Pages

Senin, 02 Juni 2014

[Book Review] Dimsum Terakhir by Clara Ng

Dimsum Terakhir
Penulis: Clara Ng
Editor: Hetih Rusli
Desain cover: Marcel A.W
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-7952-8
Cetakan ketiga, Januari 2012
368 halaman
Buntelan (lupa dari siapa)

A novel about being single and becoming part of a family... when everything is going totally wrong.


Empat perempuan kembar yang mempunyai empat kehidupan berbeda. Empat masa depan yang membingungkan. Empat rahasia masa lalu yang menghantui. Dan satu usia biologis yang terus berdetik.



Siska, Indah, Rosi, dan Novera terpaksa harus pulang untuk mendampingi ayah yang diprediksi tidak punya harapan hidup lagi. Mereka tak pernah menyangka bahwa kesempatan berkumpul kembali ternyata mengubah segalanya. Pertanyaan-pertanyaan penting tentang kehidupan bermunculan, termasuk ketakutan, kecemasan, dan keangkuhan mengakui bahwa kehidupan dan kematian hanyalah sekadar garis tipis.


Dimsum Terakhir adalah drama penuh haru, memikat, cerdas, dan dituturkan dengan amat indah oleh novelis bestseller Indonesia, Clara Ng. Kisah yang ditulis modis dengan gaya lembut tapi kuat ini menyuarakan keberanian serta kekuatan yang (selalu) ada di hati kita semua.


Saya kerap menemui pasien di rumah sakit, khususnya pasien lansia yang sakitnya sudah parah dan hanya menunggu waktu. Katanya, alasan kenapa dia tidak segera meninggal adalah para anaknya belum berkumpul semua, saya nggak tahu benar atau salah, ini katanya orang Jawa dan adat Jawa itu sumpah banyak banget, percaya nggak percaya. Ketika membaca buku ini, tradisi itu terngiang kembali.

Nung Atasana dan Anastasia adalah pasangan suami istri keturunan Tionghoa, para Cina perantauan atau huakiau, mempunyai bisnis toko elektronik. Bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, berbagai usaha telah Nung coba mulai dari mengikuti feng shui sampai berdoa ke Singapura, tetap saja tidak membuahkan hasil bahkan Anas rela kalau Nung menikah lagi atau mengadopsi anak. Bagi orang Cina, keturunan diatas segala-galanya, tidak ada adopsi, harus darah daging sendiri. Nung sangat mencintai istrinya jadi dia tidak ingin menikah lagi. Memasuki usia pernikahan ke-13 akhirnya doa Nung dikabulkan juga, Anas hamil, tidak tanggung-tanggung, hamil kembar empat pada usia empat puluh tahun. Empat bayi perempuan tersebut lahir prematur di tahun naga; Tan Mei Xia: Siska, Tan Mei Yi: Indah, Tan Mei Xi: Rosi, dan Tan Mei Mei: Novera.
Keempat dinding kamar ini berbisik kepada Nung tiap malam. Setiap sisi mempunyai cerita yang berbeda. Satu sisi bercerita tentang hidupnya. Sisi lain bercerita tentang hubungannya dengan istrinya. Sisi lainnya bercerita tentang keempat anak perempuan kembarnya. Dan sisi terakhir bercerita tentang para keturunan dan saudara-saudarinya yang bercerai-berai di delapan penjuru mata angin sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.
Siska sebagai anak pertama, dia pandai, tegas dan kadang egois, tidak mau dibantah, mempunyai karier yang cemerlang di Singapura. Indah, kalau sedang gugup dia menjadi gagap, selalu serius menghadapi apa pun, seorang wartawan sekaligus penulis bestseller yang kesusahan menerbitkan buku kedua setelah buku pertamanya sukses di pasaran. Rosi, selalu riang seakan-akan tidak punya masalah berat yang ditanggungnya, mempunyai usaha perkebunan bunga mawar di Puncak. Sedangkan Novera, si bungsu yang paling lembut, sabar dan pengalah, seorang guru TK di Yogyakarta.

Mereka tumbuh besar bersama sampai akhirnya menjalani kehidupan masing-masing setelah beranjak dewasa, hanya Indah yang satu kota dengan ayahnya, ibu mereka sudah lama meninggal, dia juga yang pertama kali mendengar kabar kalau ayahnya di rumah sakit karena serangan stroke, lebih tepatnya Myelodysplastic Syndrome atau sering disebut MDS (tubuh tidak mampu memproduksi sel darah merah dalam jumlah yang dibutuhkan dalam tubuh). Dokter mengatakan kalau penyakit Nung sudah sangat parah, dia menyarankan agar anak-anaknya menemaninya di saat-saat kritis.

Tidak mudah mengumpulkan saudaranya, apalagi untuk tinggal di Jakarta bersama-sama merawat ayah mereka. Pekerjaan menjadi alasan utama ketiga saudaranya sulit untuk menerima saran Indah agar mereka berempat menemani dan merawat Nung. Indah-lah yang diusulkan untuk merawat karena dia sekota dengan ayahnya, tapi Indah tidak mau, yang ayah mereka inginkan adalah semua keluarga berkumpul, ada di saat dia menghembuskan nafas terakhir. Selain itu, permintaan terakhir Nung sebelum meninggal adalah dia ingin keempat anaknya segera menikah.
"Suatu hari, ketika aku tua dan sangat... sangat... sakit, seseorang harus menceboki pantantku karena aku sudah nggak mampu melakukannya lagi. Aku akan menjadi bayi lagi. Membayangkan saja sudah membuat merinding."
"Ya udah. Kalau begitu, nikmati saja."
"Nikmati apa? Aku nggak mengerti."
"Sebagai proses kehidupan. Dari bayi menjadi bayi lagi. Toh jika kamu sakit dan terpaksa seseorang harus mencebokimu, yang bisa kamu lakukan adalah menikmatinya."
Dari bayi menjadi bayi lagi. 
Clara Ng pernah bilang kalau dia suka menulis tentang anak-anak, tentang menjadi perempuan dan tentang permasalahan di dalam keluarga, bagaimana keluarga bisa pecah dan bagaimana keluarga bisa bersatu lagi, dia suka menulis bagaimana inti menjadi keluarga dan tentang hakikat perempuan, buku ini bisa menjadi contohnya, bercerita tentang keluarga dan perempuan.

Penulis menggambarkan kisah keluarga Nung lewat alur flashback, ketika keempat saudara kembar masih kecil dan istrinya masih hidup. Bagaimana Nung sangat ingin mempunyai anak, perilaku keempat anaknya yang berpengaruh besar akan pribadi dewasa mereka sampai kebiasaan orang Cina yang mewarnai hidup mereka. Konflik dalam masalah keluarga ini sendiri adalah di usianya yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan, Nung ingin banyak menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, keluarga yang masih tersisa setelah istrinya meninggal. Ingin merukunkan lagi anak-anaknya yang sekarang jarang bertemu dan melupakan tradisi yang dulu mereka lakukan.
"Jika orang hanya berani mati -tidak berani hidup- matinya akan sia-sia. Demikian juga sebaliknya. Jika orang berani hidup -tapi tidak berani mati- hidupnya juga akan sia-sia."
Masalah ini juga kerap saya temui di kehidupan nyata, anak-anak mereka sudah mandiri dan sukses, sibuk dengan pekerjaan dan rumah tangga masing-masing, orang tua dilupakan dan dititipkan kepada pembantu atau panti jompo. Saya tahu nggak semuanya, ada orang tua yang memilih tidak ikut dengan salah satu anaknya karena takut akan menyusahkan ada juga yang anaknya tidak peduli sama sekali. Pernah ada seorang nenek yang keluar masuk rumah sakit, dia bilang kepada saya kalau dia ingin segera mati, dia capek, hidupnya hanya menyusahkan anak-anaknya saja. Saya bilang ke nenek tersebut jangan bicara seperti itu, seharusnya bersyukur punya umur panjang sehingga bisa melihat anak sukses dan cucu tumbuh besar, itu udah kewajiban si anak kalau harus merawat orang tua mereka ketika sudah tua. Dulu waktu bayi orang tua tidak pernah mengeluh merawat sampai besar, sekarang gantian, ketika sudah tidak mampu lagi mengurus diri sendiri gantian anak-anaklah yang merawat. Benar perkataan Anas kepada Nung, dari bayi menjadi bayi.

Penulis mengangkat tema perempuan lewat keempat saudara kembar di mana masing-masing memiliki karakter yang sangat berbeda satu sama lain, konfliknya adalah bahwa mereka harus menikah. Mungkin mudah bagi perempuan lain, tidak bagi keempat saudara kembar. Siska berprinsip hidup bebas, dia tidak percaya akan cinta dan laki-laki. Indah mencintai seorang pendeta di mana tidak mungkin untuk menikah, hidupnya hanya untuk Tuhan. Rosi sendiri punya masalah dengan dirinya sendiri, sejak kecil dia menggangap kalau dia berada di tubuh yang salah, dia tomboi dan lebih tertarik kepada perempuan. Novera, suatu cobaan membuat dia beranggapan menjadi seorang perempuan yang tidak sempurna, dia ingin menghabiskan hidupnya menjadi seorang biarawati. Bagaimana mereka jujur kepada ayah mereka kalau tidak bisa memenuhi permintaan terakhir ayahnya?

Kelebihan lain dari buku ini adalah penulis juga menampilkan kaum minoritas, generasi yang hilang, kaum etnis Cina di Indonesia, baik tradisi atau sejarah mereka. Misalnya saja mereka lebih menguasai bahasa Indonesia daripada bahasa Mandarin, bahkan tidak menguasai dialek Hokkian, Kanton atau Khek. Mayoritas berpindah agama menganut Kristen atau Katholik. Setiap bulan penanggalan lunar pada tanggal 1 (yang disebut ce it) dan tanggal 15 (yang disebut cap go) adalah tanggal-tanggal istimewa kalau mereka tidak boleh makan daging melainkan sayuran saja. Para perantau Cina yang berada di Amerika kebanyakan menggeluti bidang akademis dan medis sedangkan di Asia lebih memilih profesi di bidang perdagangan atau keuangan. Larangan keras bagi etnis Cina meliburkan diri pada Tahun Baru Cina atau Imlek, padahal bagi mereka Imlek sama saja dengan Natal atau lebaran seperti orang Islam atau Kristen, sampai sejarah pemberian nama bagi orang Cina.
Tidak ada yang boleh bilang kita keluarga aneh karena menyiapkan dimsum pagi-pagi sebelum Imlek. Memangnya apa sih definisi "tidak aneh" itu? Sesuatu yang dianggap normal hanya karena diikuti oleh orang-orang kebanyakan? Ah. Omong kosong. Kita tidak harus menjadi orang-orang yang sama dengan orang-orang lain.
Bagian favorit adalah ketika mereka menginggat makanan favorit mereka, bacang buatan Anas dan tradisi waktu Imlek, makan dimsum jam empat pagi. Karena Imlek tidak boleh makan daging, hanya sayur, Anas mengusulkan kalau 'sahur' makan dimsum sebelum jam enam pagi, makan sayur seharian penuh sampai jam enam sore, dan 'buka puasa' makan daging jam enam sore.
Pujian -seperti yang dipikirkannya- adalah narkoba. Membunuhnya pelan-pelan sehingga membuat aliran darah kreatifnya mandeg. Caci maki... oooh, tentu saja, berhamburan turun, membuatnya biru lebam di sana-sini.
Buku ini 'kaya', kaya konflik; kita bisa menemui di setiap karakter utama di buku ini, misalnya saja Indah selain kisah asmara, dia mendapat tekanan dari para penggemarnya akibat suksesnya novel pertamanya. Kaya karakter; Anas yang lebut, Nung yang bijaksana, keempat saudara kembar yang mempunyai sifat berbeda tapi malah menjadi salah satu kelebihan buku ini. Dan bagian mengangkat tema kaum minoritas menambah pengetahuan saya, tradisi apa yang mereka punya, sejarah atau pengalaman buruk yang pernah mereka alami sebagai warga negara yang identitasnya masih saja dipertanyakan dan sering kali mendapatkan perilaku yang tidak adil. Semua kekayaan yang ada di buku ini sanggup penulis ceritakan tidak lebih dari 500 halaman. Alurnya cukup cepat tapi semua tersampaikan.

Recommended bagi kamu yang sedang mencari cerita tentang keluarga dan pengin tahu tentang etnis Cina.

3.5 sayap untuk dimsum jam empat pagi.

NB:
Saya rasa lagu Human - Christina Perri cocok banget untuk jadi sountrack novel ini :D




4 komentar:

  1. Aku suka sama buku ini. Dan lumayan menambah pengetahuanku tentang etnis Tionghoa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alasanku menyukai buku ini sama dengan Putri. :)
      Dan buku ini sukses membuatku suka dengan tulisan Clara Ng.
      Sebelumnya, aku baca The (Un)Reality Show dan kecewa berat.
      Untunglah terobati setelah membaca buku ini.

      Hapus
    2. Unreality emang agak ngeselin sih, yang aku suka dari karyanya Clara ya tentang tema yang dia sukai itu, aku pun juga suka :)

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*