Pages

Rabu, 14 Agustus 2013

Catatan Musim

Catatan Musim
Penulis: Tyas Effendi
Editor: eNHa
Desain sampul: Jeffri Fernando
Penerbit: Gagasmedia
ISBN: 979-780-471-2
Cetakan pertama, 2012
270 halaman
Pinjem @destinugrainy


Aku tak ingin menganggapnya sebagai cerita paling sia-sia.

Anggap saja ini adalah lembar penutup catatan senja. Berpita manis seperti boneka berdasi yang terlukis di cangkir teh kita.

Mungkin kau hanya bunga trembesi yang datang dari masa perbungaan raya. Menyinggahi penghujanku yang menderas memenuhi janji kemaraunya. Kau hanya setitik di antara ribuan tetes, seserpih di antara hamparan es, sepucuk yang baru bersemi menemani embun dini tadi. Sedangkan aku, terus menjadi musim yang berlari di sayap waktu; menerka isi hatimu, menantinya terbuka untukku.

Musim akan tetap bergulir, dan aku terus menunggumu hadir, meski harus menjemput ke belahan bumi yang lain.

"Pertemuan-pertemuan tak disengaja dengan orang yang tak terduga kadang terjadi begitu saja. Seperti sebuah kebetulan. Namun, mungkin bukan. Mungkin semuanya memang sudah diatur demikian."


Sebuah shelter di seberang Gereja Katedral Bogor menjadi tempat Tia Mahani dan Gema Agasta pertama kali bertemu. Buat Tia shelter itu tempat untuk berteduh hujan dan menikmatinya, sedangkan untuk Gema tempat itu berfungsi untuk meluangkan passionnya yaitu melukis. Mereka tak sengaja sering bertemu di sana tapi tak jua saling mengobrol. Tia diam-diam menaruh hati pada lelaki tersebut. Ketika sama-sama menunggu hujan yang tak kunjung datang, mereka saling mengapus karakter bisu, cuaca yang cerah menjadikan sebuah obrolan yang panjang.

Obrolan di buka oleh Tia dengan menanyakan luka di kaki Gema yang dibiarkan terbuka dan membuatnya kesulitan berjalan sampai apa yang sedang di lukis Gema. Gema tidak bisa melukis di rumah karena kakak perempuannya fobia terhadap lukisan, gambar-gambar. Pertemuan tak terduga selanjutnya saling berdatangan.

"Menerjemahkan itu nggak hanya mengalihbahasakan kalimat per kalimat atau kata per kata seperti yang kamu pikir. Menerjemahkan itu adalah mengalihkan jiwa."


"Bagiku, melukis adalah mengungkapkan sesuatu tanpa membutuhkan kata-kata."


Luka di kaki Gema yang disepelekannya ternyata berdampak sangat buruk, awalnya hanya luka kecil serpihan kayu yang tak dikeluarkan, karena tidak pernah dia pedulikan sel kanker langsung menjalar. Ca epidermoid. Kaki gema harus diamputasi sampai perbatasan pergelangan kaki agar karker itu tak menyebar.

Gema memutuskan melanjutkan pendidikan di universitas Charles-de-Gaulle-Lille III untuk belajar Arts, dia ingin terus melukis dan mustahil kalau masih tinggal dengan kakaknya. Itulah pertemuan terakhir Tia dengan Gema di shelter, dia belum mengungkapkan perasaannya. Ketika dengan sengaja Tia lewat rumah Gema, dia mendapati Gadis, kakak Gema, sedang membakar lukisan-lukisan adiknya dan berkata kalau gadis yang dilukisan itu adalah dirinya. Dari lukisan tersebut Tia tahu kalau sebenarnya Gema mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya dan dia pun bertekad menyusul ke Lille.

Buku ini nuansanya sendu, mellow, mungkin terpengaruh hujan yang selalu ditunggu-tunggu dua tokohnya kali ya :). Kesan saya terhadap buku ini nggak jauh beda dengan reviewnya mbak Desty, yaitu pas bagian kenapa setelah tiba di Lille Tia nggak mencoba langsung mencari gema? Padahal itu kan tujuan utamanya pergi ke sana? Mungkin penulis melakukan riset untuk penyakit Gema, riset selalu dibutuhkan dalam menulis, terlebih kalau tentang hal yang tidak diketahui penulisnya sendiri, contohnya sebuah profesi atau yang sering salah kaparah tentang dunia kesehatan. Saya nggak menyangsikan, mungkin banget kalau Gema mudah sekali kena ca epidermoid, tapi menurut saya itu terlalu ekstrem, lebih cocok kalau luka kecil itu terinfeksi sangat parah atau dia punya penyakit gula. Kaki Gema diamputasi berkali-kali? Oke, tiga kali. Apakah Tia membawa semua cangkir pemberian Agam ke Prancis? Entahlah, kalau kalimat 'semua cangkir kita' yang dimaksud pemberian Agam selama Tia di Prancis, bisa diterima. Sub plotnya sangat banyak, terlebih bagian Tia. Tia dengan sahabatnya, Tia dengan teman flatnya, Tia dengan pekerjaannya, Tia dengan Agam, Tia dengan Ulysses Reading Grup. Sedangkan Gema hanya seputar keluarga dan kedua temannya, Deni dan Sarah. Oh ya, sudut pandangnya orang pertama, gantian dari Tia dan Gema. Saya sudah menebak kalau Agam punya perasaan terhadap Tia, awalnya cukup berharap dia akan menonjol di buku, ternyata hanya pajangan saja dan citranya yang dewasa rusak ketika memukuli Gema.

Mengabaikan bagian-bagian yang janggal menurut saya, saya cukup menikmati diksi atau pemilihan kata dari Tyas Effendi, berkesan lambat dan mellow tapi tidak membosankan. Ada beberapa bagian yang saya suka banget seperti pertemuan Tia dan Gema di shelter, Gema waktu melukis di cangkir, kebiasaan Tia dan Agam saling bertukar cangkir sedari kecil, di mana Agam selalu mengirim cangkir berwarna dan bermotif polos sedangkan Tia selalu bermotif, menggambarkan kepribadian mereka yang berbeda selain Agam menyukai teh biji mahoni yang pahit sedangkan Tia menyukai teh krisan yang manis. Saya juga suka dengan Ulysses Reading Grup, jadi pengen baca bukunya :D. Dan yang paling suka adalah ketika Tia membantu Gema menemukan pohonnya sendiri, pohon yang tumbuh di dalam dirinya.

"Kalau dari sudut pandangku, pohon yang kutemukan dalam dirimu adalah pohon trembesi," ujarku kemudian sembari menunjuk sebatang pohon yang ada jauh di ujung jalan. "Pohon hujan. Mungkin karena aku sering ketemu kamu di sini ketika hujan datang."
Gema menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas pohon yang kutunjuk. "Pohon trembesi?" tanyanya.
Aku menganggukkan kepala. "Iya, pohon trembesi. Pohon itu disebut juga pohon hujan karena air yang sering menetes-netes dari tajuknya," jelasku, sementara Gema menganggukkan kepala. "Pohon itu juga terkenal sebagai peneduh karena tajuknya yang melebalar ke segala arah."

Covernya sukaaaaa banget. Cangkir yang berisi empat musim, cocok banget sama isi buku ini. Typo masih ada beberapa tapi tidak terlalu menganggu.

Buat yang suka cerita tentang hujan dan lukisan, buku ini bisa menambah koleksimu.

"Spring is about renewal, rebirth, and regrowth. So am I. I'm here to rebuilt my story."


3 sayap untuk Swietenia Mahagoni.

3 komentar:

  1. Setuju dengan mba Sulis, covernya unik ... dan asyiknya baca buku ini di kala hujan sambil ditemenin teh anget.. mantap pasti ^^

    BalasHapus
  2. Suka dengan kalimat: "Menerjemahkan itu nggak hanya mengalihbahasakan kalimat per kalimat atau kata per kata seperti yang kamu pikir. Menerjemahkan itu adalah mengalihkan jiwa". Karena menerjemahkan per kalimat itu kesannya kaku dan terkadang bacaannya tidak menarik

    BalasHapus
  3. Ceritanya agak mirip sama drama love rain gitu, tentang hujan dan lukisan.

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*