Pages

Kamis, 13 Juni 2013

Notasi

Notasi
Penulis: Morra Quatro
Editor: Aveline Agrippina & Jia Effendie
Desain sampul: Dwi Anissa Anindhika
Ilustrasi isi: Tyo
Penerbit: Gagasmedia
ISBN: 979-780-635-9
Cetakan pertama, 2013
294 halaman
Harga: 29k (Beli di SCB)

Rasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.

Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.

Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu....



Agak sulit mau memulai darimana saya akan bercerita, buku ini adalah buku ketiga yang saya baca dua hari terakhir ini, dalam rangka maraton buku baru yang datang kemaren, saya sudah tidak sabar ingin membacanya. Buku terakhir setelah Restart dan Bangkok yang entah kenapa saya langsung ingin menuliskan reviewnya. Saya jarang langsung menulis review setelah membaca, yang seharusnya sangat tepat dilakukan karena masih teringat jelas isi yang habis kita baca, biasanya saya akan langsung memulai membaca buku lain yang ada ditumpukan timbunan. Salah satu kebiasaan jelek saja.

Dari pengalaman membaca buku-buku mbak Morra sebelumnya, saya sama sekali tidak menyukai ending yang dia buat. Buku pertama; Forgiven selesai menutup pengen saya tendang, buku kedua; Believe, ingin saya sobek bagian epilognya. Perlu tahu saja, saya team penyuka happy ending garis keras, hahahaha. Bukan berarti semua bukunya berakhir sad ending, tergantung darimana kita melihatnya. Tapi anehnya saya tidak pernah memberikan sayap dibawah tiga dan selalu menunggu karya-karya selanjutnya. Rasanya seperti makan kripik maicih level sepuluh, kita tidak kuat akan pedasnya tapi akan selalu mencari dan sedikit demi sedikit menghabiskannya.

Buku ini kebanyakan bersetting di Jogja pada tahun 1998, tahun orde baru meledak dan lengsernya kepemimpinan presiden Suharto. Buku ini juga bercerita tentang sejarah berdirinya radio Jawara FM, yang kita tahu atau orang-orang yang pernah dan sedang bermukim di Jogja sekarang mengenalnya dengan radio Swaragama FM.

Cerita diawali dengan Nalia dan tunangannya, Faris, berkeliling kampus UGM, Nalia memintanya untuk melewati fakultas teknik, fakultas di mana pernah ada seseorang mengambil salah satu jurusan di fakultas itu, seseorang yang tidak pernah ia lupakan, seseorang yang selalu ia tunggu kabarnya. Cerita kemudian beralih ke tahun 1998, ketika di mana demontrasi besar-besaran akan dimulai.

Nalia adalah seorang mahasiswi kedokteran gigi, bersama temannya Zee, mereka memberanikan diri melangkah di jurusan teknik elektro untuk memasang iklan kegiatan yang akan dilakukan jurusan mereka di radio Jawara FM, radio milik mahasiswa teknik elektro. Kedatangan mereka tanpa hasil, dengan pandangan sinis orang-orang di dalamnya (kecuali satu orang), mereka berkata kalau mahasiswa kedokteran itu kaya raya, jadi tidak ada masalah kalau ada kenaikan ongkos bayar iklan, beda dengan mahasiswa teknik yang anggarannya harus dibagi dengan delapan jurusan di dalamnya, selain itu teman mereka juga dalam persaingan memperebutkan kursi presiden BEM. Lalu mereka beralih ke radio kampus lainnya, radio Gama, tapi tanpa hasil juga, alasannya bukan karena biaya tapi saat itu semua media baik cetak ataupun verbal dipantau oleh pemerintah, baik radio Jawara ataupun Gama belum mendapatkan ijin resmi, bisa dibilang selama itu kedua radio tersebut mengudara secara illegal.

Dalam proses tersebut, dalam riuhnya kegiatan kampus, Nalia dan Nino menjadi dekat. Nalia tahu Nino berbeda dengan teman-teman lainnya yang selalu sinis dengan mereka, yang selalu mengganggap musuh, dia pendiam, lebih tepatnya mereka sama-sama tidak pandai dalam berbicara tapi anehnya mereka merasa nyaman satu sama lain. Puncak kedekatan mereka adalah ketika seluruh mahasiswa yang ada di Indonesia bersatu, berdemonstrasi untuk mendapatkan keadilan, menuntut agar presiden Suharto turun dari jabatannya selama berpuluh-puluh tahun. Nalia menawarkan diri menjadi penyiar sukarela di Jawara demi memberikan informasi keadaan masa itu, di mana tidak ada lagi perselisihan, semua bersatu dalam visi misi yang sama, Nalia rela memanjat pagar rumahnya demi mengikuti demo bersama teman-temannya, demi ada di dekat Nino, demi mengetahui kondisinya. Setelah huru hara mereda, dia tidak pernah bertemu dengan Nino lagi, lelaki itu hanya mengiriminya surat tanpa alamat untuk bisa dibalas dan berjanji, “Suatu saat aku pasti akan kembali, Naila.”
Nino itu padi yang sedang tumbuh.

Dan padi yang sedang tumbuh tidak berisik.

Seperti itulah ia.
Saya tidak berharap banyak akan endingnya, yeah dari dua pengalaman sebelumnya, bukan saya spoiler loh, sudah saya bilang di awal tergantung dari kacamata masing-masing. Alasan kenapa saya selalu menanti-nantikan karya Morra Quatro dan jarang memberi nilai rendah walau saya tidak pernah  menyukai endingnya adalah dia selalu menulis cerita yang berbeda, satu poin khusus ketika saya menemukan sebuah cerita yang tidak saya temukan dibacaan lain, sesuatu yang baru. Mungkin cerita orde baru sudah banyak diangkat, sebelumnya saya pernah membaca Pulang yang juga menyentil masa itu, tapi bagaimana cara menyuguhkannya, itu yang membuat berbeda. Bisa dibilang buku ini masuk hisfic dengan adanya sejarah berdirinya radio Swaragama FM dan runtuhnya masa orde baru, Morra menyelipkan kisah cinta yang tumbuh sebentar tapi akan selalu terkenang. Tokoh Nino yang pendiam dan cerdas akan menginggatkan kita pada William di Forgiven (ingatkan saya untuk baca ulang dan menuliskan reviewnya), lelaki pendiam yang cerdas yang bisa melakukan perbuatan nekat, sebuah karakter yang akan selalu kita ingat, yang selalu kita rindukan, bisa dibilang karakter cowok yang dibuat penulis merupakan salah satu khasnya, selain alur cerita yang tidak bisa kita tebak.

Covernya tidak perlu dipertanyakan lagi, sebuah radio lawas yang menggambarkan inti cerita, sesuatu yang mempertemukan Naila dengan Nino dan seekor kuda yang membuat mereka saling memulai percakapan untuk pertama kalinya. Untuk typonya, terpaksa saya katakana cukup banyak, terlebih untuk pemisah katanya, sering saya temukan tidak ada spasi di dua kata yang harusnya terpisah, dan beberapa kata dobel dalam satu baris.

Buku ini saya rekomendasikan buat kamu yang ingin mengenang tragedi 98, buat para mahasiswa UGM dan tentunya buat penggemar sad ending, ehehehe.

Terpaksa saya memberikan 3.5 untuk si bodoh Nino dan berharap mbak Morra membuat cerita yang endingnya saya suka :p.

7 komentar:

  1. Kok reaksi untuk kedua buku sebelumnya agak sadis, Lis? :)

    Btw, ceritanya happy ending kok.. meski ga happy2 banget lah.. #komenmacamapaini

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, aku selalu sadis sama bukunya mbak Morra tapi tetep dicari-cari :-d
      ak kan udah bilang, tergantung masing-masing yang baca, apa ak ikut fanfic aja ya, nyiptain ending sesuai harapanku aja =))

      Hapus
  2. Kurang puas baca novel ini >.<
    Pengennya Nino sama Naila bukannya sama Ve, kan biar kalo nikah N&N (haha, ngarep :p)
    Masih penasaran sampai sekarang, kok bisa Nino ketemu lagi sama Ve dan malah udah .... (gak mau nyebutin) -,-

    BalasHapus
  3. Gak suka dengan pendapat ini "mahasiswa kedokteran itu kaya raya, jadi tidak ada masalah kalau ada kenaikan ongkos bayar iklan, beda dengan mahasiswa teknik yang anggarannya harus dibagi dengan delapan jurusan di dalamnya". Kesannya org teknik itu miskin kali pas kuliah. Sbg mahasiswa teknik aku gak setujuuu.
    Hmm, baru tau kisah berdirinya radio Swaragama FM. Semoga bisa streaming radio tsb dah.

    BalasHapus
  4. I'll definitely find this book! *merdeka!*

    BalasHapus
  5. Aku pernah tanya sama temen aku tentang pendapat buku ini, kata dia seru sih bacanya juga sampe nangis. Jujur aja aku belum baca bukunya sih,

    BalasHapus
  6. Novel bertema yang unik ya. Aku gemeter sendiri bacanya waktu demo itu.

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, jejakmu sangat berarti untukku :*