih ada, bahkan menguat lebih memilukan.

Lalu, Abby sampai pada keputusan gila. Travelling mengenakan gaun pengantin! Meski tanpa mempelai pria, ia berusaha menikmati tiap detik perjalanannya. Berharap gaun putih itu bisa menyerap semua kesedihannya yang belum tuntas. Mengembalikan hatinya, agar siap untuk menerima cinta yang baru. 
Ada sepuluh alasan kenapa seorang Abigail Kenan Larasati harus melakukan solo travelling; biar dia bisa move on, biar sadar kalau kebahagiaan ada di tangan Abby sendiri, bahwa hidup itu cantik dan sayang kalau disia-siakan, bisa melihat dari perspektif yang baru, bisa kembali fokus, bisa menciptakan kenangan baru, mendapatkan inspirasi desain baru, bahwa hidupnya sangat beruntung, untuk jatuh cinta lagi sama hidup, dan terakhir travelling bisa menemukan diri Abby yang sebenarnya.

Setahun yang lalu, Abby adalah salah satu mempelai paling bahagia di dunia, dia sudah merancang hidup dengan Andre, kekasih yang dipacarinya sejak beberapa tahun sampai akhirnya dia dilamar. Dengan gaun satin model princess silhouette tanpa lengan sepanjang lutut, berwarna sampanye, dan berlapis lace dengan aksen swaroski pada bagian dada dan ujung gaun membuat penampilan Abby sempurna. Dia sangat bahagia, tapi hanya sementara. Tidak lama setelah penampilannya siap dan akan menuju altar, ayahnya mengabarkan kalau Andre tidak datang ke pernikahan mereka. Tanpa kabar sama sekali, bahkan keluarga Andre tidak tahu kemana dia pergi, Abby ditinggal sendirian di altar, pernikahannya batal.
Bukankah sebenarnya kita semua merupakan kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan dan menyesapnya kembali. Membuka luka yang belum benar-benar mengering. Luka yang tidak akan pernah kita biarkan mengering karena kita mencandu rasa sakit itu.
Ternyata benar, tidak ada manusia yang benar-benar ahli menghindar dari kenangan, termasuk aku. Sekuat apa pun aku berusaha berlari dan menghindar dari kenangan, selalu ada hal-hal kecil yang mengembalikannya. Menggerus habis pertahananku.
Aku selalu percaya cinta itu sama dengan luka. Kita mungkin ngira waktu bakal nyembuhin atau ngilangin bekasnya, tapi sebenarnya nggak. Bekasnya cuma menipis. Sama kayak cinta. Cinta itu sama kayak energi. Sekali hadir, dia nggak akan pernah bisa menghilang, hanya bisa berubah bentuk. 
Kondisi tersebut tentu saja membuat kehidupan Abby hancur, dia menarik diri, dia melepas karier yang sedang menanjak di salah satu konsultan arsitektur terbaik di Asia Tenggara dan memilih bekerja dari rumah sebagai desainer kartu ucapan, dia muak dikasihani. Dia kecewa, dan tentu saja terluka amat dalam, hidupnya tidak akan tenang sampai mengetahui apa alasan Andre sampai tega meninggalkan dirinya dan mempermalukan keluarga besar di hadapan para undangan. Abby butuh waktu untuk sendiri.

Babak baru kehidupan Abby dimulai ketika dia membaca sebuah buku yang direkomendasikan oleh adiknya, Gigi. Buku perjalanan yang berjudul Stranger's Stories karya Quirky Traveler. Abby jatuh cinta pada tulisannya dan menginspirasi untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini dia pelihara. Abby mulai memusnahkan semua barang pemberian dan kenangannya bersama Andre, hanya menyisakan satu, yaitu baju pengantin. Abby punya rencana sendiri untuk baju pengantin tersebut, dia akan memakainya ketika travelling, merayakan kesedihan. Gaun tersebut akan menyerap semua kesedihan Abby, kemudian memasukkan sebanyak mungkin kebahagiaan agar baju tersebut berubah menjadi hitam.
"Ngobrol sama orang asing selalu jadi pengalaman yang luar biasa karena kita nggak pernah tahu siapa yang kita ajak ngobrol, gimana kehidupan yang mereka jalani, cerita apa yang mereka punya. Itu ngajarin aku buat nggak cepat menghakimi, dan itu nyenengin."
"Travelling itu tentang keberanian menantang batasan yang kita punya. Keberanian buat ngelewatin tantangan yang kita temui saat travelling."
"Travelling itu bukan sesuatu yang bisa direncanain seratus persen, By. Adakalanya kita pasrah sama nasib." Wira tersenyum lembut. "Dan, travelling bukan tentang berapa banyak tempat yang kita lihat, melainkan sebanyak apa kita menikmatinya." 
Kali pertama membaca tulisan Dy Lunaly, jujur saja, awalnya saya tidak memasang ekspektasi berlebih, di mana selalu saya lakukan ketika membaca karya seorang penulis untuk pertama kalinya, mengikuti bagaimana Dy menarik saya ke dalam cerita rekaanya, dan ternyata sukses, saya sangat menikmati membaca My Wedding Dress. Tema ceritanya unik, dia menyisipkan sesuatu yang berbeda dari tema pernikahan yang cukup booming sejak tahun kemarin, kemudian menggabungkan dengan tema travelling sehingga menjadi sesuatu yang baru dan segar.

Bisa dibilang tema travellingnya cukup kental sehingga mengaburkan tema pernikahan, yang hanya akan kita dapatkan di bagian awal. Selebihnya bercerita tentang Abby mencoba bangkit dari sakit hati dan mengunjunggi berbagai tempat untuk mengubur masa lalu dengan memakai baju pengantinnya. Tentu saja aja kisah cintanya dong, bagian yang saya sukai. Dalam perjalanan menemukan Abby yang 'baru' dia bertemu dengan seorang traveller bule yang ternyata berasal dari Indonesia, dia bernama Wirasana Pieter Smit atau biasa dipanggil Wira. 

Pertemuan keduanya bisa dibilang kebetulan, Abby bertanya kepada orang asing tentang cara pulang ke hotel ketika kebingungan memilih transportasi di halte bus Rapid Penang, dan orang yang dia tanyai tidak lain tidak bukan adalah bule yang tidak sengaja Abby cederai di pesawat. Tahu kalau sama-sama orang Indonesia, Wira pun mengajak Abby menikmati kuliner di Penang, berlanjut mengajukan proposal sebagai travelmate kurang lebih selama seminggu menjelajahi Penang. Mulai dari Bazaar Chowrasta, menyusuri jalanan Georgetown, ke puncak Penang Hill, Blue Mansion, Chocolate & Coffee Museum, Camera Museum, ke dermaga Clan Jetties, sampai menonton pertunjukan balet Swan Lake - Bolshoi di Singapura. Setting buku ini tidak hanya di Malaysia dan Singapura, tapi kita juga akan dibawa ke Menjangan, Indonesia.
"Hidup itu kayak nyusun puzzle, harus berantakan dulu biar kita semangat nyusunnya karena penasaran bakal sebagus apa kalau semuanya udah tersusun."
"Hidup itu tentang mengeja ikhlas. Bagaimana kita belajar untuk ikhlas menerima kondisi apa pun dalam hidup kita dan menjalaninya dengan sebaik-baiknya." 
Saya sangat menikmati interaksi antara Abby dan Wira, sangat mengalir sekali. Penulis tidak serta merta membuat hubungan keduanya terlihat kebetulan semata, tapi ada prosesnya. Ada saat di mana Abby merasa curiga dengan Wira ketika pertama dia mengajukan proposal perjalanan, ada saat keduanya merasa marah karena telah mencampuri urusan pribadi masing-masing, ada batas yang tidak boleh dilanggar bahkan sempat tidak saling menyebutkan nama asli. Pembawaan Wira yang ceria dan humoris mau tidak mau mencairkan tembok kekauan hubungan mereka. Lambat laun Wira menyadarkan Abby kalau hidup harus dinikmati. Wira membantu memasukkan kebahagiaan ke baju pengantin Abby. 

Menggunakan sudut pandang orang pertama dengan Abby sebagai sang narator, pembaca dengan mudah menyelami apa yang dia rasakan dan alami. Beralur maju dan plotnya cukup rapi, ada twist yang cukup menyenangkan dan berhasil saya tebak dengan mudah. Deskripsi tempat dan karakter para tokohnya cukup detail, memudahkan saya membayangkan tempat-tempat yang dikunjungi dan bagaimana tokoh ciptaan penulis tercetak di imajinasi. Membaca buku ini saya jadi ingin keliling Penang, khususnya Chocolate & Coffee Museum, tempat favorit di buku ini. Sedangkan tokoh favorit saya tentu saja Wira, dia sangat perhatian, baik kepada siapa pun, pembawaanya ceria dan berpikiran terbuka, mungkin karena lima tahun hidup nomaden, telah mengunjungi banyak tempat dan bertemu banyak orang membuatnya sanggup mengatasi berbagai masalah, jangan sampai memutus langkah selanjutnya untuk mendapatkan kebahagiaan.
"Because happiness is like a kiss, you must share it to enjoy it. Aku nggak takut hidup sendiri, tapi," dia menatapku lekat, "aku takut kalau nggak punya seseorang untuk berbagi kebahagiaan. Kamu tahu rasanya ketika bahagia, tapi nggak bisa membaginya? Lebih nyesek daripada sendirian waktu sedih."
"Kalau lagi patah hati, kamu cukup ingat ini, if it's good, it's wonderful, but if it's bad, it's experience. Intinya, kita nggak perlu menyesali apa pun yang terjadi, baik atau buruk. Kalau udah bisa ngelakuin itu, berarti kita udah berdamai dengannya."
Saya juga sangat menikmati diksi yang Dy Lunaly suguhkan, jangan heran kalau resensi ini bertabur quote, karena tulisannya memang quoteable sekali, ini saja sudah saya pangkas banyak XD. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari, tidak baku dan beberapa menggunakan bahasa Inggris. Saya cukup nyaman, tidak ada kalimat yang susah dicerna. Disetiap bab ada ilustrasi yang digambar sendiri oleh penulis, disertai kalimat yang tidak kalah indah dan mencerminkan isi bab tersebut. Covernya juga pas sekali, cocok dengan isi cerita.

Selain kita di bawa ke tempat-tempat yang indah, ada sebuah adegan yang menurut saya romantis dan tidak kalah indahnya, salah satu adegan favorit di buku ini, yaitu ketika mereka tiba di Singapura dan Abby terpisah dengan Wira, Abby keasikan mengunjungi IKEA. Sejak kejadian itu Wira tidak pernah melepas tangan Abby, selalu menggandeng karena tidak ingin terpisah lagi, romantis banget, kan? Hehehehe. Inilah yang saya suka dengan Wira, perhatian-perhatian kecilnya tanpa sadar membuat hati setiap perempuan akan berbunga-bunga XD.
"Jangan pernah," napasnya masih tersengal, tapi aku bisa mendengar kemarahan dalam suaranya, "kamu ninggalin aku lagi kayak tadi! Kamu benar-benar bikin aku panik, By! Aku lari muterin tiap sudut buat nyariin kamu! Aku nggak mau pengalaman di Grand Bazaar terulang di sini, makanya aku berusaha nemuin kamu secepatnya."
Sedikit kekurangan adalah penulis tidak menyebutkan negara tempat Abby bertualang, sepele sih, mungkin banyak orang yang tahu di negara mana Penang berada, kecuali saya, hahaha. Kemudian tentang pengertian critical eleven, hal tersebut sangat identik dengan buku lain, sehingga saya harap penulis menyuguhkan sesuatu yang baru dan lain daripada yang lain. Overall, saya sangat menikmati membaca buku ini, saya jadi kepingin mencoba membaca karya Dy Lunaly yang lain :D.

Buku ini bercerita tentang mencari kebahagiaan yang baru, mencoba bangkit dari masa lalu. Bahwa kadang tersesat itu tidaklah buruk, siapa tahu dengan tersesat kita akan mengalami hal yang tak terlupakan :D.
"One day is just that; one bad day. Jangan sampai satu hari buruk merusak kebahagiaan yang sedang mengantre untuk menghampiri kehidupan kita. So, smile and don't ever stop.
4 sayap untuk Tuan Pengelana dan Nona Gaun Pengantin.


6 komentar:

  1. Kekurangan sama dengan yang saya pikirkan. Kok travelingnya tidak menyebutkan nama-nama tempat mana saja yang ia singgahi. sayang banget ya. tapi saya tetap tertarik dengan bukunya. Sebab setahu saya traveling dengan baju pengantin memang ada pelakon di dunia nyata bukan. kalo nggak salah ada deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau aku suka ide travelmate, itu aku tahu kalau memang beneran ada, misalnya kayak dua ransel dan pergi jauh, seru aja, dan salah satu impianku dulu adalah travelling keliling dunia bareng pasangan, wakakakaka.

      Hapus
    2. Baca impian Sulis. "AAMIIIIN...."

      Hapus
  2. Quotes bukunya bagus-bagus. Jadi pengen baca aku :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kannnnnn, hehehe. Ini aja ada beberapa yang kepaksa aku buang karena terlalu banyak, bukannya resensi yang ditulis nanti malah jadi kumpulan quotes =))

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*