Pages

Selasa, 02 Juni 2015

And The Mountains Echoed by Khaled Hosseini | Book Review

And The Mountains Echoed: Dan Gunung-Gunung Pun Bergema
Penulis: Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani
Penyunting: Esti A. Budihabsari
Desainer sampul: Windu Tampan
Penerbit: Qanita
ISBN: 978-602-9225-93-8
Cetakan I, Juli 2013
516 halaman
Pinjam @diyahmuawiiyah
Kulihat peri kecil muram,
Di keteduhan pohon kertas.
Kumengenal peri kecil muram,
Yang tertiup angin suatu malam.

Abdullah sangat menyayangi Pari, adik satu-satunya. Sejak ibu meninggal dan ayah mereka menikah lagi dengan Parwana, Abdullah menjadi ayah, sekaligus ibu bagi Pari. Bagi Abdullah, Pari adalah bumi, langit sekaligus seluruh semestanya. Dalam kehidupan pedesaan Afganistan yang keras dan kejam, Pari adalah seberkas cahaya matahari bagi Abdullah.

Lalu, ayahnya menjual Pari ke pasangan kaya di Kabul, demi kelangsungan hidup keluarga mereka di musim dingin. Abdullah limbung, dunianya hancur. Tak ada lagi Pari, tak ada lagi kehidupan.

And The Mountains Echoed, novel ketiga Khaled Hosseini yang menggemakan kehidupan keras di Afganistan. Lewat novel ini, Hosseini berkisah bagaimana pilihan yang kita ambil akan bergaung hingga ke generasi selanjutnya. Bagaimana cinta yang tulus akan bergema ke seluruh semesta, memanggil jiwa-jiwa yang kehilangan belahannya.
Cerita dimulai ketika seorang ayah membacakan dongeng untuk anaknya, dongeng yang sangat miris yaitu tentang sebuah keikhlasan di mana seorang ayah harus merelakan anaknya untuk diambil orang lain. Keputusan tersebut sangat membuat sang ayah kecewa berat, hidupnya dirundung penyesalan yang tak terperi, dia seperti orang yang kehilangan semangat hidup karena anak yang diserahkan adalah anak kesayangannya. Lalu, suatu hari dia memutusnya mencari anaknya, tidak memperdulikan bahaya yang akan menghadang, dia siap mati. Ketika sampai ditujuan ternyata anaknya masih hidup dan bahagia, namun dia tidak akan menginggat sang ayah, sang anak sudah melupakan masa lalunya.
Dunia ayah keras. Tidak ada yang cuma-cuma. Cinta sekalipun. Semuanya harus kau bayar. Dan jika kau miskin, penderitaan menjadi mata uangmu.
Secara garis besar penulis sudah menceritakan isi buku ini di awal, ya lewat dongeng sebagai cerita pembuka, tidak jauh berbeda. Selain tinggal bersama ayah dan adiknya, Abdullah juga berbagi tempat tinggal dengan ibu tiri, Parwana dan saudara tirinya, Iqbal. Abdullah bukanlah anak orang kaya, dia miskin seperti penduduk desa Shadbagh kebanyakan, bahkan adik tirinya yang lain, Omar meninggal karena ganasnya musim dingin sehingga belajar dari pengalaman, ayah Abdullah selalu bekerja keras, agar kebutuhan keluarganya tercekupi, asal bisa makan dan nyaman ketika musim dingin.

Ayah dan Pari adalah keluarga sedarah yang dimiliki Abdullah, dia sangat menyayangi mereka berdua, terlebih Pari. Sejak umur sepuluh tahun, ketika ibu Abdullah meninggal dialah yang merawat Pari, dia pengasuh adiknya sendiri yang masih bayi padahal dia masih anak-anak. Merawat, menganti popok, mengendong, memandikan, mengajarinya berjalan, Abdullah adalah pengasuh Pari, ikatan yang mereka miliki sangatlah kuat. Abdullah juga tidak jarang membantu ayahnya bekerja, dia sering kasihan melihat ayahnya, beban yang dia tanggung amatlah berat.

Lalu datanglah Paman Nabi, kakak Parwana. Dia memberikan solusi untuk megatasi keuangan keluarga Abdullah. Majikannya tidak bisa memiliki anak dan ketika berkunjung, Nyonya Wahdati sangat menyukai Pari. Karena tuntutan ekonomi dan bujukan istri serta Paman Nabi, ayah Abdullah pun setuju walau dengan berat hati. Hal ini sangat membuat Abdullah terpukul, dia bersikeras mengantar mereka berdua, jalan kaki dengan sandal yang tidak bisa melindungi kakinya, ingin menghabiskan saat-saat terakhir dengan Pari, saat-saat terakhir yang bisa Abdullah lakukan bersama ayah dan adiknya tercinta. Tanpa tahu kapan lagi dia akan bertemu dengan adiknya.
Sebuah cerita bisa disamakan dengan kereta yang berjalan: di mana pun Anda naik, cepat atau lambat Anda akan tiba di tempat tujuan. tetapi sepertinya saya harus memulai kisah ini dengan hal yang sama, yang mengakhirinya.
Dari kata-katanya yang lembut dan sedikit panik, aku menyadari bahwa ayahku adalah seseorang yang terluka. Bahwa cintanya padaku benar-benar tulus, luas dan membentang bagaikan langit, dan cinta itu akan selalu menekanku. Itu adalah jenis cinta yang cepat atau lambat memojokkanmu untuk mengambil keputusan: apakah kau akan lari atau bertahan terhadap gempurannya, meski akhirnya cinta itu memeras dan menggumpalmu menjadi sesuatu yang lebih kecil dari dirimu sendiri. 
Ketika kau memantapkan hati untuk membaca tulisan Khaled Hosseini, maka kau harus menyiapkan tissue sebanyak-banyaknya, senjata pelengkap karena kau akan tersesat tanpanya, bingung ingin membuang ingus kemana. Sejak membaca The Kite Runner, saya tahu Khaled bukan penulis favorit saya, karena dia sukses membuat saya menangis, sedih tak terkira, merana, sakit di dada. Masak dia menjadi favorit? Yang membuat saya terluka amat dalam? Namun saya ketagihan tulisannya. Cerita yang dia buat miris tetapi di sisi lain menyadarkan kita untuk lebih mengasihi orang-orang di sekitar, terlebih keluarga kita.

Dongeng pembuka buku ini sangatlah bagus, seperti yang saya katakan tadi, sangat berpengaruh ke cerita utama karena merupakan cerminan cerita buku ini. Kadang seorang ayah tidak mempunyai pilihan lain, dia hanya ingin keluarganya nyaman, perut kenyang, kadang tidak memperdulikan dirinya sendiri, yang penting anaknya bahagia. Karena tidak ingin kehilangan lagi, maka ayah membuat keputusan yang sangat amat sulit dilakukan, menyerahkan anaknya, merenggut kebahagiaan Abdullah. Pari tidak lain tidak bukan adalah ceriminan anak yang di dongeng, ketika besar hanya sedikit memori masa lalu yang dia ingat. Dia bahagia dengan keluarga barunya, dan keluarga lamanya dirundung kesedihan karena tidak akan pernah melihatnya lagi.

Narator buku ini cukuplah banyak, berbeda dengan The Kite Runner di mana sang pencerita adalah tokoh utamanya sendiri sedangkan buku ini diceritakan oleh tokoh-tokoh pendukung. Kita melihat kisah Abdullah dan Pari dari orang-orang yang mengenal mereka. Melihat penderitaan mereka dari orang-orang yang juga menyayangi mereka. Jatuhnya kita tidak akan mendapatkan kisah Abdullah dan Pari saja tetapi tokoh pendukungnya juga. Cukup mengesalkan bagi saya karena bisa dibilang bagian favorit di buku ini hanya bagian awal dan bagian akhir, di mana ada cerita Abdullah dan Pari, cerita yang membuat saya nangis megep-megep, saya ingin mengetahui kelanjutan mereka setelah berpisah. Sedangkan di tengah-tengahnya lebih banyak bercerita tentang pengenalan tokoh yang berhubungan dengan Pari. Cerita lebih condong ke Pari, sedikit sekali yang membahas Abdullah. Padahal saya ingin banget tahu bagaimana kondisi keluarga Abdullah setelah Pari pergi. Memang dijelaskan secara singkat hanya saja bagi saya kurang detail.

Mungkin penulis tidak ingin bukunya monoton, ingin mencoba dari sudut pandang yang lain, tidak buruk sebenarnya hanya saja saya seperti kehilangan ikatan antara Abdullah dan Pari, mungkin juga ini disengaja. Menurut saya kelebihan penulis adalah dia bisa menjadikan pembaca tokoh utamanya, bisa merasakan apa yang dirasakan tokoh utamanya, bisa mentransfer penderitaan tokoh utamanya, sehingga tidak jarang kita dibuat menangis oleh penulis, karena itulah yang dialami tokoh utamanya. Selain itu saya juga menyukai teknik show yang dipilih penulis untuk bercerita, kesannya lebih dalam dan kita bisa bebas menerjemahkan sendiri apa yang sedang terjadi.

Bagian paling favorit adalah ketika Abdullah memaksa ayahnya untuk ikut ke kota mengantarkan Pari dan bagian akhir, ketika menyanyikan lagu masa kecil Pari.
Aku berjongkok di depan Baba dan melakukan ritual perpisahan kami. Jemariku mengelus pipinya hingga ke keningnya yang berkerut, ke pelipisnya, rambutnya yang putih dan mulai menipis, ke belakang telinganya, sembari membuang satu demi satu mimpi buruk dari kepalanya. Aku membuka kntung tak kasatmata untuknya, memasukkan mimpi-mimpi buruk itu ke dalam, dan mengikatnya erat.
Kalau tidak ingin membaca buku yang bisa membuatmu menangis, jangan menyentuh buku ini. Tetapi kalau ingin mendapatkan cerita tentang ikatan keluarga yang amat kuat, buku ini recommended sekali. walau bukan penulis favorit, buku dari Khaled Hosseini akan selalu saya nantikan.

3.5 sayap untuk Abdullah dan Pari.

6 komentar:

  1. Aahh, passs bangett.. aku baru mulai baca ni novel mbak, eehh ketemu reviewnya mbak sulis. makin semangat buat segera nyelesaiin :))

    BalasHapus
  2. Buku ini emang membuat hati hancur berkeping2. Good review :)

    BalasHapus
  3. Sudah tertimbun lama, baca gak ya?

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*