Pages

Selasa, 08 Oktober 2013

Menanti Giliran

Iini memang bukan review atau meme, postingan ini bisa dibilang menjawab tantangan dari mbak Jia Effendi tentang menulis cerita absurd. Idenya terispirasi dari kumcer Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa (masih berhubungan dengan buku, kan? :p). Awalnya saya langsung menyerah, nggak pinter nulis cerita, udah lama banget nggak nulis cerita. Sesekali dulu emang ikut writing session tapi kalah jauh sama peserta yang lain. Biasa aja, itu menurut saya akan tulisan yang kadang saya ciptakan. Tapi saya pernah seneng kejer waktu salah satu tulisan saya di writing session dianggap menarik sama sang kreator, hahaha, padahal cuman beberapa kalimat tapi bisa menjadi penyemangat. Saya emang nggak bisa nulis panjang, kosa kata saya masih minim. Malam ini seharusnya saya menulis review Enigma dan Good Memories, nggak enak sama yang ngasih kalau kelamaan. Tapi macet, udah terlitas seperti apa review yang pengin saya buat tapi tetap saya nggak bisa tertuang, saya malah jadi teringat sama tantangan mbak Jia. Oke deh, saya coba. Waktu tahu tantangannya adalah menarasikan gambar-gambar absurd, mata saya langsung tertarik dengan satu gambar di bawah ini, ide langsung tercipta tapi waktu itu masih tersimpan rapat, saya belum ingin mengeluarkannya. Hingga dini hari ini. Saya tahu tulisan saya jauh dari sempurna, tapi inilah yang saya rasakan kalau menjadi 'dia'.

Satu lagi roboh.

Kini aku bertambah cemas. Kapan giliranku tiba? Aku tak tahu salahku, bukannya aku sangat berjasa bagi mereka? Aku tidak pernah salah, bahkan kalau mereka lebih belajar lagi, aku ini sebenarnya sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Minimal kalau bagian tubuhku ada yang jatuh hanya membuat kotor sedikit. Itu pun nantinya membuahkan hasil yang berguna, bisa menyehatkan tempat mereka berpijak. Setiap hari kami dibasmi, lama-lama kami akan menjadi langka, padahal mereka sangat membutuhkan kami, demi kelangsungan hidup mereka juga, yang sayangnya tak dipedulikan lagi.

'Dibakar itu menyakitkan.' Begitu kata temanku yang nyaris mati seketika. Setengah tubuhnya dilalap api, bisa dibilang dia sekarat, tinggal menunggu waktu.
'Dipotong-potong itu mengenaskan.' Aku tidak bisa membayangkan rasanya, kehilangan salah satu anggota tubuh sama saja dengan kehilangan diri kita. Lebih baik mati saja.

Suara itu terdengar lagi, lebih nyaring.
Suara gesekannya benar-benar membuat pendengaranku ngilu.
Apa yang harus kuperbuat?
Giliranku semakin dekat.

Tak pernah kubayangkan kalau mendekati ajal semenegangkan ini. Dulu aku pernah membayangkan mati, tapi tidak dengan cara seperti ini, aku ingin mati karena menua, sudah tidak berguna lagi. Itu impianku kalau mati nanti, kalau bisa memilih. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Bohong! Kata siapa bisa menenagkan? Tetap saja tidak mengurangi rasa tidak enak itu. Aku melihat sekitar, tak ada bedanya, semua terlihat cemas dan mencekam, kiamat dunia! Kami hanya bisa menunduk dan menunggu nasip.

Buk.

Semakin dekat lagi.
Aku teringat kembali dengan orangtuaku, yang telah berjasa menjadikan diriku sekokoh ini. Apakah aku hanya berdiam menyerah tanpa perlawanan? Ayah bisa dibilang kalah, tapi dia tidak menyerah. Dia memilih gugur dalam pertempuran, dia terhanyut bersama banjir yang ia datangkan bersama ibu, orangtua lain dan teman-teman seperjuanganya.
Aku teringat kembali dengan teman-teman yang lebih dulu meninggalkanku, mereka menciptakan kekeringan, tanah yang tandus, ganjaran bagi perbuatan orang-orang terkutuk itu.

Apakah aku hanya berdiam diri saja?
Aku menatap Sang Surya, pemberi kehidupan, memohon bantuannya. Hanya Dialah yang bisa menentukan aku hidup atau mati.

Aku tersengat.
Harapan selalu ada, dan harapan itu akan terwujud kalau kita benar-benar ingin mewujudkannya.
Itu menjadi kekuatanku.
Bahkan semuanya kini ikut bersemangat, siap bertempur.

Aktivitas mereka sedang terhenti, kelelahan karena terlalu bersemangat membuat kawasan ini rata. Aku bergerak sedikit, membiasakan diri. Kakiku linu karena lama tidak digerakkan. Aku merentangkan tangan, menstabilkan diri dan mulai berjalan pelan-pelan. Semuanya ikut bergerak, bahkan mereka yang menjadikan kami rumah ikut membantu.

Hanya satu tujuanku.
Gergaji.

7 komentar:

  1. keren euyy *jempol.com* awalnya gua pikir si 'aku'-nya itu yang manusia tapi baca bagian akhirnya jadi ragu dhe, hahaha :))

    BalasHapus
  2. curhat sebuah pohon ya mbak? ^^

    BalasHapus
  3. Bagus kak ceritanya simple dan gak bertele-tele :)

    BalasHapus
  4. Menurutku tulisan mba Sulis bagus kok dan menarik buat dibaca........ kalo sayap 5 dr aku ^^

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*