Pages

Jumat, 21 Maret 2014

[Movie Review] Divergent


Akhirnya bisa menonton Divergent di hari perdana kemaren, nggak jauh beda dengan animo Catching Fire dulu, penontonnya sedikit sekali, kalau nggak pecinta film ya yang tahu bukunya seperti saya, atau lebih tepatnya pecinta bukunya, kebetulan banget pas libur jadi langsung ngacir ke bioskop :D. Saya sangat exited sekali dengan film Divergent ini karena sangat suka dengan bukunya, terlebih saya setuju dengan pemilihan para pemain, walau awalnya agak pesimis dengan pemeran Four, positif thinking harus dianut :D. Filmnya kurang lebih dua setengah jam-an lah, mulai pukul 12.15 sampai hampir setengah tiga sore kalau nggak salah. Nggak kerasa banget dalam artian saya sangat menikmati filmnya.

Tanpa banyak membuang waktu, cerita di mulai dengan pemandangan kota Chicago masa depan, yang porak poranda dan sebagian besar hancur, disertai dengan prolog dari Beatrice Pior (Shailene Woodley) tentang terbentuknya lima faksi/kelompok setelah dunia kiamat. Ketika seseorang berusia 16 tahun berarti mereka harus mengikuti ujian untuk menentukan faksi mereka. Ada lima faksi; Abnegation (tidak egois, penolong), Dauntless (pemberani), Erudite (cerdas), Amity (pecinta damai), dan Candor (jujur). Biasanya kalau seseorang tersebut keluarganya berasal dari faksi Abnegation maka dia cenderung akan masuk ke faksi yang sama, tetapi bisa juga mereka menjadi penghianat faksi dengan memilih faksi lain berdasarkan minat dan kemampuan. Itulah yang dialami Beatrice, dia merasa egois, dia penuh tantangan, ketika hari pemilihan dia mengikuti jejak kakaknya, Caleb (Ansel Elgort) yang berani memilih Erudite, dia pun memilih Dauntless sebagai faksinya.





Menjadi Dauntless tidaklah mudah, tidak ada kata menyerah, mereka adalah polisi, sang penjaga sehingga diharuskan kuat. Berlari mengejar kereta, lompat dari gedung tinggi itu makanan sehari-hari, awalnya cukup berat bagi Tris (nama yang dia pilih setelah menghianati faksinya, nama baru, hidup baru) apalagi kalau gagal menjalani ujian dan peraturan yang cukup kejam dari Eric (Jai Courtney), salah satu 'kakak tingkat', maka dia harus keluar dari Dauntless dan menjadi factionless (tidak mempunyai faksi) karena tidaklah mungkin kembali ke faksi lamanya. Ada tiga ujian untuk menentukan apakah seseorang pantas menjadi Dauntless; latihan pertarungan, uji simulasi dan ruang ketakutan. Untungnya ada Four (Theo James), sang pembina dan pelatih yang walaupun tegas sangat memperhatikan Tris. Dia adalah peserta terpandai di angkatanya (mengalahkan Eric) dan menolak menjadi salah satu pimpinan Dauntless dan tidak ingin Tris menyerah. Bersama teman-temannya yang sesama penghianat faksi, Christinna (Zoe Kravitz) dari Candor, Will (Ben Lloyd-Hughes) dari Erudite, Tris melewati ujian dan bertekad tidak akan gagal menjadi seorang Dauntless.





Di tengah ujiannya menjadi Dauntless, Tris mendapati pimpinan Erudite, Jeanine Matthews (Kate Winslet) merencanakan sesuatu dan berkomplot dengan pimpinan Dauntless, hal itu juga diketahui oleh Four yang sudah lama mengamati. Erudite merencanakan mengambil alih kepemimpinan yang selama ini dipegang oleh faksi Abnegation, kaum terpandailah yang seharusnya menjadi pemimpin, dengan kekuatan para Dauntless, Jeanine ingin melenyapkan kaum Abnegation. Hal ini tidak bisa dibiarkan oleh Tris karena orang tuanya tinggal di faksi yang suka menolong tanpa pamrih tersebut. Belum lagi Tris harus menyembunyikan hasil tes kecakapannya yang sebenarnya, nilai ujiannya menunjukkan kalau Tris sempurna di faksi Abnegation, Dauntless dan Erudite. Tris adalah seorang Divergent dan bagi Jeanine, keabnormalan tersebut dianggap mengancam dan menciptakan kehancuran dunia sekali lagi, sehingga harus dimusnahkan.




Divergent berbeda dengan The Hunger Games yang lebih menonjolkan aksi dan Twilight yang dominan kisah cintanya, Divergent adalah perpaduan keduanya, walau pemilihan faksi bisa disamakan dengan pemilihan asrama di Harry Potter, tetap Divergent mempunyai kelebihan tersendiri, menurut saya sutradara Neil Burger (The Illutionist, Limitless) berhasil mewujudkannya secara visual, tentu tidak akan sempurna dengan naskah dari Evan Daugherty (Snow White and the Huntsman) dan Vanessa Taylor (Hope Spring) yang bisa memilah mana yang seharusnya ditampilkan di layar. Tentu merupakan sebuah tantangan bagi sang sutradara agar film yang diadaptasi dari novel yang berjudul sama garapan Veronica Roth ini bisa diterima oleh para pecinta film sekaligus pecinta bukunya. Melihat banyak sekali film adaptasi YA-books yang gagal meraup kesuksesan seperti The Hunger Games dan Twilight.

Saya suka sekali settingnya, suka sekali dengan dunia buatan Neil Burger, tetap menampilkan kekhasan kota Chicago dengan bianglala besarnya walau kota itu sudah hancur, pembagian ceritanya pun juga seimbang bahkan seingat saya sangat sesuai dengan bukunya. Well, sebagai pembaca, ketika menonton film yang based on book saya pasti mencari perbedaannya. Dilema, pencarian jati diri, pelatihan yang dijalani Tris sesuai dengan porsi dan mencakup garis besar cerita dan sedikit terburu-buru dibagian asmara dan perlawanan atau akhir. Ketiga point pertama sesuai dengan buku, penulis memang berlama-lama dibagian tersebut mungkin dikarenakan ingin memperkenalkan dunia baru yang terbentuk pasca kehancuran. Sedikit tergesa-gesa dibagian chemistry antara Tris dan Four, disayangkan sekali sebenarnya, mungkin karena durasi juga sehingga diambil yang penting-penting saja, ikatan Tris dengan para Dauntless baru pun juga tidak disorot lengkap. Untuk penutup yang terlalu cepat, memang seperti itu karena akan dilanjutkan dibuku kedua sehingga dibagian akhir seperti permulaan dari pemberontakan, tambah bikin penasaran kan? 

Perbedaan yang sangat jelas dan saya ingat dari bukunya dalah ketika ibu Tris sembunyi-sembunyi menemui Tris dan berpesan agar dia hati-hati, kalau di novel ibu Tris bisa menemui Tris tanpa harus bersembunyi karena ada waktu orang tua peserta bisa menjenguk anaknya. Kemudian hubungan Four dengan ayahnya yang kurang digali lebih dalam melihat itu merupakan salah satu ketakutan Four. Selebihnya tidak ada perbedaan yang mencolok.

Untuk para pemainnya, awalnya agak sangsi dengan Theo James karena dia sangat-sangat baru bagi saya, setelah menonton filmnya, saya paham dan setuju, orang seperti Theo James lah yang pantas memerankan Four yang gagah, tangguh, cerdas, walau terkesan sempurna dia masih mempunyai kelemahan, yaitu empat ketakutannya, dan dia memerankan tokoh Four dengan cukup baik. Sedangkan untuk Shailene Woodley, pas banget, dia bisa memerankan karakter Beatrice menjadi Tris tanpa masalah, peralihan dari si kaku menjadi pemberani kerasa sekali. Rasanya ikut bersemangat ketika Tris mengejar kereta, melompat dari gedung tinggi, flaying fox, bertarung, menembak, dan puncaknya ketika dia mencoba menjadi Dauntless ketika belajar simulasi dengan Four, mencoba membuang sifat Divergentnya agar nanti tidak ketahuan, salah salah satu bagian yang saya sukai. Sedangkan untuk Kate Winslet, tidaklah sulit memerankan peran antagonis melihat prestasinya, dan untuk Ansel Elgort, salah satu aktor yang saya tunggu-tunggu penampilannya justru sedikit mengecewakan bagi saya, selain cuma tampil sedikit, bagian dia kehilangan orang yang disayanginya cukup tidak berkesan. Semoga saja aktingnya nanti di film The Fault in Our Stars jauh lebih keren, ketemu dengan Shailene Woodley lagi :D.



Bagian paling paling favorit adalah ketika Four menunjukkan tattonya kepada Tris, kemudian mengucapkan kata-kata yang juga merupakan quote paling keren di film ini (saya ambilkan dari buku karena saya nggak hapal dan nggak ada waktu mencatat di bioskop :p)

Kupikir kita sudah membuat kesalahan. Kita semua mulai merendahkan kebaikan nilai faksi lain dalam proses pemahaman nilai kebajikan faksi kita sendiri. Aku tidak mau seperti itu. Aku mau jadi pemberani, dan tak memikirkan diri sendiri, dan pintar, dan baik, dan jujur.

Kenapa kita harus mempunyai satu kemampuan kalau kita bisa semuanya?

4 sayap untuk 'Kelainan' :p

NB:
Baca juga review buku Divergent di sini.




8 komentar:

  1. wah, jd pengen nonton... kayaknya di bioskop cirebon belum tayang deh!! huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. lah, ini di Solo aja udah ada loh, coba di cek lagi mungkin juga udah tayang :)

      Hapus
  2. awww~ ngga sabar pengen nontonn ! :'))

    BalasHapus
  3. Kyaaaaaa~ baru bisa nonton selasa. Padahal tadinya rencana mau nonton besok tapi lagi sibuk banget :( *banting laporan*

    BalasHapus
  4. Nonton filmnya pas malam minggu kemaren. Jujur, suka bangeeettt sama filmnyaa... bahkan ada adegan2 yang memorial bangetttt... masih inget sampe hari ini..
    Lebih seru dari twilight ataupun hunger games !!

    NB: Soundtrack yyg judulnya I NEED YOU juga enak lohh.. (Yang pas diputer waktu tris main flying fox itu lohh}

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahhhhh, itu salah satu scene favoritku, aku agak lupa sih yg pas flying fox judulnya apa, tak kira Beating Heart, tapi aku juga suka sama lagunya, sountracknya keren-keren :)

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*