Pages

Selasa, 26 November 2013

Bahasa Gado-Gado & Barang Branded Dalam Novel Lokal

Book of Love by Kevin Carden
Kemaren, waktu klub buku Blossom kopdar untuk pertama kalinya (padahal sering banget, cuman punya banyak nama aja :p) ada beberapa bahasan yang cukup seru selain buku yang ingin kita bahas, yaitu pernak-pernik BBI, baca bareng BBI untuk tahun depan dan rencana ke IRF. Kita kopdarnya di rumah mbak Alvina, yah berhubung dia punya dedek bayi yang unyu abis dan nggak bisa kemana-mana, kita putuskan untuk ketemuan di sana aja, toh rumahnya nyaman banget, belum lagi ada suguhan makanan yang membuat diet saya hancur (harus cari sendiri nih popcorn-nya :p).

Dalam buku yang kita obrolkan, beberapa teman mengeluh banyaknya bahasa asing dan barang branded yang sering sekali ditunjukkan oleh penulis, belum lagi ada adegan seks bebas padahal penulisnya pakai hijab, kemudian mereka tanya sama saya yang sering baca buku lokal, apa iya semua penulis Indonesia seperti itu? Karena bacaan saya mayoritas emang buku dalam negeri dan yang mereka tanyakan sering juga saya temui -khususnya buku romance, maka jawaban saya adalah tergantung.

Tergantung dari dua alasan, saya membedakannya menjadi dua yaitu gaya penulis bercerita yang emang seperti itu dan ceritanya sendiri. Untuk penulis, saya nggak pernah menuduh mereka untuk 'pamer' kepiawaian dalam bahasa asing, bisa dibilang itu gaya mereka dalam menulis, saya menganggap dengan mengunakan bahasa yang mereka pilih lebih memperkuat makna yang ingin mereka sampaikan atau ada kalimat yang lebih cocok kalau ditunjukkan dengan menggunakan bahasa asing. Sedangkan untuk barang branded yang bertebaran, ada beberapa penulis yang jeli dan detail dalam menggambarkan ceritanya, salah satunya dengan memasukkan barang branded yang sering dipakai tokohnya, jadi fungsinya adalah untuk memperkuat karakter tokoh tersebut.

Kemudian bersinggungan dengan alasan kedua, ceritanya sendiri. Kalau sebuah buku bercerita tentang kaum urban, hedon, jetset atau apalah sebutannya dan dunia fashion, ya jangan heran kalau buku tersebut bertebaran barang branded dan bahasa asing. Bisa dibilang semua itu berhubungan dengan dunia tersebut, maka akan sangat aneh kalau tidak dibahas satu pun. Contoh yang sering saya temui adalah di buku metropop atau chicklit. Untuk seks bebas dengan penulis yang memakai hijab, no komen deh, tergantung dengan kaca mata apa kita melihatnya. Yang terpenting adalah cerita tersebut bercerita tentang apa dan dunia yang mengelilinginya. Gampangannya kayak novel fantasy, saya nggak heran kalau banyak makhluk asing di sana atau sesuatu yang aneh, namanya juga fantasy, yang nggak ada bisa terjadi.

Beberapa penulis yang sering menggunakan bahasa gado-gado dan malah menjadi ciri khasnya, salah satu contohnya adalah Ika Natassa, hampir semua bukunya seperti itu, melihat ceritanya sendiri pun tentang orang metropolitan dengan status menengah ke atas, di mana gaya hidupnya kayak orang luar, bebas, jangan kaget. Dan salah satu penulis yang sering banget menyebutkan barang branded di tulisannya adalah Sitta Karina :D. Fashion adalah salah satu passion penulis tersebut, maka nggak heran kalau dia sering menyisipkannya ke dalam tulisan dan malah mejadi ciri khasnya, ceritanya pun mayoritas tentang kaum hedon. Emang kebanyakan karakternya to good to be true, dan buat saya nggak masalah, saya baca untuk mencari kesenangan, dan  itu salah satu kesenangannya. Toh bukannya tanpa manfaat, kalau ada bahasa asing kita bisa sekalian belajar, kalau ada barang branded kita bisa tahu sedikit tentang dunia fashion dan apa yang sedang ngehib saat ini, berpikir positif aja :D.

Jadi tergantung gaya bercerita penulis dan ceritanya sendiri tentang apa dulu. Nggak semua penulis Indonesia seperti itu, beberapa waktu yang lalu saya mendapati satu penulis Indonesia yang tidak 'pamer' bahasa Inggris padahal dia tinggal di luar negeri, tokohnya pun orang luar dan dia malah menulis novelnya dalam bahasa Indonesia yang cukup formal, padahal alasan dia sebenarnya 'sudah tidak biasa berbahasa Indonesia', lebih nyaman kalau menggunakan bahasa Inggris, kekurangannya malah menjadi kelebihan.

Kalau nggak ingin menemui  bagian seperti itu ya jangan dibaca, saya tambahin lagi listnya, jangan baca bukunya Ika Natassa, Sitta Karina, aliaZalea, Nina Ardianti, Christian Simamora dan beberapa penulis lain yang saya lupa namanya, yang biasanya menjadi favorit dan tidak lupa seri Glam Girls juga, dijamin muak kalau nggak suka dengan adanya bagian itu karena buku tersebut kaya akan bahasa gado-gado, barang branded dan kadang tentang seks bebas :p. Itu pendapat saya tentang Bahasa Gado-Gado dan Barang Branded Dalam Novel Lokal, kalau pendapat kamu? Peace. Love. And Read Romance Book :p


20 komentar:

  1. Adegan seks no komen, aku suka-suka aja ^^
    Barang branded ya gak apalah jika penggunaannya tepat ^^
    Bahasa gado-gado??? Gak suka pake banget!!!

    BalasHapus
  2. Ga suka bahasa gado-gado mbak, terkadang butuh waktu yang lebih untuk mahamin artinya -_- Kalo barang branded sih ga masalah, sekalian nambah informasi. Lumayan kan kalo ada yang ngomongin barang itu, kita nggak bengong :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku kadang juga gitu, jadi menambah informasi dunia fashion :)

      Hapus
  3. Aku bilang semua tergantung ceritanya ya. Kalo emang ceritanya tentang pergaulan kalangan atas, mau ngomongin barang-barang branded, mobil mewah, liburan keliling dunia, ya ga masalah. Penggunaan bahasa Inggris juga cocok. Justru kalo ga ada itu jadi aneh kan? Tapi kalo ceritanya tentang anak sekolah yang bukan sekolah internasional trus bahasa Inggris bertaburan, itu baru aneh. Hehe.
    Kalo soal free sex, sama juga sih harus mendukung cerita. Namun karena kita tinggal di negara yang nggak mendukung free sex, sebaiknya adegan tersebut dibuat implisit aja, jangan detail macem novel-novel terjemahan.

    BalasHapus
  4. kalo aku sih oke2 aja sih mbak asal penulisnya asik ngejabarinnya, tapi kalo adegan free sex yaaa... gitu deh.. hihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau adegan free sex tergantung konten ceritanya tentang apa dulu, tapi biasanya kalau pun ada g eksplisit kok ngambarinnya :)

      Hapus
  5. kurang lebih idem sama Nana..
    kalau aku tergantung tema ceritanya..misal temanya tentang Fashion, seperti novel The Look, Style, Beauty Case >> sah.sah aja sih klo banyak bertebarang item branded or fashion
    tapi klo tema yang general, contoh. romance -- sebaiknya ngga usah atau jangan terlalu banyak menyebutkan item branded >> apalagi klo ngga ada tujuannya..

    si x terlihat mempesona dalam setelan merk xxx, sepatu xxx dan clutch xxx >> oke, lalu? setelah menyebutkan brand, what happen then? klo ngga ada lebih baik dibuang saja, tapi klo kemudian ada kelanjutannya "sayang kebahagiaan si x cuma sesaat karena barang-barang mahal itu hanya dipinjamkan selama dirinya menjadi istri kontrak si w.

    untuk adegan free sek, well..klo ini sih jelas tergantung penulis, demand dan juga trend *suer ak ngga bicara pelajaran Ekonomi*

    Bahasa gado-gado? ngga ada masalah.

    klo mengenai penulis berhijab dan dia menulis adegan seks bebas >> itu juga kembali ke poin diatas >> siapa sih yang bisa membatasi alam imajinasi seseorang? mau dia hijabers or not, terserah si penulis mau nulis apa, anggap saja kita ngga tahu klo penulis pake hijab, or yang paling mudah dia anggap dia adalah ghost writer..or klo ngga tutup bukunya dan lempar kemari, saya mau nampung kok #kode

    so far, aku menerima semuanya sih, branded, free seks, bahasa gado-gado - selama itu dalam takaran dan tempat yang pas ^_^

    maaf ya Sulis - kepanjangan banget nih komenku..
    #kabur

    BalasHapus
  6. Menurutku biasa saja sih penggunaan kata gado-gado. Kan gado-gado itu enak. hehe
    Menurutku banyak bahasa asing bagus yg "dipaksa" harus pake bahasa Indonesia menjadi aneh bahasanya. Nasionalis sih saja-saja tapi klo konteksnya mencari yg lebih bagus knapa harus nasionalis? Eh tapi bukannya aku gak cinta bahasa Indonesia yah. Majas2 dan kata konotasi Indonesia juga banyak yg lebih indah daripada bahasa asing. Tergantung penggunaannya sih. Klo bahasa asing lebih bagus kalimatnya, pake bahasa asing. Tp klo gak bagus, pake bahasa Indonesia saja. Intinya gunakanlah bahasa yg menarik bukan tergantung native-nya.
    Hmm, klo branded sebaiknya diminimalisir sih. Kecuali klo bukunya utk mempromosikan produk/brand. Masa mau sih capek cuap2 tapi gak dapet royalty dari brand. Bukannya materialistis yah. Tapi hanya mw bilang saja "Kita punya harga diri yg mahal loh. Jangan dijual murah".

    BalasHapus
  7. Bahasa gado-gado di novel lokal, kalau nggak kebanyakan gapapa menurutku. Tapi kalau hampir di tiap percakapan ada bahasa asing akhirnya mengganggu juga. Karena kata-kata yang dipakai pun ada padanannya di bahasa Indonesia, lebih nyaman dibaca aja :)

    BalasHapus
  8. Kalo menurut aku sih bahasa itu gimana si novelnya aja, selama masih enak dan ga mengandung unsur sara buatku.fine fine aja sih, kak.

    BalasHapus
  9. Untuk masalah ini, memang tergantung pada novelnya, bagaimana cerita, tema, dan genrenya.
    Untuk bahasa gado-gadonya, asal ga lebay atau sok ng-inggris sih g masalah ya. Karena kadang ada novel yg malah jadi aneh karena penggunaan bahasa asingnya terlalu berlebihan. Kalau penyebutan merk itu biasa sih, y asal sesuai dg kebutuhan. Untuk seks, ehem, ini memang agak susah ya. Imaginasi orang itu apakah kemudian dibatasi dg agama. Mungkin terlihat biasa jika Ayu Utami yg mengangkat masalah seks dan akan terlihat aneh jika seorang berjilbab sedikit menyinggungnya, begitu ya? Bagaimana kalau kita membaca tanpa melihat background penulis?

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju, jangan lihat background penulis tapi karyanya :)

      Hapus
  10. Semua tergantung selera pembaca. Dan sejauh ini, selera saya sama dengan Ibu Peri. *Bu Peri, pinjem duit lima juta dong!* #modus

    BalasHapus
  11. Klo menurut aku sih penulis pasti berupaya membuat karyanya yang terbaik dan mempertimbangkan masak2 apakah karyanya layak dibaca atau bakal membuat negatif bagi para pembacanya.... kalo aku oke2 aja membaca bukunya, karena sebuah buku bisa keliling dunia berawal dari sebuah tulisan yang berasal dari ide yang tanpa batas... ^^

    BalasHapus
  12. Aku enggak masalah sih dengan barang branded yang bertebaran asalkan ada hubungannya dengan ceritanya. Setuju dengan pandangan Sulis, kupikir kalau ceritanya tentang kaum urban yang sehari-hari menemui barang-branded, bukan hal yang aneh kalau tokoh-tokohnya mengenakan barang-barang branded. Apalagi kalau karakternya kerja di dunia fashion! Kudu wajib jangan sampai salah spelling dan produk barang brandednya hihi. ;)

    Kupikir kalau temanya fashion buku-buku Syahmedi Dean yang paling pas menurutku. Proporsi tepat antara fashion dan cerita. Aku sendiri kalau nulis blog kadang pakai bahasa gado-gado haha. *ngaku dosa* Kadang sulit cari padanan kata yang tepat di bahasa Indonesia. >.<

    Makasih udah sharing, Sulis! Topik yang sangat menarik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama Hilda, makasih sudah berkunjung dan komen :)

      Hapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*