Pages

Senin, 07 September 2015

Somewhere Only We Know by Alexander Thian | Book Review

Somewhere Only We Know
Penulis: Alexander Thian
Editor: Mita M. Supardi & Tesara Rafiantika
Desainer sampul: Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-830-0
Cetakan pertama, 2015
338 halaman
Pinjam @alvina13
Bisa dibeli di @bukupediacom
"You don't define love. You just...love."

Kenzo
Menyusuri jalanan Hanoi yang basah, menerobos hujan yang masih turun dengan deras. Gue melangkah tanpa peduli ke mana kaki membawa gue pergi. Lampu kuning jalanan membuat jejak-jejak rintik hujan tampak jelas. Entah karena gue yang delusional atau terlalu romantis menjijikan, gue setengah berharap dia akan muncul di ujung jalan, bersandar pada tiang lampu, membawa payung, lalu tersenyum melihat gue.

Ririn
Kenangan itu masih sejelas dan sebening film yang berformat blu-ray. Gue tertawa kecil ketika membuka pintu taksi, membayangkan wajah aneh Arik sore itu. Dalam perjalanan pulang, gue bermimpi tentang berdansa di awan, sementara kembang api meledak-ledak di sekitar gue dan Arik.

Arik, can we be infinite?
Most of all, is this the love we think deserve?

Bagi Kenzo, cinta ibarat secangkir kopi.
Terkadang terasa pahit, tetapi tetap memiliki banyak lapis rasa.
Bagi Ririn, kakak Kenzo, cinta hanya memiliki duia rasa: pahit dan manis.
Meski Kenzo meyakinkan selalu ada ruang untuk dongeng cinta, Ririn berusaha melupakan cinta karena pahitlah yang mendominasi kisahnya.

Ketika cinta benar-benar ada di hadapan keduanya, mampukah mereka menerima dan memperjuangkannya?

Ririn dan Kenzo adalah kakak beradik yang memiliki sifat sangat berbeda satu sama lain, Ririn perempuan yang meledak-ledak, ekspresif, ekstrovert. Sedangkan Kenzo lebih kalem dan introvert, namun apabila dalam hal menggoda Ririn, Kenzo selalu menang, dia juga orang yang selalu ada bila Ririn mengalami masalah cinta, penyembuh kesedihannya. Sebaliknya, Ririn sangat mengerti tentang siapa diri Kenzo yang sebenarnya. Kesamaan yang mereka miliki adalah mereka berdua sama-sama loser dalam masalah cinta, Ririn berulangkali diselingkuhi pacarnya sedangkan Kenzo memiliki kisah cinta yang rumit. Mereka saling mengisi, membagi kesedihan, membagi tawa.

Atas saran temannya, Ririn mendapatkan terapi patah hati dari membaca blog Silver Shadow, seorang tukang dongeng yang ceritanya selalu menakjubkan, tulisannya sangat berjasa dalam hal membuat Ririn move on. Identitas Silver Shadow sendiri sangat misterius, tidak ada yang tahu siapa dirinya, tidak ada yang tahu seperti apa dirinya karena tidak pernah menampilkan foto asli. Lalu suatu ketika Silver Shadow mengumumkan dia akan hiatus ngeblog untuk sementara waktu karena akan berlibur ke Nusa Lembongan, Bali. Saat itulah satu-satunya kesempatan yang dimiliki Ririn untuk bisa bertemu dengan blogger kesayangannya, walaupun Ririn tidak tahu nama dan rupa, dia nekat ingin bertemu dengan Silver Shadow, orang yang mengajarinya bahwa hidup itu seharusnya dirayakan, bukan diratapi.

Tak ubahnya dengan sang kakak, Kenzo memiliki cara tersendiri untuk membunuh luka, dia meninggalkan Indonesia dan memilih bekerja di Viet Nam, berteman dengan kesendirian, menghabiskan waktu di pinggiran Danau Hoan Kiem, menikmati kopi hitam di kafe yang bernama Paris Deli. Di kafe itulah dia mengenal sosok misterius bernama Hava. Mereka belum pernah bertemu, selama ini hanya saling bertukar pesan lewat mIRC, email, dsb tanpa menampakkan wujud asli. Tapi anehnya Hava mengenali Kenzo, dia sangat mengerti Kenzo, memahami aura kesedihan yang selalu nampak pada dirinya. Kenzo selalu dibuat penasaran, hubungan mereka semakin dekat dan dia merasa nyaman, sedikit demi sedikit kekosongan yang ada di dalam dirinya terisi dengan kehadiran Hava. Hava berjanji akan menampakkan diri, membuka semua rahasia tentang dirinya kalau Kenzo mau menjadi pacarnya.

Kedua kakak beradik di dua tempat yang berbeda sama-sama mencoba membunuh luka, menemukan cinta.
The more you try to fight the pain, the more it haunts you and hurt you. I wish I knew it sooner, so I wouldn't have to fight it harder and harder. It hurts me even more.
Sebenarnya agak berat memulai membaca buku ini karena mendapati kejadian yang tidak mengenakkan di goodreads, khususnya bagi kami para pembaca. Tapi saya mencoba optimis, saya suka dengan buku non fiksi pertama penulis sekaligus yang menjadi debutnya, The Not So Amazing Life of @aMrazing, bisa dibilang ceritanya menyegarkan, penuh dengan pesan moral, gaya berceritanya juga asik, tanpa terkesan menggurui. Alasan itulah yang membuat saya penasaran dengan buku fiksi pertamanya, Somewhere Only We Know.

Saya mulai dari kekurangannya dulu, bisa dibilang alurnya cepat namun sedikit bertele-tele, beberapa kali saya kecolongan akan perpindahan alur flashback yang dipilih penulis sehingga saya perlu mengulangi membaca, bagian awal sangat terasa, ketika penulis mulai memecah cerita menjadi dua plot utama. Kemudian saya agak terganggu dengan penggunaan kata 'gue', nggak masalah besar sebenarnya mungkin karena nggak terbiasa saja dan kedua sudut pandang orang pertama utama buku ini, Ririn dan Kenzo sama-sama menggunakan 'gue'. Jadi hampir di setiap kalimat selalu ada kata 'gue' yang jujur sempat membuat saya pusing, untungnya makin ke belakang saya semakin terbiasa. Untuk latarnya sendiri, yang paling kerasa keindahannya dan ingin membuat saya pergi ke sana adalah ketika Ririn dan Arik berwisata ke Nusa Lembongan, entah kenapa deskripsi tentang Viet Nam dan Paris kurang menggugah. Dan salah satu kesalahan terbesar penulis adalah tentang pengkarakteran tokohnya.

Ada istilah Book Boyfriends bagi kami para pembaca maupun book blogger, mereka adalah tokoh fiktif yang kami idolakan, yang ingin sekali dipacari di dunia nyata, meskipun mereka fiksi, semu, nggak mungkin terjadi. Tapi di situlah kehebatan seorang penulis bisa dinilai, dari cara membangun karakter lewat deskripsi yang detail, menciptakan seorang tokoh yang bisa dikenang pembacanya, yang nantinya bisa menjadi ciri khas penulis, yang nggak bisa kita temukan di buku lain. Misalkan saja tokoh Harris di Antologi Rasa karya Ika Natassa. Harris ya Harris, dia punya sesuatu yang nggak bisa kita temukan di tokoh lain, dia tidak meniru siapa-siapa, Harris menjadi dirinya sendiri. 

Jadi, sangat tabu bila ada tokoh A yang dideskripsikan mirip dengan aktor B, itu bisa merusak imajinasi para pembaca. Seperti ketika penulis mendeskripsikan Arik, He. Is. Just. Perfect. Eyes of Ryan Gosling. Voice of Benedict Cumberbatch. Body of Siwon. Brain of Neil Gaiman. Oh Good. God. Okey, sempurna memang, banyak perempuan yang mungkin akan berpikiran sama dengan Ririn yang kalau melihat cowok langsung mengarah ke aktor favoritnya. Tapi, saya nggak suka sama Ryan Gosling maupun Benedict Cumberbatch, saya sukanya sama Scott Eastwood atau Chris Pratt atau Chris Evans, saya memang berbeda dengan cewek kebanyakan.

Untung saja 'kesempurnaan' Arik dibarengi dengan kehebatannya mendongeng, saya suka dengan jalan pikirannya, dengan keliaran imajinasinya yang mampu mendongeng secara spontan, yang bisa mengisahkan cerita menjadi apa saja sesuai versinya sendiri. Hal ini menjadi kelebihan penulis. Penulis sebenarnya bisa membuat tokoh yang nantinya membekas di hati pembaca, seperti Arik ini misalnya kalau saja dia dibuat menjadi dirinya sendiri tanpa embel-embel kesempurnaan yang dimiliki oleh para aktor ternama. Penulis juga sukses membangun karakter tokoh Ririn dan Kenzo, tanpa ada nama siapa yang berbicara di awal bab, saya bisa langsung tahu karena sangat jelas perbedaan, Ririn yang ceria dan Kenzo yang memiliki aura sendu, penulis sukses membagi dirinya menjadi Ririn dan Kenzo.

Kalau ditanya cerita siapa yang saya suka saya memilih cerita Ririn. Bagian dia banyak yang humoris dan romantis, yang sanggup membuat saya tertawa, selain itu banyak yang bisa di dapatkan misalkan saja mencoba sesuatu yang baru, mencoba mengatasi ketakutan yang dimiliki, saya suka interaksi antara Ririn dan Arik. Sedangkan bagian Kenzo, terlalu sendu, kesedihannya bisa dipahami dan kerasa, tidak mudah memang menjadi kaum minoritas, dan sangat suka hubungan antara Ririn dan Kenzo. Saya dibuat geregetan, mungkin sama halnya dengan Kenzo yang nggak sabar melihat sosok Hava yang sebenarnya, twist-nya dapet lah. Saya suka cara penulis mengakhiri kisah antara Ririn dan Kenzo. Bagian favorit saya adalah ketika Ririn memancing Arik untuk marah, yang kemudian disusul adegan heroik Arik, ketara sekali rasa sayang Arik kepada Ririn, hehehe.

Walau masih ada kekurangan, buku ini tetap bisa dinikmati kok. Recommended bagi yang susah move on dan ingin mendapatkan cinta yang baru, coba deh baca, siapa tau bisa membuat kalian nggak bermuram durja terus, masih banyak kok cinta di luar sana yang menunggu, cinta yang tepat :D

3 sayap untuk Rama Antariksa, suka deh namanya :D



4 komentar:

  1. Waaa, terima kasih kak sudah kasih gambaran cerita dan pengalaman membacanya dengan cara yang membuat saya bisa cukup mempertimbangkan baca buku ini xD dan anyway chris pratt dan chris evans memang oyeee xD

    BalasHapus
  2. sama donk, saya juga suka Chris Pratt, Chris Evans dan tambahan Chris Pine. Trus gegara nonton The Man from UNCLE jadi demen Armie Hammer juga *komen salah fokus*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahahahahaha, nanti nengok wujud si Armie Hammer deh, seseksi apa dia XD

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*